Mohon tunggu...
Baldus Sae
Baldus Sae Mohon Tunggu... Penulis - Dekonstruktionis Jalang

Pemuda kampung. Tutor FIlsafat di Superprof. Jurnalis dan Blogger. Eks Field Education Consultant Ruangguru. Alumnus Filsafat Unwira. Bisa dihubungi via E-mail baldussae94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Semi Ndolu: Mengurai Benang Kusut Pendidikan

11 Februari 2021   08:34 Diperbarui: 11 Februari 2021   08:41 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai pendidik yang baik, kita perlu mencari solusi alternatif. Cobalah sesekali berpikir menelpon siswa tersebut. Menanyakan alasan, bercakapan dengannya menggunakan Bahasa Inggris. Ketika kita menemukan alasan yang cukup rasional dan mendapati percakapan Bahasa Inggrisnya bagus,mengapa kita beri nilainya nol? Sangat boleh jadi ini merupakan upaya "balas dendam", sekedar memenuhi keinginan guru. pendidikankita terlalu mengedepankan formalitas.

Kita sudah terlalu lama terjebak dalam model pembelajaran konvensional. Sekalipun kurikulum terus berubah tapitidak ada yang berubah didalam implementasi pembelajaran. Semisal demikian, sejak zaman nenek moyang, pola pengaturan meja belajar dan posisi duduk di kelas tidak ada yang berubah.Pola belajarnya pun sama. Guru berdiri di depan kelas lalu berbicara dari awal sampai akhir pelajaran.Siswa dipaksa mendengardan atau mencatat. terakhirdiberi tugas. Siklusnya selalu demikian. Tidak ada yang berubah. Sampai kapan kita terus begini?

Tidak hanya itu, merosotnya pendidikan di negeri ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalahmental guru yang menjadikan sekolah sebagai sekadartempat mencari uang. Datang karena digaji. Gaji menjadi satu-satunya alasan untuk mengabdi. Hal ini tentu berimbas pada mutu pendidikan. Setara dengan gaji guru yang tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Berhadapan dengan persoalan seperti ini, Semi Ndolu menawarkan paradigm berpikir baru. Jadikan sekolah sebagai rumah ibadah. Analoginya sederhana. Di rumah ibadah, tidak ada pendeta atau pastor yang datang mengetuk pintu rumah umat, mengingatkannya bahwa jam sekian aka nada ibadat di Gereja. Halo...halo,,, jam 8 kita ada ibadat ya di gereja. Semua wajib hadir ya. Ceritanya tidaklah demikian.Semua orang tergerak hatinya untuk ke Gereja. Tidak ada yang merasa terpaksa.Sesampai di Gereja umat tidak meminta imbalan dari pastor atau pendeta malah memberi derma dengan sukacita.

Semisal ada pertandingan bola volley di gereja.Salah seorang guru di sekolah ada yang dipercayakan menjadi panitia.Pada saat yang sama ada pelajaran dikelas dan pertemuan panitia di Gereja. Pilih yang mana dan abaikan yang mana? Tidak sedikit yang bakal meminta izin di kepala sekolah untuk mengikuti pertemuan di Gereja. Pemahamannya, seolah-olah di Gereja itu untuk Tuhan, sementara di sekolah bukan untuk Tuhan.

"Jadikan sekolah ini sebagai rumah ibadah! Ubah perspektif kita yang menempatkan Tuhan hanya di Gereja.Mengabdi di sekolah adalah sebentuk pelayanan untuk Tuhan. Sekolah adalah medan pelayan kita sebagai guru. Kita tidak harus jadi pendeta atau pastor untuk melayani Tuhan. Jadikanlah pekerjaanmu sebagai pelayanan untuk Tuhan. Ketika kita memaknai tugas kita sebagai guru dengan baik dan benar, kitalah pendeta dan pastor yang berkarya bagi siswa-siswi di sekolah", tegas Semi Ndolu.

Semua kita tentu menginginkan perubahan. Kita ingin agar waajah pendidikan di sekolah ini khususnya dan di negeri ini pada umumnya mengalami transformasi. Ada perubahan ke arah yang lebih baik. Kalaukita ingin melihat wajah masa depan bangsa ini maka tataplah wajah-wajah para siswa dikelas. Ada siswa yang wajahnya penuh dengan kecemasan, tidak ada kepastian dan harapan dalam hidupnya. Tidak sedikit yang tidak punya cita-cita. Bingung mau jadi apa kelak. Ya, inilah wajah masa depan bangsa kita. Penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian. Tidak tahu arah.

Mengakhiri perbincangan kami pagi itu, Semi Ndolu kembali menyinggung soal pembelajaran kolaboratif. Kesuksesan pendidikan bukan semata soal kecerdasan guru secara individual. Lebih dari pada itu adalah kolaborasi lintas disiplin ilmu untuk menghasilkan lulusan yang bermutu. Guru kewirausahaan misalnya,berhenti sudah mengajar siswa teori kewirausahaan kalausiswa tidak mampu berwirausaha. Teori saja tidak cukup menolong siswa untuk memahami dunia kewirausahaan.

Sesekali ajaklah siswa keluar dari ruang kelas. datanglah ke kios-kios. Jumpai pedagang-pedagang kecil di jalanan. Amati apa yang mereka lakukan dan tanyakan kendala yang mereka hadapi. Mungkin mereka tidak mempunya bussines plan.Jika iya, jadikan itu sebagai masalah. Bersama siswa bedahlah persoalan ini. Ajarlah siswa untuk membuat bisnis plan yang baik dan benar. Berdiam diri dalam menara ilmu pengetahuan di zaman ini adalah bentuk egoism intelektual. Dan kita tidak bisa berkembang dengan cara seperti itu. Produk Sekolah Menangah Kejuruan (SMK) yang paling utama bukan barangtetapi kompetensi siswa. Sejauh mana pelibatan siswa dalam pembelajaran itu yang penting. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun