Dikutip dari Wikipedia kata Magisterium adalah sebuah pihak berwenang dalam hal pengajaran dalam (khususnya) Gereja Katolik Roma. Kata ini berasal dari kata bahasa Latin magisterium yang aslinya bermakna kantor presiden/pemimpin/direktur/pengawas atau yang lainnya (juga khususnya, walau jarang dipakai, kantor guru/pengajar/instruktur anak-anak muda) atau bermakna ajaran, instruksi atau nasihat.
Dalam Gereja Katolik Roma kata "Magisterium" merujuk pada pihak berwenang Gereja urusan pengajaran ajaran Gereja. Kewenangan ini diwujudkan dalam episkopasi, yakni kumpulan semua uskup Gereja, yang dipimpin oleh Uskup Roma (Sri Paus) yang memiliki kekuasaan di atas para uskup lainnya, baik secara pribadi maupun secara institusi, yang juga memiliki kekuasaan atas diri setiap umat Katolik secara langsung. Menurut doktrin Katolik, Magisterium dapat mengajarkan atau menginterpretasikan kebenaran-kebenaran Iman Gereja, dan pihak ini melakukannya dengan atau tanpa status infalibilitas.
"Tugas untuk menginterpretasikan Sabda Tuhan aslinya telah dipercayakan sepenuhnya kepada Magisterium Gereja, yakni Sri Paus dan para Uskup dalam kebersamaan dengan-Nya" (Katekismus Gereja Katolik).
Pada tradisi Nusantara atau Tanah Jawa dokrin Memayu Hayuning Bawana adalah logos Jawa: Bersifat Dialektis Jagat Gumelar, Jagat Gumulung menghasilkan Buwono Langgeng; dalam tatanan harmoni alam dan manusia yang saling terhubung/ menyatu/bersaudara dengan Alam (ekologis) untuk menghasilkan keindahan, kebaikan, dan kebenaran; (lihat gambar)
Untuk diskursus ini saya mengambil sudut padang Katolik tentang pendasaran kesadaran dan pertobatan ekologis (Memayu Hayuning Bawana), dan tanggungjawab moral manusia sebagai manusia yang diberikan kuasa untuk mengelola, mengantur, dan memafaatkan alam sebagai rahmat untuk semua dan bagi semua. Misalnya teks berbunyi "Segala puji bagi-Mu, Tuhanku". Dengan lirik himne yang indah ini, Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita  rumah kita bersama adalah seperti seorang saudara perempuan yang dengannya kita berbagi hidup dan seperti seorang ibu cantik yang membuka tangannya untuk memeluk kita. "Segala puji bagi-Mu ya Tuhanku, atas saudara perempuan kami, Ibu Pertiwi, yang memberi kami makan dan menjaga kami serta membiarkan segala jenis buah-buahan, bunga-bunga flamboyan, dan rumput tumbuh".
Saudari ini sekarang berseru kepada kita dalam keputusasaan sebagai akibat dari luka yang telah kita lakukan terhadapnya karena menggunakan dan menyalahgunakan karunia yang telah Tuhan berikan kepadanya secara tidak bertanggung jawab. Kita telah menganggap diri kita sebagai tuan dan penguasa yang mempunyai hak untuk merusaknya sesuka hati. Gejolak hati kita, yang dirusak oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang tersingkap di tanah, air, udara, dan segala bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi, yang terbebani dan dirusak, adalah bumi yang paling ditinggalkan dan disalahgunakan oleh kaum miskin kita; dia "berteriak seperti dalam kesakitan" (Roma 8). Kita lupa  kita sendiri berasal dari debu tanah (Kej 2); tubuh kita terbuat dari unsur-unsurnya, kita menghirup udaranya dan airnya memberi kita kehidupan dan kekuatan.
Lebih dari lima puluh tahun yang lalu, ketika dunia berada di ambang krisis nuklir, Paus St. Yohanes XXIII menulis sebuah ensiklik yang tidak hanya menolak perang namun  menawarkan usulan perdamaian. Beliau menyampaikan pesannya Pacem in Terris kepada seluruh "dunia Katolik" dan tentunya "kepada semua pria dan wanita yang berkehendak baik". Kini, ketika kita dihadapkan pada kemerosotan lingkungan global, saya ingin menyampaikan pesan kepada setiap umat manusia di planet ini. Dalam nasihat apostolik saya Evangelii Gaudium ( Sukacita Injil) saya berbicara kepada seluruh anggota Gereja dengan tujuan memperkuat pembaruan misi yang berkelanjutan. Dalam ensiklik ini, saya ingin berdialog dengan semua orang mengenai rumah kita bersama.
Pada tahun 1971, delapan tahun setelah Pacem di Terris, Beato Paus Paulus VI menyebut gangguan ekologis (Memayu Hayuning Bawana) sebagai "konsekuensi tragis" dari aktivitas manusia yang tidak terkendali: "Sebagai akibat dari eksploitasi alam yang sembrono, umat manusia berisiko menghancurkannya. dan, sebagai konsekuensinya, menjadi korban pembusukan ini". Dengan istilah serupa, ia berbicara di hadapan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) tentang potensi "bencana ekologi akibat ledakan industri" dan menggarisbawahi "perlunya perubahan radikal dalam perilaku manusia" karena "kemajuan ilmiah yang paling luar biasa, Â kemungkinan-kemungkinan teknologi yang paling menakjubkan, pertumbuhan ekonomi yang paling menakjubkan, tidak diragukan lagi akan merugikan kemanusiaan jika tidak dibarengi dengan pembangunan sosial dan moral yang dapat diandalkan".
 St. Yohanes Paulus II semakin terlibat dalam masalah ini. Dalam ensikliknya yang pertama, ia memperingatkan  manusia biasanya "tampaknya tidak melihat arti lain di alam selain dari apa yang dapat segera digunakan dan dikonsumsi".
Oleh karena itu, ia menyerukan konversi ekologi global. Pada saat yang sama, ia menunjukkan  upaya yang dilakukan masih sederhana dalam hal "menjamin kondisi moral bagi ekologi manusia yang autentik (Memayu Hayuning Bawana)".
Perusakan lingkungan hidup sangatlah serius, bukan hanya karena Tuhan mempercayakan dunia ini kepada kita, laki-laki dan perempuan, namun karena kehidupan manusia adalah anugerah yang harus dipertahankan dari berbagai bentuk degradasi. Segala upaya untuk melindungi dan memperbaiki dunia memerlukan perubahan mendasar dalam "gaya hidup, pola produksi dan konsumsi, serta struktur kekuasaan yang saat ini mengatur masyarakat kita".
 Perkembangan manusia yang sejati mempunyai sifat moral. Hal ini mengandaikan penghormatan penuh terhadap manusia, namun  harus peduli dengan dunia di sekitar kita dan "memperhitungkan sifat setiap makhluk dan keterkaitannya dalam suatu sistem yang teratur". Oleh karena itu, kemampuan manusiawi kita untuk mengubah realitas harus berkembang sejalan dengan anugerah awal Tuhan dalam segala hal.