Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paradigma Ilmu

5 Juli 2021   09:53 Diperbarui: 5 Juli 2021   10:08 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri, episteme ilmu ||

Paradigma Ilmu

Revolusi metametode ini tidak muncul tanpa pengaruh sejarah dan episteme pengertahuan. Adalah Immanuel Kant (1871) berpendapat   aktivitas pikiran adalah fakultas akal budi, dan fakultas kesan indrawi sebagai fitur konstitutif dari semua mengetahui, termasuk mengetahui melalu tahap-tahap episteme ilmiah. Georg Wilhelm Friedrich Hegel atau Hegel (1807/1830) memperluas posisi ini melalui argumen dialektisnya   yang mengetahui dan yang diketahui merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yang saling melengkapi yang berkembang melalui sejarah.

Episteme pengetahuan yang sama dilakukan oleh Rene Descartes melalui meditasi untuk memisahkan Mind and Body, dimana keutamaan pengetahuan dicapai melalui "keraguan/skeptisime" menuju pengetahuan [co gito] kepastian; hal yang sama dilakukan pada  kontribusi Martin Heidegger (1962) dan Merleau-Ponty (1962) dalam analisis fenomenologis   mengarah pada kesimpulan  semua pengetahuan adalah produk dari agen manusia yang terlibat dalam mengatasi dunia, dan memahami semua nomena-fenomena dunia. Tradisi ini terus berkemabang pada karya Ernst Cassirer  (1951) analisis neo-Kantian tentang prasyarat kognitif mengetahui.

Tentu ada   daftar panjang orang-orang sezaman dengan Karl R. Popper and Thomas S. Kuhn.  Kuhn yang berkontribusi pada revolusi melawan neopositivisme dan konvensionalisme Popper, di mana paradigma Kuhn menjadi fitur utama. Gertrude Elizabeth Margaret Anscombe atau Anscombe (1957), Leonard Bernstein atau Bernstein (1983), William Herbert Dray atau Dray (1957), Reitman S, Frankel atau Frankel (1957), Linda L. Putnam  atau Putnam (1983), Paul Ricoeur (1984), Sir Geoffrey Ingram Taylor atau Taylor (1964), Stephen Toulmin atau Toulmin (1953, 1961) , Georg Henrik von Wright atau von Wright (1971), dan Peter Guy Winch atau Winch (1958). Karena karya-karya mereka sangat penting bagi revolusi paradigma, kontribusi spesifik dari ketiga orang sezaman akan dirinci secara singkat di sini. Ini termasuk Ludwig Wittgenstein, yang Philosophical Investigations-nya diterbitkan pada tahun 1958, Hans Georg Gadamer,   Truth and Method- nya pertama kali diterbitkan pada tahun 1960, dan Norwood Russell Hanson, yang Patterns of Discovery  diterbitkan pada tahun 1958.

Wittgenstein (1958) dan Gadamer (1960) memberikan perancah dasar untuk pembangunan metodologi baru ini. Kontribusi fundamental Wittgenstein berarti membuka pintu menuju pengakuan bahwa adalah kesalahan besar jika memperlakukan aktivitas sains sebagai memberikan deskripsi yang benar tentang Real yang mendasar. Lebih positif lagi, kontribusi Wittgenstein terletak pada klaimnya bahwa sains adalah produk dari beberapa tindakan manusia yang sama yang mendasari konstruksi konseptual bentuk kehidupan kita, atau Lebenswelt. Dan, dalam konteks ini, konsep permainan bahasa Wittgenstein adalah pendahulu langsung dari paradigma Kuhn.

Kontribusi Gadamer adalah demonstrasi sistematis bahwa gerakan di luar objektivisme dan fondasionalisme ini tidak memerlukan pergeseran ke dalam relativisme absolut, yang sangat ditakuti oleh mereka yang berkomitmen pada empirisme epistemologis dan realisme ilmiah.

Analisis Hanson v. Denckla, (1958) tentang sejarah ilmu fisika itu sendiri secara signifikan dipengaruhi oleh Stephen atau  Stephen Toulmin atau Toulmin (1953) dan Ludwig Josef Johann Wittgenstein  atau Wittgenstein (1958), dan itu memberikan beberapa prasyarat yang diperlukan untuk pengenalan paradigma Kuhn.

Berdasarkan analisisnya, Hanson menarik tiga kesimpulan kuat tentang praktik aktual ilmu fisika yang berbeda dari permainan bahasa klasik neopositivisme dan konvensionalisme, yang, seperti yang disarankan pada tulisan ini, pada saat itu ditawarkan sebagai norma aktivitas standar ilmiah.

Kesimpulan ini sendiri memberikan cetak biru untuk episteme berbasis paradigma baru yang kemudian dipahami sebagai karakter relasional daripada absolut. Kesimpulannya adalah:

Pertama (1) tidak ada demarkasi [pemisah batas] mutlak antara teori interpretatif hermeneutika semiotika kualitatif, dan observasi atau antara teori interpretatif dan fakta atau data; sebuah gagasan yang ditangkap dalam pepatahnya yang sekarang terkenal, semua data sarat teori; 

Kedua (2) penjelasan ilmiah terdiri dari penemuan pola/rerangka, serta penemuan sebab akibat/determinisme (Toulmin, 1953, 1961); 

Ketiga  (3) logika dasar sains bukanlah logika deduktif split-off atau logika induktif split-off, melainkan logika abduktif (retroduktif) yang awalnya dijelaskan oleh filsuf pragmatis Semiotika Charles Sanders Pierce (1992). 

Logika ini bekerja dengan mengatur pengamatan yang sedang dipertimbangkan dan semua ide latar belakang (yaitu, paradigma dan istilah teoritis) sebagai saling melengkapi relasional. Koordinasi keduanya dieksplorasi dengan menanyakan apa, mengingat ide-ide latar belakang, yang harus diasumsikan untuk melakukan pengamatan itu. Inferensi, atau interpretasi, apa yang harus diasumsikan kemudian merupakan penjelasan dari fenomena tersebut. 

Penjelasan ini kemudian dapat dinilai secara empiris sebagai hipotesis untuk memastikan validitas empirisnya (yaitu, dukungan empiris dan ruang lingkup penerapannya). Fitur relasional penting  logika ini adalah   mengasumsikan bentuk lingkaran hermeneutik Hans Georg Gadamer, (1960) dengan bergerak dari tingkat fenomenologis (objek akal sehat) ke penjelasan dan kembali dalam siklus yang terus melebar.

Perbedaan antara ide ini dan apa yang sering disebut sebagai penjelasan hipotetis-deduktif empirisme epistemologis adalah dalam penculikan, semua ide latar belakang (matriks atau paradigma disipliner dan istilah teoritis) merupakan fitur yang diperlukan dari proses dan penjelasan abduktif yang didukung secara empiris itu sendiri menjadi bagian dari kumpulan ide latar belakang yang terus meluas.

Singkatnya, pada 1980-an, paradigma ilmiah sebagai matriks disipliner yang terdiri dari serangkaian asumsi inti atau ide latar belakang  termasuk proposisi ontologis dan episteme, dan konsep   relatif mapan sebagai metodologi ilmiah yang valid. Kesimpulan ini bukan untuk membantah neopositivisme dan konvensionalisme/ instrumentalisme benar-benar meninggalkan paradigm tetapi hanya pergantian dan atau pergeseran paradigma.

Seperti yang dikatakan Kuhn sendiri, paradigma lama seperti tentara tua tidak pernah mati; tetapi hanya menggeser ketika epistemenya  meninggalkan rerangka pemikirn untuk menguji fakta, semua paradigm tidak diganti/tetapi digeser dan berputar siklis (misalnya, ada beberapa ilmuwan atau filsuf hidup hari ini tetap mempertahankan prinsip-prinsip sentral neopositivisme). ****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun