Moksa di Kaki Gunung Lawu
Wahai alam, aku tidak bercita-cita
menjadi yang tertinggi di paduan suaramu,
atau menjadi meteor di langit
atau komet yang bisa naik begitu tinggi,
tapi hanya angin sepoi-sepoi yang bisa berhembus
di antara alang-alang di tepian sungai.
Beri aku tempat yang paling terpencil,
di mana aku bisa menjalankan perlombaan udara.
Di  rumput sawah yang terpencil dan sepi,
izinkan aku berbisik di atas alang-alang,
atau di hutan dengan suara dedaunan
berbisik saat malam yang tenang tiba,
karena pertama-tama aku akan menjadi anak
dan muridmu di hutan liar
daripada raja manusia, di tempat lain,
Dan budak kekhawatiran yang paling berdaulat,
karena aku lebih memilih momen fajarmu saja
daripada berbagi sepanjang tahun di Surakata  malang itu.
Beri aku untuk melakukan pekerjaan yang tenang
dan biarkan itu berada di sisimu.
Kita tidak dapat melupakan langkah sehari-hari
di Lembah Kehidupan
berkaitan dengan langkah angin
tetapi  dengan langkah serangga terkecil
yang berpenampilan seperti burung condor yang terbang tinggi
tetapi  dengan ulat
yang menjerit derasnya sungai.
tapi  dengan keheningan danau
dengan kehadiran raja Brawijaya V
ditambah  dengan kerendahan hati pudar.
Dapatkah hutan menyangkal pohon yang kesepian?
Bisakah batu yang sendirian itu menyangkal buruannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H