Genealogi dan Filologi Keris Jawa*
Maka teks Filologi dan Genealogi Jawa merupakan teks Meditatif, dan dibaca dengan Kontemplatif Metafora yang tidak bisa dibaca dengan logika kongkrit. Teks Meditatif, tidak dimaknai tunggal tetapi Filologi dan Genealogi Jawa merupakan teks Meditatif tidak bisa satu kata, konsep, kalimat dimaknai secara tunggal, tetai bersifat Dasanama berasal dari kata dasa yang berarti sepuluh dan nama yang berarti sebutan atau nama kata dll bersifat banyak arti makna, dan bersifat Metafora.
Misalnya kata Roh bisa berarti semangat, nafas, batin, jiwa, sukma, kesadaran, rasionalitas, empiris, repleksi, pembatinan, dst. (Jawa Kuna menyebut kasunyatan atau kenyataan; fakta), atau apa yang dikatakan Hegel sebagai Roh Dunia Weltgeist ("world spirit"); teks Meditatif bisanya bersifat Metafora dan Isyarat-Isyarat tertentu, bahkan tanpa Materi [non positivsme]
Studi filologi Mental Jawa Kuna sampai Mataram Islam, banyak kata yang memiliki Genalogi Moral manusia dalam pencarin diri, keluarga dan masyarakat (wilayah Res Vivatha, dan Res Publika) untuk mencapai hidup bahagia ala Stoa atau "Kaweruh Bejo" atau self regulation. Tentu saja pola hidup (mikro kosmos makro kosmos) ini harus harmoni dalam "RW" ruang waktu (model Kantian) untuk memperoleh pengetahuan Transendental (memungkinkan) hidup tahu batas, tahu tempat dan tahu waktu (papan empan andepan). Sama dengan pemikiran Yunani Kuna apa yang dikatakan oleh dokrin Platon (Ada, Sama, Berbeda, Bergerak, Diam).
Maka genealogi "Kaweruh Bejo" dapat memperoleh tempat dimana bahagia, sedih, senang dan susah tidak pernah stablil, selalu begerak, ada dan menjadi. Lahirlah Cokro Manggillingan untuk konsep kehidupan atau disebut roda kehidupan. Kata Cokro; lempengan bulat bergigi seperti dalam mesin jam/arloji, dan kata Manggilian artinya berputar, bersiklus, ber-reinkarnasi, dan kembali abadi secara sama. Maka kata Cokro Manggillingan secara Genealogi senjata kehidupan manusia dalam RW sebagaimana senjata Darawati "Sri Batara Kresna" (metafora mikrokosmos).
Atau bisa juga pemahaman Cokro Manggillingan sama dengan siklus Wangsa Air (unsur anasir Makro kosmos) yang berputar dan bergerak dari laut menuju ke laut, dan seterusnya. Sedangkan kosmos sendiri berati kerapian, keteraturan, ke tertiban tatanan. Maka tahap ini lah manusia mencapai "Manunggal dengan alam, atau kemudian dipeluas dalam Serat Paramayoga Sri Raden Mas Ngabehi onggowarsito, ujud manusia dengan manusia, manusia dengan alam (momong/, momot, momor/ menjaga mengasuh;/ menerima mengasuh/ membaur menyatu")l; termasuk dimensi tradah, paradah, ora wegah. Hanya dengan cara ini maka Kata "Arite" Platon di Yunani dapat ditemukan dalam Genealogi Indonesia lama;
Genealogi "Kaweruh Bejo" adalah konsep dari pengalaman diri yang dibuat oleh Ki Ageng Suryomentaram dengan pengalaman sensual, dan rasional dalam memaknai hidup bahagia alaa Stoa versi Indonesia lama. Ki Ageng Suryomentaram adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ki Ageng Suryomentaram memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas Kudiarmadji dan setelah umur 18 tahun diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram adalah Rene Descartes Indonesia, karena membuat Repleksi mendalam rasionalitas Indonesia lama (Jawa Kuna dan Mataram Islam), dengan nama:
"Rasa Aku, Rasa Ada".
"Rasa Aku, Rasa Ada". Wujud mawas diri adalah bentuk kesadaran apa yang dialami (pengalaman) sebagai rasa manusia yang merasa, dan bukan keinginan. Dengan kemampuan mawas diri dan mengawasi keinginan ("hasrat" = Wille atau The will to live versi Barat Arthur Schopenhauer). Pengendalian yang tepat pada mengawasi keinginan ("hasrat") dan mampu mengambil jarak sambil melakukan repleksi apapun yang dikenakan dalam siklus kehidupan. Rasa Aku sifatnya tetap, stabil, dan tak berubah dalam situasi apapun maka manusia tetap dapat "merasa" bahagia. Genealogi Sembah Roso adalah mental keutaman Indonesia, (lihat kategori urutan Sembah Raga, Sembah Cipta (kalbu), Sembah Jiwa dan Rasa /Roso.
maka Rosa/rasa adalah Genealogi Phronesis Jawa. Atau ada dalam Serat Wedhatama; saling mengeenakkan hati, saling menghormati, hati nurani. Maka tepat jika kemudian Filologi kata "JAWA" artinya mengerti atau memahami dengan mata batin; tentu dengan tidak mengabaikan peran rasionalitas, dan seni tiruan (mimesis); seperti pada kalimat sadulur ingkang karimatan lan mboten karimatan. Hanya diriku sendiri yang tahu perasaan ku, diluar aku tidak ada yang tahu kecuali Tuhan. Telos Hidup: Ngunduh Wohing Pakarti"; "Memayu Hayuning Bawana", memberi keindahan dunia, diinternalisasi dalam hidup kita.
Proses mengenali diri ini di Yunani Kuna "Gnothi Seauton, Kai Meden Agan" artinya Kenalilah dirimu sendiri, dan Jangan berlebihan. Sama dengan epos Klasik Yunani dan Kisah Bima mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi 'asal dan tujuan hidup manusia' atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan amanat bagaimana manusia kembali menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa 'tidak dapat dikatakan dengan apa pun' Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima dalam menuju manusia sempurna disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa Kuna... sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).
Lalu bagaimana Genealogi "Rasa Aku, Rasa Ada", dapat dijelaskan;
Yang bisa menjelaskan adalah Teks Epos Bima dalam Dewaruci, pitutur dalam narasi wayang. Bima, Wrekudoro atau ilmu pelepasan diri olah rasa dari Dewaruci, perintah Drona mencari esensi kehidupan Air (lihat Cakra Manggilingan)_ air purwitasari atau Tirtapaitra. Bima, berhadapan dengan Rukmakala, naga laut, dan pitutur Dewaruci, dalam upaya menyatukan diri dengan Tuhan.
Kisah tokoh Werkudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa. Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Atau disebut Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Sang Bima (Werkudara) atau ada yang menelisik dengan 4 episteme pada "Sadulur Papat Lima Pancer (Filsafat Roh Jawa];
Apa Itu Filologi Keris?
Filologi Keris adalah metafora Fase Bima ini disebut adalah upaya menjalankan Tapa dam ilmu pelepasan menuju Nirvana. Metafora ini disebut
“Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga", atau keris dan sarung keris (sarung keris bersatu dengan keris). Warangka (sarung keris), kata Keris artinya Curiga atau Tuhan. "Manjing" masuk menyatu tak bisa dipisahkan, bersatu padu dengan Manusia maka filologi Manunggaling kawula Gusti, sebagai Inti Sari Zat Hidup.
Akhirnya penyatuan ini oleh Siti Jenar (Siti artinya Tanah, dan Jenar artinya Merah), atau dalam Bima hidup didunia ini akan berakhir dengan kematian. Maka keabadian sama dengan kematian, Hidup di dunia ini dianggapnya sebagai mati karena sifat tidak langgeng. Hanya satu yang abadi yang mengubah semuanya yakni Dialektis Jagat Gumelar, Jagat Gumulung menghasilkan Buwono Langgeng.
Wejangan Siti Jenar lalu membuat post_truth atau postmodern (gaya Nietzsche), manusia yang hidup dunia ini adalah Mati, sedangkan Hidup sejati adalah Kematian. Karena kematian itu kekal. Maka lahirlah tebang Epos Klasik Jawa:
"Mantra Kidung Bawono Langgeng" epos "Hong Wilaheng Sekareng Bawono Langgeng" Sopo entuk wahyuning Gusti Allah; Gyoh dumilah mangulah ngilmu bangkit; Bangkit mikat reh mangukut; Kukutaning jiwanggo; Yen mangkono; Keno sinebut wong sepuh; Liring sepuh sepi howo; Awas loro ning atunggal;
(artinya terjemahannya adalah Siapapun yang menerima wahyu Tuhan; Dengan bijaksana mawas diri mencerna ilmu tinggi; sanggapu n mampu menguasai ilmu kasampurnan; Kesempurnaan lahiriah batiniah; Dan pantas disebut "orang manusia" bijaksana; Arti "keutuhan manusia " adalah mampu mengendalikan semua hal paradox kehidupan;
*) Riset Filologi dan Genealogi 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H