Proses mengenali diri ini di Yunani Kuna "Gnothi Seauton, Kai Meden Agan" artinya Kenalilah dirimu sendiri, dan Jangan berlebihan. Sama dengan epos Klasik Yunani dan Kisah Bima mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi 'asal dan tujuan hidup manusia' atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan amanat bagaimana manusia kembali menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa 'tidak dapat dikatakan dengan apa pun' Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima dalam menuju manusia sempurna disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa Kuna... sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).
Lalu bagaimana Genealogi "Rasa Aku, Rasa Ada", dapat dijelaskan;
Yang bisa menjelaskan adalah Teks Epos Bima dalam Dewaruci, pitutur dalam narasi wayang. Bima, Wrekudoro atau ilmu pelepasan diri olah rasa dari Dewaruci, perintah Drona mencari esensi kehidupan Air (lihat Cakra Manggilingan)_ air purwitasari atau Tirtapaitra. Bima, berhadapan dengan Rukmakala, naga laut, dan pitutur Dewaruci, dalam upaya menyatukan diri dengan Tuhan.
Kisah tokoh Werkudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa. Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Atau disebut Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Sang Bima (Werkudara) atau ada yang menelisik dengan 4 episteme pada "Sadulur Papat Lima Pancer (Filsafat Roh Jawa];
Apa Itu Filologi Keris?
Filologi Keris adalah metafora Fase Bima ini disebut adalah upaya menjalankan Tapa dam ilmu pelepasan menuju Nirvana. Metafora ini disebut
“Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga", atau keris dan sarung keris (sarung keris bersatu dengan keris). Warangka (sarung keris), kata Keris artinya Curiga atau Tuhan. "Manjing" masuk menyatu tak bisa dipisahkan, bersatu padu dengan Manusia maka filologi Manunggaling kawula Gusti, sebagai Inti Sari Zat Hidup.
Akhirnya penyatuan ini oleh Siti Jenar (Siti artinya Tanah, dan Jenar artinya Merah), atau dalam Bima hidup didunia ini akan berakhir dengan kematian. Maka keabadian sama dengan kematian, Hidup di dunia ini dianggapnya sebagai mati karena sifat tidak langgeng. Hanya satu yang abadi yang mengubah semuanya yakni Dialektis Jagat Gumelar, Jagat Gumulung menghasilkan Buwono Langgeng.
Wejangan Siti Jenar lalu membuat post_truth atau postmodern (gaya Nietzsche), manusia yang hidup dunia ini adalah Mati, sedangkan Hidup sejati adalah Kematian. Karena kematian itu kekal. Maka lahirlah tebang Epos Klasik Jawa:
"Mantra Kidung Bawono Langgeng" epos "Hong Wilaheng Sekareng Bawono Langgeng" Sopo entuk wahyuning Gusti Allah; Gyoh dumilah mangulah ngilmu bangkit; Bangkit mikat reh mangukut; Kukutaning jiwanggo; Yen mangkono; Keno sinebut wong sepuh; Liring sepuh sepi howo; Awas loro ning atunggal;
(artinya terjemahannya adalah Siapapun yang menerima wahyu Tuhan; Dengan bijaksana mawas diri mencerna ilmu tinggi; sanggapu n mampu menguasai ilmu kasampurnan; Kesempurnaan lahiriah batiniah; Dan pantas disebut "orang manusia" bijaksana; Arti "keutuhan manusia " adalah mampu mengendalikan semua hal paradox kehidupan;
*) Riset Filologi dan Genealogi 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H