Giorgio Agamben menyebut desubjektifikasi sebagai proses di mana kemustahilan [tidak (tidak dapat menjadi)] dan kebutuhan [tidak (tidak dapat menjadi)] beroperasi untuk menghancurkan subjek, karena hal-hal tersebut membentuk dalam dirinya perpecahan antara kekuasaan dan impotensi, mungkin dan tidak mungkin. Kebutuhan dan ketidakmungkinan beroperasi sebagai modalitas desubjektifikasi, karena keduanya menghilangkan subjek kemungkinan (mampu menjadi) dan kontingensi (tidak mampu menjadi), melembagakan sebuah "dunia, yang pada akhirnya tidak pernah menjadi duniaku, karena di sana ada tidak ada kemungkinan" (Giorgio Agamben).
Pemisahan non-manusia dari manusia mencapai titik puncaknya di penjara perang baru, di mana keheningan mengambil alih para tahanan, seperti yang disaksikan oleh Sami al-Haj, yang menurut Judith Butler, disiksa di penjara-penjara Amerika. Kandahar sebelum dipindahkan ke Guantanamo: "Saya dipermalukan dengan rantai. Bagaimana saya sekarang bisa menulis puisi? Bagaimana saya bisa menulis? Setelah rantai, malam, penderitaan, dan air mata, bagaimana aku bisa menulis puisi?" (Judith Butler). Kehidupan telanjang yang lepas dari kemampuannya mencipta dan mentransformasikan kata-kata, menjadikan puisi sebagai syarat kemungkinan masa depan berbeda dari apa yang diberikan. Tapi bagaimana tubuh yang tersiksa bisa membentuk ayat seperti itu, tanya Judith Butler.
"Tubuh bernafas, bernafas dengan kata-kata dan menemukan kelangsungan hidup sementara tertentu" (Judith Butler). Namun, isolasi dan degradasi kehidupan politik yang hanya sekedar bertahan hidup memungkinkan adanya ekspresi puitis dari para tahanan, karena kata-kata mereka menunjukkan pemisahan yang tidak dapat diatasi antara yang bukan manusia dan yang manusia, yang hidup dan yang berbicara, antara narapidana dan yang selamat.
Seperti kesaksian para penyintas kamp konsentrasi, puisi para tahanan melambangkan dalam tindakan kemungkinan berbicara di tengah ketidakberdayaan rasa sakit, penghinaan, penyiksaan dan kerinduan: "Tulang rusuk saya patah, dan saya tidak dapat menemukan siapa pun untuk menyembuhkanku. Tubuhku lemah, dan aku tidak melihat adanya kesembuhan di hadapanku" (Judith Butler). Setiap ayat berupaya meninggalkan jejak makhluk hidup yang berupaya melestarikan kemanusiaannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI