Para filsuf kuno memandang para demagog sebagai landasan penting dalam demokrasi Athena, dan sama seperti mereka sebagian besar sepakat dalam penolakan moral terhadap bentuk konstitusi ini, mereka juga memberikan kesaksian yang memberatkan kepada para demagog. Socrates karya Platon mengkritik para demagog di Gorgias. Hal ini tidak memberikan kontribusi terhadap pengajaran dan peningkatan moral warga Athena, karena tujuan pidato mereka bukanlah untuk menyatakan kebenaran, melainkan untuk membangkitkan niat baik di antara para pendengar, dan tujuan mereka bukanlah kesejahteraan Masyarakat,, polis, melainkan keuntungan mereka sendiri.
Citra seorang demagog pada hakikatnya terbentuk dalam komunikasi langsung dengan masyarakat. "Media" yang paling penting adalah tubuh sendiri  dalam arti luas: fisiognomi, gaya rambut, janggut, gerak tubuh, pakaian, suara, dll. tunduk pada kode-kode yang sebagian diambil dari zaman kuno dan sebagian baru dibuat.
Sang demagog menggarisbawahi kata-katanya yang ditujukan kepada rakyat dengan gerakan tangan menyapu, isyarat khas ini bahkan lebih mengesankan daripada suara peringatannya, tuduhan yang ditujukan. Bahkan  dilebih-lebihkan hingga menjadi sindiran. Dia yakin bahwa dia layak berkuasa karena dia  dan hanya dia  yang mengetahui kebenaran. Dia menggunakan wawancara dan penampilan publik untuk memberi tahu pembaca apa yang ingin mereka dengar dan menggunakannya untuk menyederhanakan hubungan yang rumit. Â
Kaum populis bisa jadi memecah belah masyarakat, pandangan mereka yang sederhana terhadap masyarakat hanya membedakan antara kami dan non kami (tendensus bermoral atau tidak bermoral. Â Melalui post truth menciptakan tuduhannya lebih berbobot, mereka terus-menerus mencari kambing hitam dan menuduh non kami pelanggar hukum dan etika, atau menghambur-hamburkan uang yang merugikan negara.
Pada pemilu Indonesia sejak reformasi sampai tahun 2024, kekayaan diam-diam disamarkan bakhan nyata-nyata dipraktikan dalam penanaman citra para demagog. Para pelaku dengan murah hati dan memastikan bahwa hal tersebut didiskusikan secara apresiatif di antara Masyarakat, melalui grup-grup, media sosial bahkan gosib kosong. Belum terbukti apakah hal ini akan memberikan keuntungan bagi demagog kaya dalam pemilu dan pemungutan suara di masa depan.
Saat ini, para pemimpin negara otoriter  ada juga pemimpin di negara-negara yang disebut demokrasi  mewakili perpaduan keduanya: hasutan dan populisme. Kurang lebih dengan sengaja, mereka berjuang untuk mendapatkan kekuasaan, jika mungkin dengan lebih tidak dibatasi. Indonesia dengan budaya Timur terlalu kecil dan terlalu demokratis untuk membiarkan kecenderungan seperti itu. Namun demikian, watak kebencian, iri hati, uang, rasa misi dan bakat retoris, seperti yang dijelaskan di atas, tidak salah lagi dimiliki oleh negarawan Indonesia hanya mengandalkan demagog dan populis._ Prof Apollo/6/2/24
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H