Penafsiran tersebut, secara tidak langsung menunjukkan luasnya pengertian konflik. Pada praktiknya orang akan memberikan penafsiran yang berbeda-beda mengenai apa itu konflik.
Dalam beberapa literatur akan dapat ditemui beberapa pengertian mengenai konflik namun dari berbagai definisi-definsi yang berkembang belum ada kesamaan pemahaman untuk mendefinisikan apa arti konflik sesunguhnya.
Sebelum kita masuk ke bagian teori-teori konflik ada baiknya kita menelaah dulu asal kata konflik itu sendiri. Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang mengandung arti saling memukul.Â
Sementara secara sisologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, dimana satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Untuk lebih memahami mengenai Konflik maka perlu ditelusuri sejarah munculnya teori konflik. Teori konflik merupakan teori yang mulanya diperkenalkan oleh Karl Mark.Â
Bermula pada perhatiannya terhadap masalah-masalah perbedaan kelas sosial yang saat itu berkembang di perancis. Perbedaan kelas tersebut, menciptakan adanya kelompok masyarakat Borjuis dan Proletar.
Masyarakat Borjuis merupakan kelas masyarakat pemilik modal, mereka mempunyai kekuasaan dan kekuatan uang, memilik ilmu dan keahlian khusus, sementara masyarakat kelas proletar adalah mereka yang relatif minim memiliki sumber-sumber daya modal, unskill dan banyak sebagai pekerja miskin. Kehidupannya bergantung pada sumber-sumber penghidupan yang disediakan/diberikan dari masyarakat borjuis/pemilik modal.
Dengan demikian kelas masyarakat borjuis, merupakan kelas masyarakat yang kuat. Sementara kelas proletar merupakan kelas masyarakat yang lemah.
Karena kuatnya kertergantungan kelas masyarakat proletar terhadap kelas masyarakat borjuis secara tidak langsung, dan kuatnya penetarasi ekonomi kelas borjuis terhadap kelas proletar sehingga menimbulkan praktik-praktik eksploitasi kelas borjuis terhadap kelas proletar.
Semakin lama gap/kesenjangan antara kelas masyarakat borjuis dengan masyarakat proletar semakin lebar. Kesenjangan tersebut tidak hanya  di bidang ekonomi, tapi juga sudah merembet ke bidang sosial dan budaya.Â
Akibat berbagai tersebut mendorong kesadaran dari kelas masyarakat proletar yang memang selama ini berada di bawah penguasaan kelas borjuis, melakukan pembrontakan yang lebih dikenal sebuah gerakan sosial (revolusi).