Apa Itu Parrhesia, Sebagai Etika Era Digital (2)
Etika informasi era Digital yang dimulai dengan konsep Yunani tentang Parrhesia atau Kebebasan Berpendapat sebagaimana dianalisis oleh Michel Foucault. Konsep etika informasi atau etika era digital terkini terutama terkait dengan permasalahan yang muncul pada abad terakhir dengan berkembangnya teknologi komputer dan internet. Konsep etika informasi atau etika era digital yang lebih luas yang berhubungan dengan rekonstruksi digital dari semua fenomena yang mungkin mengarah pada pertanyaan yang berkaitan dengan ontologi digital. Sejarah penafsiran diri kita dan sejarah penafsiran makna Wujud tidaklah sama tetapi tidak dapat dipisahkan. Heidegger memberikan contoh bagaimana pemahaman kita tentang Wujud telah berubah (umgeschlagen) Â dengan menjelaskan asal usul sikap teoretis sehubungan dengan alat dan Alam fisik.Â
Ketika sebuah alat, misalnya palu, yang siap digunakan dalam kehidupan sehari-hari dianggap terlepas dari penggunaan lokalnya dalam suatu totalitas hubungan, yaitu, jika dipertimbangkan dengan sikap ilmiah, alat tersebut menjadi suatu entitas jasmani masa kini. di tangan tunduk pada hukum gravitasi di mana sifat berat tidak ada hubungannya dengan kekhawatiran sehari-hari palu terlalu berat atau terlalu ringan. Tempatnya menjadi posisi spatio-temporal, sebuah 'titik dunia', yang sama sekali tidak dapat dibedakan dari yang lain. (Heidegger). Jika tidak hanya satu wujud tetapi totalitas entitas diartikulasikan sedemikian rupa, kita mendapatkan perspektif metodologis ilmu pengetahuan modern.
di mana Alam sendiri diproyeksikan secara matematis. Dalam proyeksi ini, sesuatu yang selalu ada (materi) disingkapkan terlebih dahulu, dan cakrawala dibuka sehingga seseorang dapat dibimbing dengan melihat unsur-unsur pokok di dalamnya yang dapat ditentukan secara kuantitatif (gerakan, gaya, lokasi, dan waktu).  Hanya 'dalam terang' Alam yang telah diproyeksikan dengan cara ini, sesuatu seperti 'fakta' dapat ditemukan dan disiapkan untuk eksperimen yang diatur dan dibatasi dalam proyeksi ini  (Heidegger).
Karakter paradigmatik ilmu alam matematika bukan sekedar penerapan matematika pada proses alam atau sejenisnya, namun proyeksi sebelumnya dari entitas yang ditemukannya. Dalam kaitannya dengan teori ilmu pengetahuan yang kemudian disebut perubahan paradigmatik (Kuhn 1962) Konsepsi Heidegger tentang perubahan ontologis mengartikulasikan proses pengungkapan dunia yang mengandaikan keberadaan Dasein atau keberadaan manusia di dunia itu sendiri. sebagai entitas yang melampaui batas.
Dengan kata lain, untuk memproyeksikan atau 'melemparkan' suatu dunia, Dasein harus memperhatikan Wujud itu sendiri, jika tidak maka tidak akan mungkin terjadi perubahan paradigmatik pada tingkat ontologis. Hal ini berarti observasi empiris tidak hanya selalu sarat dengan teori seperti yang ditekankan oleh Karl Popper (Popper 1). Poin yang dibahas oleh Heidegger lebih radikal dan berkaitan dengan apa yang disebut oleh ahli matematika Inggris George Spencer Brown sebagai ruang tak bertanda yang memungkinkan adanya perbedaan antara operasi dan pengamatan (Spencer Brown).
Mengikuti interpretasi terkini, konsep Wujud Heidegger dapat dipahami sebagai setara dengan ruang tak bertanda sebagaimana dipahami oleh sosiolog Jerman Niklas Luhmann yang mengikuti Spencer Brown (Luhmann 1987). Pada momen pengamatan, yang merupakan kondisi tepat waktu, Â pengamat tentu melupakan asal muasal perbedaannya. Dalam kasus metafisika yang beroperasi dengan perbedaan esensi (apa adanya) dan keberadaan (yaitu), kelupaan ini berkaitan dengan Wujud itu sendiri.
Wawasan Heidegger tentang Wujud sebagai perbedaan yang membolehkan adanya perbedaan dapat ditafsirkan dalam kerangka logika Fregean. Seperti yang dikemukakan oleh filsuf analitik Jerman Tobias Rosenfeldt, perbedaan Gottlob Frege antara nama diri (Eigennamen) Â dan fungsi (Funktionsausdrcke) Â dapat digunakan untuk memahami perbedaan Heidegger antara Wujud dan wujud sejauh Wujud tidak dipahami sebagai properti dari wujud. (Rosenfeldt).
Hal ini memungkinkan kita membangun kalimat yang tidak hanya merujuk pada objek tetapi membedakan antara makna (Sinn) Â dan makna (Bedeutung). Â Makhluk hidup, kecuali manusia, beroperasi dengan makna dengan acuan tanda-tanda, bukan dengan akal budi mereka. Namun seperti yang ditunjukkan Frege, kita memerlukan ujaran dengan posisi kosong untuk membangun nama diri, yaitu untuk membuat referensi (benar/salah) pada suatu objek. Tanpa makna keberadaan yang tidak dapat ditentukan (unbestimmte Bedeutung von Sein), Â seperti yang ditekankan Heidegger (1976), tidak akan ada bahasa dan makhluk tidak dapat dipahami sebagaimana adanya. Eksistensi manusia, menurut Heidegger, berkaitan dengan makna atau rasa keberadaan yang tidak dapat ditentukan sebagai tempat (Da) Â di mana penentuan atau pembedaan dimungkinkan. Kondisi yang memungkinkan penentuan tersebut mencakup konsepsi bahasa sebagai praktik sosial, sebuah pandangan yang dianut oleh Ludwig Wittgenstein dalam Investigasi Filsafat (Wittgenstein 1984). Bagi kedua pemikir tersebut, keberadaan manusia dipahami sebagai sesuatu yang berakar pada suatu komunitas, yang secara praktis berkaitan dengan hal-hal di dunia.
Heidegger menekankan dimensi etis dari perawatan diri dalam keberadaan manusia. Dari perspektif ini, ontologi pada dasarnya bukanlah suatu disiplin ilmu khusus yang berbeda dari etika, namun ia sudah menjadi etika dalam arti aslinya, yakni suatu pandangan dasar tentang etos kita atau keberadaan kita di dunia bersama orang lain. Konsepsi Heidegger tentang ontologi sebagai problematisasi metafisika dapat dipahami sebagai konsepsi Wujud yang lemah dibandingkan dengan pandangan metafisika yang kuat, sebagaimana dianalisis oleh filsuf Italia Gianni Vattimo (Vattimo 1985). Dalam istilah etika, ini lemah atau estetis view of Being berarti perspektif yang tidak terlalu mengandung kekerasan terhadap tindakan manusia dan masyarakat manusia.