Hans Georg Gadamer, dan Hermenutika [5]
Pada abad ke-19, humaniora dipahami sebagai analogi ilmu alam. Menurut teori yang digunakan sistem logika deduktif dan induktifnya dikembangkan, humaniora, sebagai ilmu empiris, berkomitmen pada logika induktif (yang dimulai dari kasus individu dan sampai pada aturan umum) seperti ilmu alam.
Fakta humaniora tidak merasa rendah diri dengan ilmu-ilmu alam dalam hal citra diri mereka terutama disebabkan oleh klaim mereka sebagai "penjaga humanisme" yang sebenarnya. Konsep pendidikan memainkan peran utama di sini.
Sebagaimana diakui Hegel, pendidikan merupakan prasyarat untuk berfilsafat secara umum. Berkaitan erat dengan konsep pendidikan adalah istilah-istilah seperti "ingatan" atau "kebijaksanaan" dalam pengertian kepekaan.
Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi keduanya. Konsep pendidikan bahkan bersifat sense, dan pengertian umum dan komunal, melampaui indra alami yang terbatas (penglihatan, dan setrusnya).
Refleksi diri logis dari humaniora, yang menyertai pelatihan aktual mereka di abad ke-19, sepenuhnya didominasi oleh model ilmu pengetahuan alam. Pada konteks ini, istilah "sensus communis" yang mencirikan aspek sosial pendidikan menjadi penting. Istilah lain yang merupakan inti dari makna tradisi humanistik sangat erat kaitannya dengan konsep sense of community: the power of judgement.Â
Pengyimpulan  dan akal sehat membedakan orang bodoh dari orang bijak. Kekuatan penilaian tidak bisa dipelajari, paling banter bisa berkembang. Rasanya juga tergantung pada penilaian dasar. "Selera yang baik" pada awalnya lebih merupakan istilah moral daripada estetika dan terutama mengacu pada cara mengetahui.
Kant menempatkan istilah "rasa" dan "jenius" dalam kaitannya satu sama lain. Dia mempersempit konsep jenius ke seni; Menurut Kant, misalnya, seorang penemu tidak mungkin benar-benar jenius. Namun demikian, pembatasan ini belum dapat diberlakukan baik secara konseptual maupun dari segi konten. Sebaliknya, istilah "jenius" telah menjadi istilah universal di abad ke-19. Istilah sentral lainnya dalam konteks ini adalah "pengalaman".
Pengalaman hidup yang istimewa diringkas dalam hal ini. Pengalaman estetika bukan hanya satu jenis pengalaman di samping yang lain: ini adalah pengalaman keseluruhan dan melampaui pengalaman yang terisolasi. Kombinasi yang konsisten antara kenikmatan estetika seni dan pengalaman umum disebut "seni pengalaman", yaitu seniyang menempatkan pengalaman di latar depan. Selera yang baik selalu yakin akan penilaiannya, yaitu, pada dasarnya rasa yang pasti, penerimaan dan penolakan yang tidak mengenal keraguan, menyipitkan mata pada yang lain dan tidak mencari alasan.Â
Konsep estetika memiliki beberapa kesulitan, terutama ketika mencoba mengambil jalan menuju estetika yang murni dan abstrak. Pada titik ini abstraksi mengancam untuk membatalkan dirinya sendiri. Seseorang harus memahami bahwa tidak ada yang namanya persepsi yang murni dan abstrak, yang ada hanyalah persepsi tentang yang nyata. Â Seni tidak abadi, juga tidak hanya menampilkan dirinya pada kesadaran estetika murni: itu lebih merupakan bagian dari semangat yang berlabuh secara historis. Pengalaman estetika adalah cara memahami dunia, menemukan kebenaran. Tapi apa sebenarnya arti kebenaran dalam humaniora?
Untuk melacak kebenaran ini, seseorang dapat mendekatinya melalui konsep permainan. Seni itu berasal dari permainan. Ketika permainan mengambil bentuknya yang sempurna, yaitu seni, itu adalah "transformasi menjadi struktur". Ini bukan sihir atau pesona, tapi transformasi menjadi nyata. Ini terkait dengan pengakuan, tetapi di sini lebih banyak yang dikenali daripada hanya apa yang diketahui. Semua karya seni pada akhirnya adalah sebuah permainan, yakni esensinya tidak dapat dilepaskan dari representasi di mana kesatuan dan keunikan suatu benda seni diekspresikan.