Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 30/PUU-XVI/2018 tertanggal 23 Juli 2018 telah secara resmi melarang pengurus partai politik mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hal ini didasarkan pada hasil uji materi terhadap UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 182 huruf  I yang menjelaskan tentang persyaratan perseorangan untuk menjadi calon anggota DPD.
Putusan yang bersifat final dan mengikat ini berkonsekuensi langsung pada sejumlah pengurus partai politik yang saat ini tengah mencalonkan diri menjadi anggota DPDperiode 2019-2024.[1]
Putusan Mahkamah Konstitusi ini lantas menuai perdebatan panjang sejumlah kalangan. Mengafirmasi keputusan ini, pihak pro menilai bahwa hal ini merupakan langkah yang tepat mengingat DPD adalah perwakilan daerah (regional representant) dalam kontestasi perumusan kebijakan nasional.
Dengannya, kedudukan di DPD harus diisi oleh orang-orang non-partai sehingga tidak ada indikasi kooptasi kepentingan dengan partai politik nantinya. Sementara itu, contra argument yang dibangun pihak lawan adalah putusan tersebut menciderai asas hukum non retroaktif. Selain itu, keterlibatan pengurus partai politik dalam komposisi kursi DPD RI dinilai memperkuat fungsi dan kedudukan DPD di parlemen.
Sebagai bentuk keterlibatan akademis, melalui tulisan ini penulis berpretensi mendiskursuskan polemik dimaksud dalam rangka menegakkan peradaban demokrasi di negeri ini. Intensi dasar tulisan ini adalah mengafirmasi putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam putusan No. 30/PUU-XVI/2018 tersebut.
Sebelum memaparkan alasan afirmatif terhadap putusan MK ini terlebih dahulu penulis akan menguraikan konteks historis terbentuknya DPD-RI. Hal ini dipandang perlu guna memahami eksistensi dan urgensitas DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.Â
Konteks Historis Terbentuknya DPD RI
Rezim developmentalis Soeharto dalam upaya mempercepat kemajuan dan kesejahteraan rakyat  di masa jayanya berhasil menginstrumentalisasi pembangunan. Sentralisasi pembangunan semasa Orde Baruini telah melahirkan kesenjangan pembangunan yang akut di tingkat pusat dan daerah.
Kesenjangan ini berimplikasi pada munculnya ancaman disintegrasi dari sejumlah daerah. Bahkan, muncul pula wacana diberlakukannya negara federal sebagai jalan keluar dari ketidakadilan yang dirasakan oleh beberapa daerah tersebut.Â
Untuk meminimalisir isu disintegrasi ini, secara konstitusional melalui amandemen ketiga UUD 1945 dibentuklah DPD. Semangat dasar dibentuknya DPD ini adalah untuk mengakomodir keterlibatan daerah dalam pengambilan kebijakan nasional dan juga sesuai dengan prinsip check and balances yang ingin diterapkan oleh pemerintah pada waktu itu.[2]
Keberadaan DPD dalam desain bangunan ketatanegaraan Indonesia dimaksudkan untuk menjembatani aspirasi lokal kedaerahan dalam kebijakan pembangunan nasional. Sinkronisasi pembangunan ini mutlak diperlukan mengingat luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segala kompleksitas persoalan yang dihadapi.[3]