ketaatan mengandaikan kewaspadaan mental, persetujuan tanpa usaha, dan kekuatan mental. Â Jika spiritual mencoba untuk memaksakan tuntunan ilahi tanpa pandang bulu, hal itu dapat menghancurkan kepribadian yang rentan. Oleh karena itu ia harus memperhitungkan kemampuan psikologis orang beriman.
Interioritas manusia tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga psikologis. Dalam pelayanan pastoral dan pengakuan dosa, spiritual memusatkan perhatiannya pada variabel-variabel spiritual seperti: cinta,  benci, kerendahan hati, kesombongan, ketaatan  ketidaktaatan, kewaspadaan spiritual  apatis, filantropi, kesederhanaan sambil mengabaikan variabel psikologis seperti: Kesehatan, patologi, diri,  kepercayaan diri, kerugian, sadar,  bawah sadar, introversi,  ekstroversi, keterampilan komunikasi, penarikan diri dari sosial.
Faktor psikologis tidak boleh diabaikan karena sangat menentukan realitas eksistensial. Emosi negatif seperti: rasa tidak aman, fobia, obsesi, kecemasan dan kesedihan yang tidak beralasan mempengaruhi struktur dan fungsi kepribadian dan menghambat jalan spiritual umat ber Tuhan.
Peran Sang Ada, tidak terbatas pada memberikan informasi kepada umat beriman tentang apa yang Tuhan inginkan darinya, atau mendorong penerapan kehendak Ilahi, namun mempersiapkan umat beriman untuk menerima firman Ilahi dan mempraktikkannya. Tugas utamanya adalah berkontribusi pada penciptaan kondisi sehingga pelaksanaan kehendak Tuhan menjadi mungkin.
Bapa rohani adalah petani yang memberantas hama, membajak dan menyirami ladang agar siap untuk disemai. Pekerjaannya juga mencakup menabur tetapi tidak terbatas pada itu saja. Juga tidak masuk akal untuk mengeluh tentang kualitas lapangan. Perhatian utamanya adalah mengolah tanah agar menjadi subur. Sebab bila kondisinya tepat, benih itu akan tahu dengan sendirinya bagaimana menjadi tanaman dewasa dan menghasilkan buah.
Keegoisan bukanlah kelemahan atau cacat karakter yang menjadi tanggung jawab saya dan yang dapat saya atasi dengan kekuatan kemauan saya di sini dan saat ini. Itu bukanlah sesuatu yang bisa saya atasi sesuka hati.
Ketika saya bertindak egois, saya terjebak dalam kelemahan dan kebutuhan pribadi saya. Ketika saya terikat oleh keegoisan, saya terpaksa melayani kebutuhan pribadi saya dan tidak dapat berpikir, merasakan, dan berperilaku sesuai dengan kecintaan terhadap perintah Tuhan. Nafsu manusia adalah dorongan sadar dan bawah sadar obsesif yang membingungkan saya dan menjauhkan  dari Tuhan.
Semakin kuat nafsu terpatri dalam diriku, semakin aku terikat olehnya dan semakin kecil kemungkinanku untuk hidup bebas, yaitu sesuai dengan kehendak Ilahi.(Pada tingkat spiritual, kebebasan pribadi dan ketaatan kepada Tuhan adalah konsep yang identik). Ini adalah jebakan yang menjadi dasar penderitaan. Semakin aku mengikat diriku pada dorongan hatiku, semakin aku menderita. Kenikmatan yang didapat dari pemuasan hawa nafsu ibarat pinjaman di bank yang bunganya sangat tinggi. Mengejar kesenangan yang egois akan melahirkan kebangkrutan eksistensial. Kita tidak memilih untuk memiliki nafsu, kita hanya merasakan intensitas nafsu dalam diri kita. Kami merasa bahwa mereka sangat mempengaruhi perilaku kami sehingga kami tidak dapat menolaknya. Kita tidak bersalah atas nafsu kita sejauh kemauan kita tidak cukup untuk mengatasinya.
Penyembuhan nafsu dan pembebasan dari keterikatan yang egois adalah sebuah misteri. Hal ini tidak dapat dilakukan melalui upaya manusia secara sadar, melainkan melalui campur tangan Tuhan. Mengatasi sikap mementingkan diri sendiri bukanlah hasil dari upaya asketis yang dilakukan secara sadar, melainkan buah dari kunjungan akan Sang Ada (Roh Tuhan). Penyembuhan nafsu dialami sebagai anugerah langsung berupa kebebasan transenden.
Orang percaya mengalami kesembuhan tanpa mampu menjelaskan secara logis proses pasti dari pengalaman penyembuhannya. Kesembuhan bukanlah imbalan atas usaha dan pengorbanan zuhud, melainkan anugerah Ilahi yang diberikan secara cuma-cuma demi kerendahan hati. Orang beriman tidak dapat mengatasi egonya dengan kekuatan kemauan. Namun ketika ia terhimpit dalam kontaknya dengan kenyataan dan menjadi hampa dari dirinya sendiri, ia membiarkan Rahmat Tuhan mengunjunginya dan menguasai dirinya. Menyebutkan kehancuran kepada Tuhan akan menarik Rahmat.
Para pemikir, meskipun mereka cerdik pandai, bisa saja mereka mengambil posisi yang salah terutama dalam hal-hal non-doktrinal. Mereka sering mengutarakan pendapat yang tidak didasarkan pada Anugerah namun berdasarkan iklim budaya pada masanya atau jiwa khusus mereka. Di sisi lain, kita sendiri mungkin salah menafsirkan makna kata-kata mereka ketika kita menyaring kata-kata mereka melalui kriteria kita yang modern, berbeda, dan sekuler.
Melalui kelemahan kita, kita sering salah memahami makna terdalam dari perkataan ayah tersebut. Karena tidak mungkin untuk memahami apa yang berada di luar jangkauan kita. Lebih baik daripada berusaha memahami dengan pikiran kita maksud kata-kata mereka, cobalah meniru kehidupan mereka. Dalam esensi terdalam dan bukan dalam bentuk luar yang tampak. Karena bukan pengetahuan melainkan penerapan praktis dari kehendak ilahi yang membuka jalan menuju pengetahuan tentang Tuhan.
Perilaku kita tidak terdiri dari reaksi otomatis dan refleksif terhadap rangsangan lingkungan, perilaku kita tidak ditentukan oleh akumulasi pengalaman negatif di masa lalu, perilaku kita bukanlah buah dari pilihan bebas dan pribadi, melainkan fungsi dari semua faktor tersebut. Perilaku kita merupakan hasil totalitas interaksi seluruh faktor internal dan eksternal yang membentuk kehidupan kita dan seluruh alam semesta. Setiap saat segala sesuatu yang ada di dalam diri kita berinteraksi satu sama lain dan dengan segala sesuatu yang ada di luar, di luar, dan di atas kita.
Kebebasan: Kebebasan diilhami oleh nilai-nilai dan tujuan tetapi terikat oleh kondisi alam bawah sadar dan tujuan eksternal. Interpretasi pribadi atas realitas. Kita biasanya tidak memahamirealitas pengalaman dan perilaku orang lain secara objektif, tetapimenafsirkannyaberdasarkan kode subjektif, mental, dan emosional kita sendiri. Dan  tidak menanggapi orang lain setelah memahami apa yang sebenarnya dia katakan. Kata-kata dan perilakunya membangkitkan rasa tidak aman, ketakutan, dan trauma dalam diri kita. Intinya, kita tidak menanggapi pesan-pesan nyata yang diberikannya kepada kita, namun terhadap apa yang ditentukan oleh reaksi emosional kita sendiri.
Kita tidak sepenuhnya sadar akan data dan proses mental kita. Seringkali kita tidak tahu mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan dengan cara yang kita lakukan. Kita tidak membenarkan tindakan kita dengan mencari motif yang lebih dalam dari perilaku kita, namun kita membenarkan diri kita sendiri dengan menciptakan argumen yang mendukung citra diri kita. Kami tidak tertarik pada akar perilaku bawah sadar yang lebih dalam karena kebenaran pada tingkat ini tidak memiliki nilai manfaat langsung. Analisis perilaku yang lebih mendalam dapat mengganggu mekanisme mental yang menjaga keseimbangan kita. Tujuan umum dalam kehidupan sehari-hari bukanlah pengetahuan diri dan perbaikan diri, melainkan keseimbangan dan kepuasan.
Jadi perilaku kita bukanlah reaksi otomatis terhadap rangsangan lingkungan. Perilaku kita bergantung pada filter mental dan psikis internal yang dengannya kita menafsirkan realitas dan bereaksi terhadapnya. Kita tidak bereaksi terhadap kenyataan tetapi terhadap apa yang kita tafsirkan sebagai kenyataan.
Manusia merupakan entitas bio-psiko-sosial-budaya-spiritual. Semua faktor dalam seluruh dimensi keberadaan manusia secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi perilaku. Dalam konseling pastoral kita perlu memperhitungkan sejauh mana faktor-faktor dari setiap dimensi menentukan kepribadian dan mempengaruhi dinamika kebebasan. Kita tidak dapat memahami lawan bicara kita jika kita tidak mengetahui bidang eksistensial dan spiritual di mana ia bergerak.
Kehendak bebas sebagai kemungkinan untuk melaksanakan kebebasan adalah kemampuan untuk mengatur kondisi yang mengikat kebebasan. Manusia bebas sepanjang ia mempunyai kemampuan untuk mengkoordinasikan faktor-faktor di seluruh dimensi keberadaannya. Ringkasnya, kita dapat menyebutkan tiga dimensi dasar yang menjadi ciri kepribadian manusia dan menentukan penafsiran realitas, perilaku, dan kebebasan memilih.
Pertama Dimensi biologis Somatotipe, daya tahan, kecenderungan turun-temurun, impuls naluriah, kemungkinan kelainan atau penyakit, bio-fisiologi otak dan fungsi hormonal; kedua Dimensi psikologis; Keseimbangan, rasa tidak aman, pengendalian diri, relaksasi, ketenangan, kecemasan, ledakan, kepekaan, introversi, keterampilan komunikasi, harapan, pengalaman traumatis, kecerdasan, keyakinan, dan ketiga  Dimensi spiritual.  Variabel spiritual yang menentukan persepsi dan perilaku terbentuk berdasarkan hubungan pribadi dengan Tuhan dan inklusi dalam tubuh yakni Rahmat Tuhan.
Variabel-variabel tersebut misalnya: keimanan, ketaatan pada kehendak Ilahi, cinta kasih, kerendahan hati, kasih Ilahi, pengorbanan, pelayanan. Manusia spiritual selalu berhubungan dengan realitas melalui filter dimensi spiritual. Dipersenjatai dengan trauma hubungan pribadi yang penuh doa dengan Tuhan, dia menjalani segala sesuatu melalui prisma hubungan pribadinya dengan Tuhan. Perilakunya terbentuk bukan sebagai respons terhadap tantangan dunia, melainkan sebagai persetujuan terhadap undangan Tuhan. Segala yang dia lakukan, dia lakukan dengan pertolongan Tuhan, demi Tuhan (Ingsun iki Allah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H