Kant sekali lagi secara eksplisit menekankan pentingnya metafisika sebagai ilmu dengan mencatat bahwa ia menyandang gelar ratu semua ilmu, jika benar-benar dapat dianggap demikian. Namun, menurut Kant, sejarah metafisika sampai saat ini telah dibentuk oleh dogmatisme tradisional (rasionalisme) di satu sisi dan skeptisisme yang serba mempertanyakan di sisi lain.
Hanya kaum empiris, yaitu filsuf Inggris John Locke, yang memperluas diskusi untuk memasukkan sudut pandang lebih lanjut, yaitu perolehan semua pengetahuan melalui pengalaman. Perselisihan yang sia-sia di antara perwakilan dari posisi yang tidak sesuai ini, menurut Kant, menyebabkan kelelahan dan ketidakpedulian sehubungan dengan pertanyaan metafisika, karena semuanya tampaknya telah dicoba dengan sia-sia.
Kant memperjelas berikut ini kelelahan dan ketidakpedulian bukanlah ketidaktertarikan yang nyata, karena ini akan bertentangan dengan sifat manusia yang disebutkan di awal. Mereka adalah hasil dari "penilaian yang matang", yang telah "mengekspos banyak pengetahuan palsu" dan hanya setuju dengan "apa yang dapat mereka tanggung melalui pemeriksaan umum/kehendak umum yang bersifat sukarela".
Kekuatan penghakiman/penyimpulan itu  menuntut pembentukan "pengadilan" di mana akal adalah mengabdikan dirinya untuk "yang paling sulit dari semua usahanyanya, yaitu pengetahuan diri". Pengadilan ini, yang melalui undang-undang umum dan tidak dapat diubah, memutuskan kemungkinan pengetahuan metafisik itu sendiri, serta legalitas dan klaim dalam penggunaan nalar filosofis, tidak lain adalah nalar itu sendiri. Dia harus menjadi penuduh, terdakwa, dan hakim itu sendiri. Hal ini terjadi dalam Critique of Pure Reason [Kritik Akal Budi Murni]. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H