Dengan meminjam Rousseau, maka ada dua dampak besar akibat Covid19 yakni memperlebar  ketimpangan, dan menciptakan peningkatan  ketidaksetaraan warga Negara atau warga Dunia.
Tentang sifat manusia, menyajikan dua jenis ketimpangan: 1) "ketidaksetaraan alam atau fisik yang dibentuk oleh alam," berdasarkan perbedaan usia, kesehatan, bentuk tubuh, kualitas pikiran, dan 2) ketidaksetaraan moral atau politik "yang dibangun atau setidaknya diizinkan oleh persetujuan umum umat manusia, pilkada, atau pilpres. hak istimewa yang berbeda yang dinikmati beberapa orang dengan prasangka orang lain, seperti menjadi lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan bahkan menuntut kepatuhan yang berasal dari mereka.
Covid 19 bukan hanya memunculkan sebagai fenomena medis, tetapi menghadirkan  penyakit sosial yang mencerminkan keterasingan yang meluas, anomie, dan produk sampingan berupa sikap menurunkan mental modernitas lainnya. Termasuk melemahnya  tatanan sosial atau psikologis impersonal daripada oleh agen individu.
Sebagaimana ide pada pertukaran pandangan, masa kini yang datang dan pergi, adalah seperti udara yang orang hirup dan hembuskan. Ini adalah metabolisme pertukaran, ketidakmampuan, dan kehancuran (yang mengembalikan apa yang telah dibangun, dan dihargai oleh produksi menjadi tidak bernilai).
Akibat Covid19_ semua domain nilai  tidak dikenali pada  konsepsinya tentang pertukaran simbolik. Bahwa "Hubungan sosial simbolik adalah siklus memberi dan menerima yang tidak terputus,  dalam pertukaran primitif, termasuk konsumsi 'surplus' dan anti-produksi yang disengaja. Oleh karena itu, istilah tersebut mengacu pada aktivitas simbolik atau budaya yang tidak berkontribusi pada produksi dan akumulasi kapitalis dan yang berpotensi merupakan "negasi radikal" masyarakat produktif sebelum Covid19.
Akibat semua serba online, WFH, Gmeet, Zomm meeting maka pertukaran simbolis atas produksi dan rasionalitas instrumental dengan demikian berdiri dalam tradisi pembelaan pada  "biadab alam" atas manusia modern, sikap solidaritas mekanis masyarakat pramodern melawan individualisme abstrak dan anomi dari yang modern. Covid19 telah membuay kondisi masyarakat kita dan dunia seperti ikan dalam kolam ada tiga lapisan, ikan paling atas gemuk, dan makmur, ikan ditengah air berukuran sedang, dan ikan pada lapisan bawah kurus, kecil dan meskin.
Simpulannya seperti apa yang dikatakan Durkheim Covid19 telah menciptakan sikap individualisme yang merajalela dan moralitas yang lemah, disemua tempat.__ Istilah Durkheim untuk "moral froid" atau moralitas rusak adalah anomi, keadaan deregulasi, di mana aturan sebelum Covid19 Â telah kehilangan otoritasnya, dan kita hidup dalam ketidakpastian.___
Masalah kedua yang berasal dari fakta bahwa masyarakat tidak lagi hadir untuk individu otonom berupa di mana seseorang tidak lagi melihat tujuan hidup dan melihat hidup sebagai tidak berarti atau stress frustasi. Perasaan ini muncul karena ikatan sosial  mengintegrasikan individu dengan masyarakat telah melemah atau putus  melalaui WFH. Tanpa batasan yang ditetapkan pada keinginan ini, rasa menjadi tidak diatur, dan harapan individu tidak sesuai dengan kenyataan. Akibatnya individu terus-menerus tidak bahagia. Kedua Covid19 memunculkan lemahnya solidaritas sosial dan ketidakmampuan masyarakat untuk mengintegrasikan individu secara baik, dan memadai.
Semoga COvid19 segera berakhir dalam waktunya, Â dan warga dunia dapat kembali kepada tatanan yang baik, dan adil_ semoga demikian, terima kasih. Rahayu-rahayu Seagung Dumadi_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H