Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Semar, dan Genealogi Simbolik*

25 Januari 2023   01:55 Diperbarui: 9 Desember 2023   22:36 1971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semar dan Genealogi Simbolik*

Semar dan Genealogi Simbolik*

Wayang Semar adalah lambang yang mempunyai sifat ilmu dan seni keindahan yang bersifat beyond pada ruang dan waktu. Dengan mempelajari tokoh wayang Semar, diharapkan dapat diketahui dan dipahami tentang peribadatan, mitos rituil, religi, watak dan sifat dari pendukungnya. Lalu siapa dan apa dokrin Semar itu dalam interprestasi pada sejarah Indonesia, dan segala dimensinya?. Maka untuk memahami semar maka diperlukan pemaham teks yang bersifat meditatif replektf, untuk memperoleh kejelasan umum dalam tradisi Indonesia Klasik atau Jawa Kuna. 

Maka tidak mungkin memahami manusia Jawa tanpa memahami Semar dan Genealogi Simbolik;

Genealogi Semar atau sisilah adalah silsilah adalah teknik sejarah di mana seseorang mempertanyakan munculnya berbagai keyakinan filosofis dan sosial yang dipahami secara umum dengan mencoba menjelaskan ruang lingkup, luasnya atau totalitas wacana , sehingga memperluas kemungkinan analisis, sebagai dikurusu akademis. Istilah ideologi menjelaskan totalitas wacana sejarah dalam kurun waktu yang bersangkutan dengan menitikberatkan pada diskursus tunggal atau dominan (ideologi). Selain itu, silsilah sering mencoba untuk melihat melampaui wacana yang dipertanyakan menuju kondisi kemungkinan (khususnya dalam karya Michel Foucault). Genealogi telah dikembangkan sebagai kelanjutan dari karya-karya Friedrich Nietzsche.  Nietzsche mengkritik "para ahli silsilah" dalam On the Genealogy of Morals dan mengusulkan penggunaan filsafat sejarah untuk mengkritik moralitas modern dengan mengandaikan hal ini berkembang menjadi bentuknya saat ini melalui hubungan kekuasaan.

Misalnya, menelusuri garis keturunan (Jawa disebut Menitis) suatu konsep seperti ' cara pandang dunia' dapat disebut sebagai 'silsilah' sejauh konsep tersebut berada dalam pengaturan konstitutifnya yang berubah. Genealogi Semar memerlukan tidak hanya mendokumentasikan maknanya yang berubah ( etimologi ) tetapi dasar sosial dari maknanya yang berubah. Contoh untuk nama Semar bisa dijelaskan dengan 1.000 nama berganti tergantung pada ruang dan waktu mapun konteksnya,  Semar sebagai dasanama adalah persamaan istilah suatu kata dalam bahasa Jawa yang mempunyai makna yang hampir serupa, bahkan sampai berbeda sekali. Untuk memahami mental {Gesit} Jawa tidak bisa satu kata, konsep, kalimat dimaknai secara tunggal, tetai bersifat Dasanama berasal dari kata dasa yang berarti sepuluh dan nama yang berarti sebutan atau nama kata dll bersifat banyak arti makna, dan bersifat Metafora;

Manunggaling Kawula Gusti/dokpri
Manunggaling Kawula Gusti/dokpri
  • Semar: personifikasi/dekripsi Jawa tentang Tuhan dalam dokrin Jawa, Hindu, Islam, semua pakai Semar. Kata semar adalah manivestasi "Dan Hyang Semar", Syekh Subakir dan Sabdo Palon. Syekh Subakir untuk sebar Islam di tanah Jawa maka melakukan pamitan sama semar penjaga NKRI dilakukan Gunung Telomoyo, Merapi, Merbabu.  Semar pada ata lain adalah "Dang"; gelar untuk dewa atau leluhur, Sanghyang atau Rahyang, Kahyangan, Parahyangan, Kaharingan Dayak (riset saya 10 tahun lalu), Hyang, Dieng (Candi Dieng), berubah menjadi Sembahyang. Maka semar adalah kondisi adalah ilmu langit manusia Nusantara.
  • Metafora Telur Kulit, Putih Telur, Kuning Telur  atau yang berhak mangganti Sanghiyang Tunggal pada lomba makan Gunung Siem, Batara Guru, Semar, dan Togog. Pada teks lain Nasakah Kuna Jawa Kuna pada tema "Pikulan Tunggal, "Ada sebelum segala sesuatu ada", dikenal dengan nama 'Sanghiyang Wenang/Sanghiyang Tunggal", atau "Batara Tunggal" memiliki "telor dengan aneka warna yang dipuja secara terus dengan terus, kemudian bertanya dalam batin tentang fenomena telor tersebut dan akhinya pecah menjadi tiga bagian: [1] Kulitnya disebut Tejo Matri atau Togog; [2] Putih telor disebut Ismoyo atau Semar, dan [3] Kuning Telor disebut Manik Moyo atau Batara Guru. Ini adalah nama lain dalam "Ontologi Triangulasi Jawa Kuna".
  • Akhirnya 'Sanghiyang Wenang/Sanghiyang Tunggal", melalukan sayembara namun semua jadi Satria, lalu siapa yang kuat diantara 3 Satria tersebut, maka diadakan lomba makan menelan Gunung Siyem; Tejo Matri atau Togog tidak mampu menelan Gunung Siem hanya mampu berusaha membuka mulutnya dengan lebar. Ismoyo atau Semar mampu menelan gunung tetapi tidak mampu memuntahkan atau mengelurkan dari dalam perut, maka semar menjadi berperut gendut sampai hari ini'. Sedangkan Manik Moyo atau Batara Guru mampu menelan gunung dan mampu memuntahkan atau mengelurkan dari dalam perut.
  • Semar: menitis Resi Agastya, semar menjewantah dari Dewa  Siwa disebut Semar gaya Hindu Nusantara atau Tanah Jawa. Candi nya disebut di Malang. Era Gajahyana disebut Candi Badut adalah sebuah candi yang terletak di kawasan Tidar, di bagian barat kota Malang. Secara administratif candi badut terletak di kelurahan Karang Besuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur. Lokasi candi ini berada di dekat Universitas Ma Chung. Candi Badut  berasal dari kata "Ba" (bintang) "dut" (cahaya); Agastya yang ditemukan di Indonesia memiliki dua tangan dan masing-masing membawa laksana berupa Kamandalu, Trisula atau membawa Aksamala. 
  • Semar: menitis menjadi Sabdo Palon;  Sabdapalon adalah seorang pendeta dan penasihat Brawijaya V, penguasa terakhir kerajaan Hindu-Budha Majapahit di Jawa. Dia disebutkan dalam Darmagandhul, sebuah cerita spiritual Jawa. Dia  dikatakan telah mengutuk rajanya atas konversi yang terakhir ke Islam pada tahun 1478. Semar: menitis menjadi Sabdo Palon adalah penguasa tanah jawa dengan Syekh Subakir. perjanjian Syekh Subakir dan Sabdo Palon kembali terangkat   beberapa waktu lalu. Dan kisah ini datang dari tatar Jawa yang sarat dengan pesan moral. Ismoyo atau Semar berubah nama menjadi "Noyo Genggong" atau "Sabdo Palon Noyo Genggong" sampai membimbing Prabu Brawijaya V atau terakhir. Semar sampai hari ini menjaga Nusantara (secara Roh, Mental, kesadaran);

Semar dan Genealogi Simbolik*
Semar dan Genealogi Simbolik*
  • Semar: menitis momong Sadewo atau serat Sudomolo, memong menjadi pembebas menitis membebaskan Barata Guru vs Dewi Uma ajak hubungan badan, tetes sperma didalam laut maka  Bayi Batarokalo, kasus batari Uma berubah raksana  Bertari Durgo,  Serat Sudamala (Candi Sukuh), jadi  Gundomoyo. Lahirlah ruwatan, yang Seni Sakral;  Diwayang Jawa; 4 identitas tadi yakni hitam putih marah kuning; atau nafsu aluamah, nafsu supiah warna nafsu amarah, nafsu mutmainah, menjaga keadialan pada 4 tatatan tersebut; alam gaib, metafisik seperti batari Durga; riset saya tentang Candi Sukuh dan Candi Cetho untuk lahirnya genealogi lahirlah tradisi Ruwatan;
  • Semar: menitis Sunan Sunan Kalijaga (wali Songo), dakwah Islam. Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Walisongo, dikenal sebagai wali yang sangat lekat dengan muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi dan budaya Jawa.  Sunan Kalijaga dieposkan dalam teks ceritra mahabarata ramayana, sebagai metafora, untuk penyebaran Islam; dan berhasil dengan baik penyebaran agama dengan media kearifan lokal Nusantara;
  • Anak-Anak Semar punya anak (bukan hasil nikah) tapi representasi  "Gareng" manivestasi watak kritisisme atau mempertanya apapun,  "Bagong" manivestasi watak revolusi mental dan tindakan serta moral, "Petruk" (anak raja Jin) Lurah kantong bolong tanpa terikat pada apapun pada duniawi pada duniawi. Ada pemikiran lain sebagai post-truth  Semar  alienasi menjadi "telu-teluning atunggal" berarti tiga sosok metafora atau memesis batiniah atau worldview (cara padang) pada yaitu Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Ratu Kidul, atau Gunung Merapi, Kraton Jogja, dan Pantai Parang Tritis sebagai garis lurus tiga sumbu imajiner. Akhirnya menemukan Filsafat Siklis bernama Ajaran Semar Sangkan Paraning Dumadi. Hidup itu dari mana, ada dimana dan mau kemana;
  • Semar: namanya (a) Ismoyo, samar maya; (b) Badranaya; Badra/Babadra artinya membangun fondasi dasar, Naya atau nayaka atau utusan atau utusan nabi atau rasul Jawa. Kemudian menjadi kata menjadi Semar Badranaya; berani melawan Kahayangan/ Semar Gugat kekuasaan, (buang angin di Kahayangan atau Semar & kentut kesayangannya). Semar adalah dualitas antara manusia (manusia bawah, sekaligus nabi/rasul nama atas atau double Hermeneutika; atau dikenal dengan metafora Semar juga mempunyai senjata andalan yang mampu menaklukkan lawan-lawannya bahkan tokoh sekelas Batara Guru sekalipun yaitu, kentut. Senjata ini sangat ampuh dan digunakan saat Semar terdesak. Siapapun yang terkena kentut Semar pasti kalah dan akan kembali ke jalan yang benar. Bisanya dipakai saat dalang mengkritik kekuasan, atau pimpinan yang zolim pada rakyat; atau demo seperti tahun 1988 saat Presiden Soeharto lengser ke Prabon. Ismoyo atau Semar   adalah repesentasi ratu adil mampu membawa beban kehidupan, dan apa saja kuat, maka Ismoyo atau Semar adalah pembimbing Ksatria Tanah Jawa yang berwatak adil; dimana keturunan watak sifat (bibit)nya menghasilkan pemimpin Indonesia selamanya;
  • Semar secara Fisik Gambar, bukan laki-laki bukan perempuan, tangan kanan ke atas, kiri kebawah; tua sekaligus anak-anak;tertawa dan menangis/ matanya mengalir air mata, posisi duduk sekaligus berdiri; dalam dialog ketawa sekaligus menangis;
  • Semar Memiliki kulit Hitam. Simbol Bumi, atau Tanah, sebagai Teguhan paling teguh, dan diam. Diapapun menerima semuanya; paling kuat adalah Tanah, dibandingkan Air, api, air, tapi tidak pernah sombong, dan angkuh, walaupun memiliki semuanya; selalu memberi terbaik tanpa pamrih. Selalu berbuat terbaik dan paling baik, sifat wangsa tanah/bumi. Semar adalah simbolik manusia yang mampu menerima realitas, bahkan meta realitas, tanpa kategori (suwung ing pamrih). Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe.
  • Semar dan Simbol Kuncung 8 (delapan), memilik kategori-kategori seperti tidak lapar, tak pernah ngantuk, tidak jatuh cinta, tidak bersedih, tidak merasa cape, tidak menderita sakit,  tidak kepanasan, dan tidak kedinginan; (tidak dipengaruhi oleh diluar dirinya mirip kaum Stoa). Tidak artinya mampu mengendalikan dengan baik; 8 kuncung ini membuat semar Sakti;
  • Posisi Semar; Dewa Kemangungsaan; dewa sebagai manusia, bukan manusia tapi ngaku jadi dewa. Ini adalah simbol pemimpin NKRI (sifat dewa yang merakyat). Kedua implikasinya adalah Krisna vs  Siwa;  maka orang Jawa  Siwa Buddha, dan Hindu  Siwa disebut Batara Guru. Atau jaran Siwa-Buddha adalah campuran agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Pada zaman Majapahit agama Siwa dan Buddha berpadu menjadi satu, dan ini bisa dilihat dalam beberapa karya sastra antara lain Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawijaya; Siwa disebut dewa Bhairawa;

Semar dan Genealogi Simbolik*
Semar dan Genealogi Simbolik*
  • Semar: menitis Punakawan, (pono; memiliki visi jernih); teman mikir jernih, murni, dan teman paling baik dalam hal apapun jujur, solusi, pendidik.  Kata Punakawan bukan pembantu atau budak.
  • Kata Utama Semar; Mbregegeg, Ugeng-ugeng, Hmel-hmel, Sak Ndulit, Langgeng. Artinya adalah  Mbregegeg, (jangan diam), Ugeng-ugeng (berusaha untuk lepas), hmel-hmel (mencari apapun kebaikan hidup), Sak Ndulit (hasil nya sedikit), Langgeng (hasilnya baik dan langgeng. Kata ini saya Mendengar Suara Semar Tanpa Rupa ("Wisik"),  di Gunung Semeru Jumat Pon 09 Oktober 2020; sebagai perjumpan metafisik "Mbregegeg, Ugeng-ugeng, Hmel-hmel, Sak Ndulit, Langgeng". Jelas tanpa disengaja semar sebagai representasi Lakuning Lintang atau orang yang memiliki tutur kata baik, mampu mengelola emosi sehingga Jumat Pon terkenal jarang marah. Dan tanggalan  weton Jumat Pon seperti rendah hati, berwibawa, dan bijaksana.
  • Tiga Dokrin Ajaran Semar; (a) Ojo Dumeh (jangan mentang-mentang: tindakan, isi hati, omongan, (b) Eling (Ingat_Tuhanmu), usia, asal usul, agamamu, orang tuamu, kematianmu, dosamu, kebaikan mu, dll), (c) Waspodo (kehati-hatian), ketelitian, tingkah laku, sikap, dll. "Eling lan waspada" artinya pemimpin mampu untuk selalu ingat dan waspodo; teliti mampu menguasi ilmu weruh sadurung winarah. Kata lain yang relevan adalah Aja Dumeh,  Jangan Mentang-mentang dalam artian luas mendalam ; Aja Gumunan, Jangan Mudah Kagum pada Apapun; Aja Kagetan Pada semua Ruang  Waktu jangan mudah terkejut; Bisa rumangsa, ojo rumangsa bisa wajib bisa merasa [berempati], bukan merasa bisa [sombong]. Mengapa demikian; karena Hidup manusia ada itu ada 3 perkara; Wirya/Keluhuran; Arto/Kekayan kemakmuran, dan Winasis /Ilmu Pengetahuan; Apabila tidak satupun dapat diraih pada 3 hal itu maka habislah diri manusia itu, maka lebih berharga daun jati kering. Akhirnya mendapatlah derita, jadi pengemis, dan terlunta. Tujuannya adalah  "Atetamba yen wus bucik" artinya Jangan Berobat sesudah terluka; artinya aplikasi paraxis tindakan harus tepat atau "Nggugu Karape Priyangga" Jangan bertindak maunya sendiri, pikir dengan matang; bisa menempatkan diri, dan mematuhi tatanan; maka hanya dengan cara ini akan tercapai "Berbudi Bawa Leksmana" [berbudi baik, selaras kata dan perbuatan]
  • Tiga Dokrin Tiga Sikap Mental & Jiwa;  Ajaran Semar (1) Tadah (hanya Tuhan): tidak pamrih pada apaun, tapi menyukuri apapun kondisi dalam ruang dan waktu pada Tuhan; (2) Pradah (sesama manusia) suka dan mencintai hanya  memberi tanpa kembali, atau pada sesama, iklas, pikiran,  harta; dan (3) Ora Wegah (Tidak Pemalas);  tidak memilih apapun, pekerjaan atau tugas, lakukan jangan suka menunda apapun, dan kerjakan hal lain yang menanti;hasil akhirnya adalah Sikap mental Papan Empan Adepan; dengan dimensi Saiki, Neng Kene, Ngene, Aku Gelem;
  • Ajaran Semar  MKG, /Manunggaling Kawula Gusti / bersatu, Ittihad (Usaha manusia), Halul (Tuhan masuk dalam manusia),  Wahdat-al wujud (modus hidup atas nama Tuhan pada apapun realitas atau metarealitas), dan Fana Baqa. Metafora ibarat Buruh dengan Majikan; (kepentingan Majikannya). Siti Jenar kemudian menyebutnya Iya Ingsun, Iya Allah/Tuhan; atau oleh  Ki Ageng Suryamentaram sebagai tirakat (askese) presentasi pada Ilmu Kawruh Bejo,  Rasa Aku, Rasa Ada. Hanya dengan jalan Roso/Rasa (sembah Roso) memungkinkan Manusia bersatu dengan Tuhan Maha Esa; Istilah  manunggaling kawula lan gusti. Istilah ini berarti suasana batin seorang hamba yang merasa sangat cinta dan dekat dengan Tuhan sehingga dia merasa lebur dan menyatu dengan Tuhan.metafora paling cocok adalah  menyatunya leburnya gula dan air, menyatunya api dan besi, yang di antara keduanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa lagi dipisahkan. Atau antara hape dengan sinyal, antara laptop dengan listrik, dan seterusnya;
  • Ajaran Semar  Sangkan Paraning Dumadi; alam abadi (alam wusana), hidup mampir minum; Atau Manggilingan_Sistem  Sikap Mental ["Nrimo ing Pandum = Amor fati"]. Kata Siklus atau Siklis (lihat teori Cokro Manggilian) ini memiliki hakekat tiga hal pemkiran Ruang dan Waktu, [a] manusia itu dari mana, [b] sekarang ada dimana, dan [c] menuju kemana/tujuan telos akhir. Dalam bahasa lain disebut sebagai alam purwo [asal usul), alam madyo [hidup saat ini, dan menuju alam akhir atau disebut alam wasono. Being and Time versi Semar.  Dengan memaknai secara genealogi maka hidup itu hanya mampir pasar, mampir minum. Seluruh realitas  adalah esensi murni pada sisi tersembunyi murni pada objek baik pada hal yang sudah diketahui, belum diketahui, dan tersembunyi secara mendalam lagi. Maka misalnya buah Jambu mengandung sesuatu yang bisa kita sebut jiwa dalam analoginya, meskipun sangat lemah, yaitu bijinya, biji-bijian (Jawa Menyebutnya "Wiwitan" atau Timur atau Permulan, dll} di dalam buah Jambu {kekembalian hal yang sama secara abadi} atau ada yang menamakan reinkarnasi [Inkarnasi transposisi abati: bunga biji, pohon, buah, mati, bunga biji, pohon, buah, mati]. Maka lahirlah istilah  Buwono Langgeng [abadi], Waktu_ lahiriah batiniah_ ada menuju kematian [abadi adalah kematian]. Dari sini, dalam kondisi tertentu buah Jambu bisa tumbuh kembali. Dan prinsip ini, menjadi dan lenyap, kelahiran dan kematian, perubahan dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya, dan dari mana satu sisi muncul dari sisi lain. Hukum determinisme sebab akibat, dan bersifat ajek pada 3 alam tersebut; maka kita memahami teks epos  Bima bertemu Dewa Ruci dan mendapat wejang tentang "sangkan paraning dumadi" (asal usul kehidupan) dan "kasedan jati" (kehidupan setelah mati). Ajaran Semar  Kasedan Jati (kasedan artinya "mati"), umat manusia harus secara "Arite" untuk (a) tidak melakukan tindakan Ora Ilok (tidak patut, tidak pantas),  dan (b) pentingnya Hukum Karma atau disebut  Kualat  (kutukan, malapetaka, bencana, musibah, noda, bahkan akibat dosa atau perbuatan salah).
  • Ajaran Semar  Memayu Hayuning Bawana, (berbuat baik), kekanglah hasrat dan ambisi, dll, melalui memahami realitas melalui  ilmu Titeni (hukum alam, dan hukum ajeg), ilmu pitung/hitungan, dan determinisme alam, misalnya wongso, weton, Bono,Wuku, dll, semua hal lengkap di ilmu Jawa. Telos Hidup: Ngunduh Wohing Pakarti""Memayu Hayuning Bawana",  memberi keindahan dunia, diinternalisasi  dalam hidup manusia.  Hamemayu Hayuning Bantolo [tanah], Hamemayu Hayuning Wono [Hutan],Hamemayu Hayuning Tirto, Hamemayu Hayuning Budayo, Hamemayu Hayuning   Samodro [laut], Hamemayu Hayuning Howo, Hamemayu Hayuning Manungso. Secara episteme dapat dilakukan dengan Cara Rawat Alam [3N]; Ni Teni; mengingat, mengenali, memahami; NiRokake; meniru, memedomani, mengikuti;  dan NaMbahi: memberi nilai kebaikan pada alam. 
  • Mengapa demikian? Karena (a) pada Sastra_ Gendhing_ Alam Bersifat Relasional;  Sastra [Simbol Yang Ilahi],  Gendhing : simbol manusia manusia dan kehidupannya; Keselasan kehidupan [metafora Gendhing] indentik dengan musik  "keselarasan" kesatuan; (b) dokrin SINOM ayat 1;12.... Pramila gending yen bubrahGugur sembahe mring Widdhi Batal wisesaning salat,Tanpa gawe ulah gending, Dene ngaran ulah gending, Tukireng swara linuhung, Amuji asmaning Dat, Swara saking osik wadi, Osik mulya wataring cipta surasa. Pada zaman  Rangga Warsita, Serat Paramayoga,  Dharma Manusia dengan Manusia, Manusia dengan Alam membuat kategori Hanguripi/Menghidupkan; Hangrungkepi/Berkorban, mampu melakukan Hangruwat / Memberi solusi, mampu  Hamengkoni / Memberi Pamong; Hangayomi / Mengayomi, dan Hangurubi memberi Semangat; maka alam sebagai Tanggungjawab Moral: Momong; mengasuh, menjaga;  Momor: mendekat, membaur;  Momot; menerima, menanggung. Contoh Memayu Alam  Alam Sebagai Keluarga; kata Bapak Angkasa, Ibu Pertiwi, Kakang Kawah, Ade Ari-ari atau contoh dalam etika Tata Nama: Gajah Mada, Kebo Ijo, Kebo Kaniga, Kidang Walengka, Lembu Sora, Hayam Wuruk, dan seterusnya; nama-nama benda Barang: Ki, Kyai, Kyaine [tombak, senjata, pakaian, benda, keris, dan alat-alat lainnya]; sedangkan hal yang dilarang/ Perilaku pada alam [Jangan]:pada prinsip Memayu Hayuning Bawana;  Golek Menange Dewe,  Golek Butuhe Dewe, Golek Benere Dewe, Golek Enake Dewe.

Semar dan Genealogi Simbolik*
Semar dan Genealogi Simbolik*
  • Semar pada Filologi Kata Tuhan. Tu_Han  (kata Tuhan)_konsep Tan Keno Kinaya Ngapa;  Kapitayan (Tuhan). Tuhan sebagai Sanghyang Taya, tidak bisa dipikir, didengar, dijelaskan, diraba (tidak bisa dikenal data indrawi). Taya artinya hampa, suwung, awang-uwung), non awal akhir; Manusia mengenal_nya melalui hukum-hukum alam semesta, sebagai kehadiran-Nya. Genealogi filologi kata Tuhan versi Semar adalah dialektis pada kategori Tu vs Han; (a) Yang baik pada kata "Tu" yang baik, disebut Tuhan,  (b) sebaiknya Tu, manisetasi kejelekan atau keburukan  disebut Hantu (kejahatan keburukan).  Misalnya kata Tugu, Tunggul, watu, Tumbal, Tumbak, Tumpeng. Bandingkan dengan Tao adalah Jalan Alam Semesta Dao memiliki sifat transenden tetapi juga imanen. Sifat-sifat Tuhan atau 1 sifat diebut Sanghyang Taya (monotesme). Sifat-sifatnya dan manifestasi disebut Politeisme banyak macam dan kategori. Sanghyang Taya melalui Sanghiyang Tunggal maumpun Sanghyang manikmoyo yang memilik kekuatan daya purba maka ada dua jalan menjadi berada didunia atau cara bereksistensi yakni 'Tu-ah Vs Tu-lah".  Kekuasaan hidup dan realitas didunia ini dapat dieroleh dipelihara, dan dirawat melelui 'Tu-ah Vs Tu-lah".   Maka dalam bentuk lain kondisi ini menitis menjadi Roh Aksara Jawa" atau Aksara Kawi Aji Saka; yang berjumlah 20 huruf; (1) ha na ca ra ka (tesis); (2) da ta sa wa la (Anti tesis); (3) pa da ja ya nya (sintesis); (4) ma ga ba tha nga (kekosongan_ ngesti Suwung atau saya sebut "Hong"); empat pengalaman negative dan positif ini kemudian menghasilkan apa yang disebut "tatanan" semacam kecocokan, harmoni, menjadikan dokrin jiwa manusia (papan, ampan, adepan); atau dasar Being and Time Heidegger versi Semar;

Bersambung_

(by Apollo , 2015)

*). Semar dan Genealogi Simbolik adalah kutiban riset, dilarang copy faste tanpa mencantumkan sumber kutiban, tulisan ini memiliki HKI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun