Gambar Wayang,  Studi  Fenomenologi (3)*
Sejarah seni tradisional telah lama berubah selama pergantian gambar. Penelitian yang terus meningkat tentang fisiologi persepsi gambar wayang, Â seperti yang dipromosikan oleh peneliti otak dan ahli saraf, Â menimbulkan pertanyaan baru tentang proses persepsi estetika (jawa menyebutnya Memayu, dan epos sastra/nembang).
Meningkatnya peran gambar teleskopik dan mikroskopis dalam penelitian ilmiah telah mempertajam kesadaran kita akan betapa haus akan pengetahuan dan penelitian visual yang ada pada gambar-gambar masa lalu, termasuk pada koleksi gambar wayang di musem Indoesia.Â
Sebagai saksi dari teknik-teknik rayuan yang diperlihatkan media visual kepada kita setiap hari, Â kita menemukan kembali betapa banyak kekerasan, Â kekejaman, Â hasrat yang bergemuruh dalam citra-citra lama, Â yang telah lama tidak terlihat oleh estetikanya, bisa dlihat dalam laku perselingkuan para dewa dikayangan, demi harta, tahta, Â atau Cerita panji lahir pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit; Pandawa dan Kurawa, dialektis penyuka' (lover) dan 'pembenci' (hater), Kurusetra merupakan tempat pertempuran antarsaudara sepupu. Yakni, antara Pandawa dan Kurawa, sama-sama keturunan Abiyasa, yang dibantu para sekutu masing-masing. Mereka berperang memperebutkan kekuasaan atas Astina dan Indraprastha. Kurusetra menjadi saksi bisu begitu bengisnya perang yang berlangsung 18 hari, serta implikasinya Cembong vs Kampret hari ini;
Dengan perangkat baru kita bisa bermain di depan gambar wayang dan mengubahnya. Sejarawan seni yang terbangun, Â terutama di negara-negara Anglo-Saxon, Â maupun Nusantara (NKRI) telah lama bekerja lebih banyak pada hasrat dan proses psikologis daripada gaya, Â lebih pada bahasa tubuh daripada ikonografi, Â lebih pada kekuatan gambar daripada kreasi mereka. Sejarah seni telah berubah menjadi ilmu gambar di garis depannya, Â meskipun ini bukan masalah perluasan kuantitatif daripada masalah perspektif batin.
Namun,  pada akhirnya,  satu keberatan mendasar tetap ada. Pemisahan antara dunia fenomena estetis dan dunia kepentingan praktis,  seperti dikemukakan oleh kritik penilaian Kantian,  telah menjadi sulit dipahami di era media massa. Studi fenomenologi gambar wayang  yang telah memantapkan dirinya berdampingan dengan sejarah seni tradisional sebagai ilmu kunci untuk studi gambar,  tidak berusaha untuk penilaian estetika reflektif,  melainkan untuk penyelidikan praktis dari teknik yang digunakan untuk membangun gambar dan mengirimkannya dari pengirim ke penerima model komunikasi Matin Bubber. Semua investigasi ke dalam gambar wayang,  dari Faulstich hingga karya luar biasa Belting tentang pengembangan gambar dari ikon Bizantium hingga tubuh buatan,  adalah deskripsi proses yang brilian.
Namun,  jika benar bahwa kita di masyarakat berbudaya Nusantara saat ini lebih banyak berkomunikasi tentang citra daripada argumen, dan sentimen  ketika akses terhadap citra dan berurusan dengan citra telah menjadi instrumen sentral kontrol politik dan ekonomi,  maka deskripsi proses apa pun tetap menjadi positivisme yang menghindari pertanyaan. berharga. Tidak peduli seberapa mengesankan secara teknis,  secara sosial itu buta.
Pembahasan gambar wayang dalang ide batin tidak bisa dibatasi pada analisis prosedur dan inovasi yang paling brilian, Â karena sirkulasi massa gambar di masyarakat telah menjadi masalah publik, maka wajar tiap pergantian kepemimpan nasional akan ada model pendidikan (Paideia) model ini.
 Sebagai warga negara,  kita tidak menerima argumen yang salah,  tetapi kita juga tidak boleh membiarkan diri kita dibodohi oleh gambar yang menipu. Oleh karena itu,  giliran bergambar atau ikonik tidak hanya harus dibahas secara deskriptif,  tetapi juga harus dibahas secara etis dan beradab. Para ahli kebatian Jawa kebatianan Jawa (Kejawen), sampai moksa Prabu Brawijaya V, ada nuasa  tentang sebuah cologie gambar wayang ,  sebuah ekologi gambar. Ekspansi kuantitatif belaka dari materi lama dari sejarah seni kuno untuk memasukkan gambar lain akan mematikan, atau berujung pada paradoks dan hanya sebagai simbolik tatanan alam. Yang dibutuhkan adalah citra kritis dan sejarah  yang mengingatkan bahwa gambar wayang tidak kurang dari kata-kata masalah moral publik dan pemahaman yang baik di antara warga masyarakat sipil yang rasional.Â
Kita tidak boleh menjadi ikonodul media elektronik,  tidak bisa berkata-kata dan tidak memiliki ingatan seperti  Kata Bijak Siti Jenar  "Lamun wus sarwa putut; kapintren sinimpun ing pungkur; Bodhonira katakokna ing ngarsa yekti; gampang traping tindak tanduk/ Amawas pambekaning wong/Â
artinya Jika sudah memikili kepandaian akal budi/ simpanlah kepandaian itu/ Perlihatkan kebodohan/ hal itu akan mempermudah dalam bertindak/ dan kemudian memahami orang lain;
dokrin Siti Jenar ini adalah model tipe atau reinkarnasi Tokoh kategori dan  memiliki karakteristik yang tidak suka pamer dan pandai berpura-pura bodoh bernama Purwa Antareja Wayang Kulit Gaya Yogyakarta;
*) Tulisan ini diadopsi pada penelitian fenomenologi Gambar Wayang di Desa Pucung Bantul, Â Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H