Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apa Itu Parrhesia, Sebagai Etika Era Digital (2)

6 Desember 2023   21:03 Diperbarui: 9 Desember 2023   22:22 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Parrhesia, Sebagai Etika Era Digital /dokpri

Apa Itu Parrhesia, Sebagai Etika Era Digital (2)

Etika informasi era Digital yang dimulai dengan konsep Yunani tentang Parrhesia atau Kebebasan Berpendapat sebagaimana dianalisis oleh Michel Foucault. Konsep etika informasi atau etika era digital terkini terutama terkait dengan permasalahan yang muncul pada abad terakhir dengan berkembangnya teknologi komputer dan internet. Konsep etika informasi atau etika era digital yang lebih luas yang berhubungan dengan rekonstruksi digital dari semua fenomena yang mungkin mengarah pada pertanyaan yang berkaitan dengan ontologi digital. Sejarah penafsiran diri kita dan sejarah penafsiran makna Wujud tidaklah sama tetapi tidak dapat dipisahkan. Heidegger memberikan contoh bagaimana pemahaman kita tentang Wujud telah berubah (umgeschlagen)  dengan menjelaskan asal usul sikap teoretis sehubungan dengan alat dan Alam fisik. 

Ketika sebuah alat, misalnya palu, yang siap digunakan dalam kehidupan sehari-hari dianggap terlepas dari penggunaan lokalnya dalam suatu totalitas hubungan, yaitu, jika dipertimbangkan dengan sikap ilmiah, alat tersebut menjadi suatu entitas jasmani masa kini. di tangan tunduk pada hukum gravitasi di mana sifat berat tidak ada hubungannya dengan kekhawatiran sehari-hari palu terlalu berat atau terlalu ringan. Tempatnya menjadi posisi spatio-temporal, sebuah 'titik dunia', yang sama sekali tidak dapat dibedakan dari yang lain. (Heidegger). Jika tidak hanya satu wujud tetapi totalitas entitas diartikulasikan sedemikian rupa, kita mendapatkan perspektif metodologis ilmu pengetahuan modern.

di mana Alam sendiri diproyeksikan secara matematis. Dalam proyeksi ini, sesuatu yang selalu ada (materi) disingkapkan terlebih dahulu, dan cakrawala dibuka sehingga seseorang dapat dibimbing dengan melihat unsur-unsur pokok di dalamnya yang dapat ditentukan secara kuantitatif (gerakan, gaya, lokasi, dan waktu).  Hanya 'dalam terang' Alam yang telah diproyeksikan dengan cara ini, sesuatu seperti 'fakta' dapat ditemukan dan disiapkan untuk eksperimen yang diatur dan dibatasi dalam proyeksi ini  (Heidegger).

Karakter paradigmatik ilmu alam matematika bukan sekedar penerapan matematika pada proses alam atau sejenisnya, namun proyeksi sebelumnya dari entitas yang ditemukannya. Dalam kaitannya dengan teori ilmu pengetahuan yang kemudian disebut perubahan paradigmatik (Kuhn 1962) Konsepsi Heidegger tentang perubahan ontologis mengartikulasikan proses pengungkapan dunia yang mengandaikan keberadaan Dasein atau keberadaan manusia di dunia itu sendiri. sebagai entitas yang melampaui batas.

Dengan kata lain, untuk memproyeksikan atau 'melemparkan' suatu dunia, Dasein harus memperhatikan Wujud itu sendiri, jika tidak maka tidak akan mungkin terjadi perubahan paradigmatik pada tingkat ontologis. Hal ini berarti observasi empiris tidak hanya selalu sarat dengan teori seperti yang ditekankan oleh Karl Popper (Popper 1). Poin yang dibahas oleh Heidegger lebih radikal dan berkaitan dengan apa yang disebut oleh ahli matematika Inggris George Spencer Brown sebagai ruang tak bertanda yang memungkinkan adanya perbedaan antara operasi dan pengamatan (Spencer Brown).

Mengikuti interpretasi terkini, konsep Wujud Heidegger dapat dipahami sebagai setara dengan ruang tak bertanda sebagaimana dipahami oleh sosiolog Jerman Niklas Luhmann yang mengikuti Spencer Brown (Luhmann 1987). Pada momen pengamatan, yang merupakan kondisi tepat waktu,   pengamat tentu melupakan asal muasal perbedaannya. Dalam kasus metafisika yang beroperasi dengan perbedaan esensi (apa adanya) dan keberadaan (yaitu), kelupaan ini berkaitan dengan Wujud itu sendiri.

Wawasan Heidegger tentang Wujud sebagai perbedaan yang membolehkan adanya perbedaan dapat ditafsirkan dalam kerangka logika Fregean. Seperti yang dikemukakan oleh filsuf analitik Jerman Tobias Rosenfeldt, perbedaan Gottlob Frege antara nama diri (Eigennamen)  dan fungsi (Funktionsausdrcke)  dapat digunakan untuk memahami perbedaan Heidegger antara Wujud dan wujud sejauh Wujud tidak dipahami sebagai properti dari wujud. (Rosenfeldt).

Hal ini memungkinkan kita membangun kalimat yang tidak hanya merujuk pada objek tetapi membedakan antara makna (Sinn)  dan makna (Bedeutung).   Makhluk hidup, kecuali manusia, beroperasi dengan makna dengan acuan tanda-tanda, bukan dengan akal budi mereka. Namun seperti yang ditunjukkan Frege, kita memerlukan ujaran dengan posisi kosong untuk membangun nama diri, yaitu untuk membuat referensi (benar/salah) pada suatu objek. Tanpa makna keberadaan yang tidak dapat ditentukan (unbestimmte Bedeutung von Sein),   seperti yang ditekankan Heidegger (1976), tidak akan ada bahasa dan makhluk tidak dapat dipahami sebagaimana adanya. Eksistensi manusia, menurut Heidegger, berkaitan dengan makna atau rasa keberadaan yang tidak dapat ditentukan sebagai tempat (Da)  di mana penentuan atau pembedaan dimungkinkan. Kondisi yang memungkinkan penentuan tersebut mencakup konsepsi bahasa sebagai praktik sosial, sebuah pandangan yang dianut oleh Ludwig Wittgenstein dalam Investigasi Filsafat (Wittgenstein 1984). Bagi kedua pemikir tersebut, keberadaan manusia dipahami sebagai sesuatu yang berakar pada suatu komunitas, yang secara praktis berkaitan dengan hal-hal di dunia.

Heidegger menekankan dimensi etis dari perawatan diri dalam keberadaan manusia. Dari perspektif ini, ontologi pada dasarnya bukanlah suatu disiplin ilmu khusus yang berbeda dari etika, namun ia sudah menjadi etika dalam arti aslinya, yakni suatu pandangan dasar tentang etos kita atau keberadaan kita di dunia bersama orang lain. Konsepsi Heidegger tentang ontologi sebagai problematisasi metafisika dapat dipahami sebagai konsepsi Wujud yang lemah dibandingkan dengan pandangan metafisika yang kuat, sebagaimana dianalisis oleh filsuf Italia Gianni Vattimo (Vattimo 1985). Dalam istilah etika, ini lemah atau estetis view of Being berarti perspektif yang tidak terlalu mengandung kekerasan terhadap tindakan manusia dan masyarakat manusia.

Saya yakin, ontologi digital adalah perwujudan Wujud yang tersebar luas saat ini. Tapi apa maksudnya? Pengecoran atau pemahaman Wujud ini berakar pada metafisika Barat dan khususnya dalam prosedur pemisahan (chorizein)  atau abstraksi titik dan angka dari makhluk alami (physei onta)  sebagaimana dianalisis oleh Aristotle  dalam bukunya Fisika dan sebagian besar dibahas oleh Heidegger dalam kuliahnya Sophistes (Heidegger). Aristotle  mengkarakterisasi titik-titik mengingat ketidakbertempatannya (atopos)  meskipun posisinya (thetos)  sedangkan angka tidak mempunyai tempat dan posisi (athetos)  (Aristotle). Titik-titik dan struktur-struktur geometri yang diturunkan darinya serta angka-angka menjadikan makhluk hadir, sebagaimana dikatakan Heidegger, dalam cara yang berbeda, yaitu sebagai struktur geometris dan entitas aritmatika. Kontemplasi geometris mendapat tempat dalam persepsi (esthesi)  sedangkan aritmatika, sebaliknya, abstrak dari setiap dimensi dan orientasi inderawi. (Heidegger)

Entitas geometris dapat diperlakukan dalam otonominya sendiri sejauh mereka terpisah dari wujud fisik. Salah satu penemuan utama Heidegger sehubungan dengan pertanyaan tentang Wujud adalah bagi metafisika, pengertian Wujud adalah kehadiran. Karena kehadiran   bersama dengan masa lalu dan masa depan   adalah dimensi waktu, maka waktu adalah cakrawala tersembunyi dari penafsiran metafisik Wujud. 

Menurut Heidegger, metafisika melupakan temporalitas dalam tiga dimensi penuhnya dengan hanya berpegang pada pengertian kehadiran satu dimensi atau kehadiran berdiri di tangan. Jika pengecoran Wujud secara digital dengan hanya berpegang pada rasa kehadiran satu dimensi melupakan pertanyaan tentang Wujud dalam tiga dimensi penuhnya, maka ia berubah menjadi metafisika digital. Oleh karena itu, perbedaan antara ontologi digital dan metafisika digital, dengan mengikuti teori ini, penting jika kita ingin menghindari posisi teoretis dogmatis dan konsekuensi etisnya.

Dalam kerangka teknologi digital saat ini, titik dan angka dapat dikatakan terbentuk dalam media elektromagnetik. Hal ini tidak hanya berarti penciptaan makhluk digital, namun yang lebih mendasar adalah penafsiran semua makhluk sebagai makhluk digital dan representasi mereka yang tidak ada dunia sebagai kehadiran yang berdiri di depan mata. Rumusan George Berkeley mengenai hakikat objek ilmu pengetahuan yaitu Their esse is percipi  (Berkeley) harus dirumuskan kembali menjadi to be is to be digital atau their esse is computari. Namun pernyataan ini tidak berarti benda-benda sekarang dianggap terbuat dari angka biner atau hanya bit yang berbeda dari atom (Negroponte).    

Revolusi informasi sangat mempengaruhi apa yang dilakukan para filsuf, cara mereka memikirkan permasalahannya, permasalahan apa yang mereka anggap patut mendapat perhatian, cara mereka mengkonseptualisasikan pandangan mereka, dan bahkan kosakata yang mereka gunakan (Luciano Floridi)

Penting untuk ditekankan dengan mempertimbangkan konsep ontologi seperti yang telah dijelaskan, revolusi informasi tidak hanya menyangkut pengaruh komputasi dan informasi (digital) terhadap filsafat tetapi pandangan luas yang saat ini kita yakini kita memahami berbagai hal. dalam keberadaan mereka sejauh kita mampu mendigitalkannya.

Dan tidak mengklaim semua umat manusia atau bahkan kelompok tertentu, katakanlah, semua ilmuwan komputer atau semua filsuf berpikir atau bahkan menjalani kehidupan sehari-hari mereka secara eksplisit dalam kerangka ini atau mereka secara teoritis setuju dengan kerangka ini. Dugaan saya berkaitan dengan persepsi ontologi digital dalam bentuk metafisika digital meresap dalam pengertian sepele masyarakat kita secara keseluruhan termasuk metode ilmiah dan refleksi filosofis kita. Ini adalah  Zeitgeist.

Panduan Blackwell yang telah disebutkan serta fenomena kompleks jaringan dan masyarakat digital yang dibahas misalnya oleh Sosiolog Manuel Castells dalam bukunya yang berpengaruh tentang era informasi,   yakin, merupakan tanda-tanda jelas hipotesis ini beralasan (Castells). Dan  sekarang berargumentasi untuk mendukung penafsiran ontologis dan bukan penafsiran metafisik atas pengecoran digital Wujud yang memungkinkan kita merelatifkannya. Dalam teori seperti ini yang menghindari titik buta metafisika dan menganggap Wujud sebagai ruang tak bertanda keberadaan manusia, pengecoran digital Wujud dapat ditafsirkan bukan sebagai semacam Pythagoreisme digital tetapi sebagai kemungkinan pengecoran dunia. (by Apollo, 2010)

Citasi:

  • Aristotle.,1984, Nicomachean Ethics, W.D. Ross (trans.), revised by J.O. Urmson, in The Complete Works of Aristotle, The Revised Oxford Translation, vol. 2, Jonathan Barnes (ed.), Princeton: Princeton University Press, 1984.
  • Cooper, John M. (ed.), 1997, Plato: Complete Works, Indianapolis: Hackett.
  • Fine, Gail (ed.), 1999, Plato 1: Metaphysics and Epistemology, Oxford: Oxford University Press.
  • Foucault, Michel., The Courage of Truth: The Government of Self and Others II; Lectures at the College de France, 1983-1984 (Michel Foucault Lectures at the College de France, 11), 2012
  • Gregor, M. (ed.), 1996, Practical Philosophy, Cambridge: Cambridge University Press.
  • Guyer, P. (ed.), 2000, Critique of the Power of Judgment, Cambridge: Cambridge University Press.
  • __ 1992, The Cambridge Edition of the Works of Immanuel Kant, Cambridge: Cambridge University Press
  • Haidegger, Martin, Being and Time, translated by J. Macquarrie and E. Robinson. Oxford: Basil Blackwell, 1962 (first published in 1927).
  • __., Kant and the Problem of Metaphysics, translated by R. Taft, Bloomington: Indiana University Press, 1929/1997;
  • Locke, J. 1689, An Essay Concerning Human Understanding, in P. Nidditch (ed.), An Essay Concerning Human Understanding, Oxford: Clarendon Press, 1975.
  • Miller, Jon (ed.), 2011, Aristotle’s Nicomachean Ethics: A Critical Guide, Cambridge: Cambridge University Press.
  • Reeve, C.D.C., 1992, Practices of Reason: Aristotle’s Nicomachean Ethics, Oxford: Oxford University Press;
  • White, Nicholas P., 1976, Plato on Knowledge and Reality, Indianapolis: Hackett.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun