Mohon tunggu...
Baldus Sae
Baldus Sae Mohon Tunggu... Penulis - Dekonstruktionis Jalang

Pemuda kampung. Tutor FIlsafat di Superprof. Jurnalis dan Blogger. Eks Field Education Consultant Ruangguru. Alumnus Filsafat Unwira. Bisa dihubungi via E-mail baldussae94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Memotret Indonesia dari Kamp Pengungsi Eks Timor Timur

8 September 2020   18:35 Diperbarui: 8 September 2020   18:28 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kami cinta Indonesia. Kami cinta Merah Putih. Cinta dan pengorbanan kami untuk Indonesia di balas dengan pembiaran seperti ini. Sudah 21 tahun kami hidup dan beranak pinak di atas penderitaan ini"

Di Desa Noelbaki, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur terdapat sebuah lokasi pemukiman warga bernama pabrik kulit. Letaknya persis di belakang Alfamart. Sepelempar batu jauhnya dari jalan umum Timor Raya. 

Dikelilingi area persawahan yang membentang luas. Di lokasi ini terdapat sebuah kamp pengungsian yang sudah berusia dua dekade lebih. Sayang, tak banyak orang tahu tentang keberadaannya.

Pabrik kulit merupakan sebuah gedung bekas pabrik yang didiami oleh warga eks Timor Timur sejak tahun 1999. Di dalam gedung yang menyerupai rumah hantu inilah ratusan warga bertahan hidup. Kamp pengungsian ini jauh dari kata layak. Atap gedung tua itu sudah banyak yang tercopot. Dinding temboknya sudah banyak yang retak.

Sebenarnya mereka sudah tidak boleh disebut sebagai pengungsi. kata pengungsi sejatinya sudah tidak pantas dilabelkan kepada warga eks Timor-Timur yang sudah dua dekade ada di bumi Indonesia. 

Pada tanggal 22 Desember 2002 lalu, UNHCR telah mendeklarasikan cessation of status yaitu penghapusan status pengungsi eks Timor-Timur yang ada di Indonesia. 

Hal yang sama pula telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005. Namun demikian, nyatanya penghapusan status pengungsi itu tidak memberikan dampak yang lebih baik untuk kehidupan warga eks Timor-Timur.

Ketika berkunjung ke sana, kau tentu akan disambut senyum ramah anak-anak kurang gizi dan putus sekolah. "Di sini banyak anak yang putus sekolah kaka. Bagaimana mau sekolah, untuk makan sehari-hari saja kami susah setengah mati. Pilihan terakhir ya kami jual sayur", ungkap Kak Ramos.

"Kami tidak punya lahan untuk bertahan hidup. Tidak punya tanah untuk bangun rumah. Kaka lihat sendiri di dalam itu. Kami harus buat sekat-sekat untuk tiap keluarga. Satu keluarga ada yang punya tujuh sampai delapan anak dan bahkan sepuluh", lanjut Kak Ramos.

Mayoritas dari para penghuni kamp adalah petani yang kesehariannya menggantungkan hidup pada lahan garapan. Mereka menyewa lahan-lahan kosong milik warga lokal untuk menanam sayur. Ada juga yang menjadi buruh tani. Menggarap lahan sawah milik warga dengan sistem bagi hasil.

"Kalau musim panen kaka, kami biasa kumpul batang padi yang orang baru habis rontok, kami jemur lagi untuk ambil sisa-sisa bulir padi, itu kami pakai makan", jelas Ameta.

Miris memang, di dalam gedung bekas pabrik ini, warga terpaksa membuat sekat-sekat dari bebak untuk ditempati. Ruang bersekat bebak itu tidak lebih luas dari kamar kos. Sulit dibayangkan kalau belasan orang harus tidur dalam ruangan sekecil itu.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Tinggi sekat yang juga menjadi dinding rumah ini tidak lebih dari dua meter. Beberapa yang beruntung, menjadikan terpal lusuh sebagai atap rumah. Atau kalau punya sedikit relasi dengan team sukses menjelang pemilu, baliho bekas kampanye dibuat menjadi atap atau ditempel di dinding rumah.

"Kalau musim kampanye kaka, banyak calon DPR dan Bupati yang keluar masuk. Ini kita punya dinding rumah ful dengan stiker-stiker calon. Tapi setelah lolos, mereka lihat kita ke ta'i. kami sudah muak dengan mereka punya janji-janji palsu", ungkap Ameta.

Tidak hanya itu, bantuan pemerintah semisal rumah layak huni atau semacamnya tidak pernah mereka dapat. "Mungkin pemerintah pikir-pikir kalau harus kasi kami bantuan rumah, tanah saja statusnya tidak jelas. Padahal kami sudah 21 tahun tinggal di sini".

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Persoalan paling serius bagi warga di kamp pengungsian ini adalah tanah. Ya, mereka butuh tanah untuk membangun rumah. Tanah untuk bercocok tanam. Hidup tanpa tanah merupakan suatu kemalangan.

"Kami hanya minta satu sebenarnya dari pemerintah, yaitu tanah. Indonesia sudah 75 tahun merdeka tapi kami warga eks Timor Timur yang dengan sadar memilih meninggalkan tanah leluhur kami demi Indonesia, tapi kami tidak punya tanah di Indonesia".

Salam cinta satu perjuangan

Salam Indonesia

Dari Kamp Pabrik Kulit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun