Entah kenapa semalam saya teringat akan sosok Alm. Charly Sowo alias Carolino Agustino Sowo. Dalam kesehariannya ia akrab disapa Laly. Beliau merupakan mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.Â
Telah sekian lama Charly pergi namun hingga kini saya lupa menyalakan lilin buatnya. Mungkin ini salah satu penyebab kenapa proses pengungkapan kasusnya belum menemukan titik terang hingga saat ini.
Tanggal 24 Juli 2018 lalu, Charly Sowo yang juga merupakan mantan calon imam dari Biara OCD, asal Kabupaten Ngada ini ditemukan tewas secara mengenaskan di pesisir pantai Oesapa. Charly pergi dengan cara yang tidak wajar. Jenazahnya dipulangkan ke pesisir pantai oleh ombak untuk dikuburkan secara wajar oleh keluarga.
Almarhum Charly Sowo, sejauh yang saya kenal adalah gitaris hebat yang piawai memainkan melody. Orangnya tenang, tak banyak bicara namun ramah dalam pergaulan. Terkadang humoris, suka menolong dan tergolong cerdas. Terakhir kali saya berjumpa dengannya waktu syukuran ujian skripsi seorang teman beberapa waktu lalu di kosnya.
Pertama kali mendengar berita kepergiannya, kami keluarga besar Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA cukup terpukul. Bagaimana tidak, ia pergi dengan cara yang sungguh tidak manusiawi. Kepergiannya menyisahkan serangkaian tanya yang belum tuntas terjawab hingga sekarang.
Pasca ditemukan jenazahnya di pantai Oesapa, pihak Polsek Kelapa Lima, Kota Kupang berdasarkan laporan dari nelayan yang menemukannya mendatangi lokasi dan melakukan olah TKP. Menurut AKP Didik Kurnianto, Kapolsek Kelapa Lima, dari hasil otopsi diketahui korban diduga mati tenggelam.
Kasus ini kemudian diurus lebih lanjut oleh pihak kepolisian. Namun demikian, hingga awal September 2018 lalu, pengusutannya gagal menemukan titik tuntas.Â
Hal ini kemudian memantik civitas akademika Fakultas Filsafat UNWIRA bersama sahabat Karmel OCD Indonesia, Orang Muda Katolik, Keluarga Eks OCD Indonesia, Persatuan Mahasiswa Ngada dan Nagekeo, Ikatan Religius Keuskupan Agung Kupang (IRKAK) dan ssejumlah simpatisan kemanusiaan menggelar aksi unjuk rasa di Markas Kepolisian Daerah (POLDA) NTT pada tanggal 7 September 2018.
Massa aksi melakukan longmarch dari depan Kantor Gubernur NTT menuju Mapolda NTT. Di depan gerbang Mapolda NTT, mewakili aksi masa, bersama beberapa teman kami melakukan dialog singkat dengan pihak kepolisian.Â
Ternyata polisi yang waktu itu berdialog dan menerima rombongan massa aksi bukanlah Kapolda atau pembesar Polda NTT lainnya tetapi Kapolres Kupang Kota (Kompas.com, 07/09/2019).Â
Pikir saya waktu itu, mungkin Kapolda NTT baru saja digantikan oleh Kapolresta Kupang. Sudahlah, tak perlu diperdebatkan. Intinya pihak kepolisian sudah menerima kami dengan segala tuntutan yang kami bawa.
      Beberapa poin penting yang menjadi tuntutan massa aksi waktu itu adalah sebagai berikut:
- Menuntut Kapolda NTT segera menangkap pelaku pembunuhan Alm. Charly Sowo
- Menuntut Kapolda NTT untuk segera membentuk team investigasi khusus untuk mengungkap dan menangkap pelaku pembunuhan
- Menuntut Kapolda NTT untuk melindungi para saksi yang akan bersaksi
- Menuntut Kapolda NTT untuk segera menangani kasus ini secara profesional
- Menuntut Kapolda NTT supaya secara terbuka dan segera mengumumkan hasil investigasi kasus kematian tersebut
- Jika tuntutan-tuntutan tersebut tidak dilakukan maka kami akan datang lagi unuk menanyakannya dengan jumlah massa yang lebih banyak lagi.
Kini sesudah tujuh bulan kepergian Charly Sowo, bagaimana dengan kelanjutan proses penanganan kasus kematiannya? Sudah sejauh mana efektivitas dari tuntutan yang telah dilayangkan? Mungkin saja pihak Polda NTT sedang bekerja dalam diam ataukah mendiamkannya. Entahlah. Jika benar telah bekerja, mana hasilnya? Tunggu nanti......
Hemat saya, jika yang terjadi adalah pihak Polda NTT "mendiamkan" kasus ini, saya kira tidak ada alasan bagi kita untuk turut mengamininya. Mungkin baik sekali lagi kita melakukan aksi serupa. Menggelar aksi dengan massa yang lebih banyak lagi sebagaimana tuntutan terakhir massa aksi waktu aksi damai.
 Maaf, ini bukan provokasi. Kalau Ikhsan Skuter dalam salah satu lirik lagunya mengumandangkan "diam dianggap pasif dan lantang dibilang subversif", saya tegaskan, ini bukanlah langkah subversif.Â
Bukan juga sebentuk agitasi. Ini lebih pada keberpihakan pada kemanusiaan yang tertindas. Iya, Charly Sowo bagi saya merupakan representasi dari potret kemanusiaan yang tertindas di negeri ini. Negeri hukum tanpa keadilan.
Apalah artinya merayakan hari kasih sayang (valentine day) jika kita terus diam di hadapan persoalan kemanusiaan? Alm. Charly Sowo juga manusia sama seperti kita yang membutuhkan kasih sayang.Â
Jenazahnya mungkin sudah menjadi tanah, kuburnya memang telah rapat tertutup tapi kasusnya jangan kita diamkan. Pilihan keberpihakan pada Charly ada di tangan kita masing-masing. Tinggal sekarang, bergerak atau terus diam?
Selamat hari Valentine teman, kakak, saudara tercinta Carolino Agustino Sowo. Berharap kau tenang di alam sana.
Kupang, 14 Februari 2019
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H