Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apa Makna Gedhe Endhase?

16 Januari 2021   12:47 Diperbarui: 16 Januari 2021   12:53 14689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi apa obat untuk semua keangkuhan intelektual ("Gedhe Endhase") yang didorong oleh ego ini? Bagaimana kita dapat menghindari perangkap yang menahan rasionalitas kita (dan moralitas agama, kuasilah dunia) yang menurut Nietzsche melangkah seiring dengannya) untuk menjadi bagian terbaik atau paling istimewa dari diri kita sendiri? Sebagian dari jawabannya adalah tetap rendah hati secara intelektual (ojo dumeh kuasa), mengakui bahwa bahkan teori ilmiah atau filosofis yang paling obyektif pun dikembangkan dari dorongan internal, individu, atau bahkan budaya ke arah "pengetahuan" yang mengalami paradox dan sublimasi. Semua pengetahaun akhirnya  hanyalah ilusi objektivitas, bukan objektivitas sejati.

Bagian lain dari jawabannya adalah ("Gedhe Endhase")  menjadi nyaman dengan aspek lain dari diri Anda selain pikiran atau intelek: tubuh Anda dengan kebutuhan dan dorongannya, budaya dengan caranya yang unik dalam memandang dunia, dorongan kreatif artistik yang unik dan individual, milik sendiri.

Seperti yang bisa Anda lihat, Nietzsche memiliki pandangan yang jauh berbeda tentang tipe wujud manusia dibandingkan mayoritas filsuf dan teolog Barat. Pandangan Nietzsche tentang sikap umat manusia jauh lebih dekat dengan pandangan Darwin daripada pandangan Descartes. Manusia pada dasarnya adalah sejenis hewan, dan bukan hewan yang sangat cocok pada saat itu dengan mengmabil sikap ("Gedhe Endhase"). Dengan mengembangkan ("Gedhe Endhase")  maka beberapa kemampuan unik muncul, tetapi alasan menuntun kita untuk membuat kesalahan sesering mungkin. Dan kemampuan rasional unik kita bukanlah esensi yang menentukan; mereka adalah cara individu dan spesies manusia sendiri untuk mengatasi bagian lemah dari sifat kita, fakta bahwa kita tidak memiliki taring atau cakar atau sisik untuk melindungi diri kita sendiri. Dan persis disinilah sikap ("Gedhe Endhase")  harus dipertanyakan hingga saat ini.

Umat manusia memiliki kecerdasan, tetapi kita terlalu sering mengorbankan individualisme kita sendiri, kebutuhan biologis kita sendiri, dan bentuk ekspresi kreatif kita sendiri yang unik ke altar objektivitas dan universalitas.

Sayangnya, metafora itu diandaikan melukis diri kami sendiri dengan kuas yang sama yang digunakan untuk melukis seluruh umat manusia,  kuas egois yang sama yang digunakan oleh Rene Descartes dalam penjelasannya tentang diri kami sebagai makhluk rasional.

Menurut Descartes, manusia bukanlah makhluk fisik yang berwujud, tetapi "res cogitans" tanpa tubuh, untuk memikirkan sesuatu. Pandangan Cartesian tentang tubuh dan pikiran,  adalah penolakan langsung terhadap fakta-fakta tentang keberadaan manusia, sejenis pelarian berpikir atau harapan kematian yang terlalu umum dalam budaya Barat dan agama Barat pada umumnya, dan jenis keanehan intelektual yang dia peringatkan dalam "Melawan Kesombongan." Umat manusia berjalan dalam kebudayaan dan rasionalitas dalam panduan utama "("Gedhe Endhase").

Bagimana akibat keutamaan ("Gedhe Endhase") ini? Jadi, apa yang terjadi ketika gelembung budaya Barat, agama Barat, filsafat Barat, dan sains Barat meledak;  apakah sebagai akibat dari pembengkakan dan kekonyolannya sendiri atau dari kekuatan internal atau eksternal? Dan hari ini kita sudah mamasuki krisis dunia, bencana alam, ekonomi, infalsi, pengangguran, korupsi,  penyakit covid19 yang tidak mampu diselesaikan dengan semua pendekatan di atas;

Orang dapat berargumen bahwa gelembung egoistik yang dirujuk Nietzsche adalah gelembung pelindung sebanyak apapun. Anda tidak harus menghadapi tantangan menjadi individu yang unik atau berwujud dengan tetap aman dalam gelembung intelektual, dengan melihat diri sebagai pikiran, sebagai intelek, sebagai jiwa, atau sebagai ego.

Tetapi ketika gelembung itu meledak, seperti yang mungkin terjadi pada semua orang pada satu titik atau lainnya, Anda dipaksa untuk menghadapi keterbatasan Anda sendiri, kebutuhan dan dorongan Anda yang tidak pernah terpuaskan, ambisi Anda sendiri (baik yang tinggi atau yang mendasar), dan seterusnya.

Saat gelembung pecah, Anda tidak bisa lagi melayang di udara melalui dunia mimpi yang ideal, seolah-olah melalui istirahat dalam damai dengan Platonis atau Pythagoras. Manusia harus berdiri dengan dua kaki anda sendiri di tanah duniawi dan melihat diri di cermin, dengan semua kelemahan dan hasrat dasar menatap  tepat di wajah, tetapi juga dengan kekuatan pribadi yang luas, kemuliaan, dan potensi manusia yang dimiliki budaya Barat, dan akhirnya  berusaha keras untuk melepaskan sikap ("Gedhe Endhase").

Begitu banyak yang mungkin terjadi ketika gelembung keselamatan rasionalis meledak: manusia bebas menjadi diri sendiri, untuk mengejar proyek dan pencapaian diri sendiri, menyatu dengan tubuh sendiri dan di rumah di dunia alami, untuk melukis kehidupan sendiri seperti satu atau dua seniman menulis cerita kamu sendiri seperti seorang komposer epik termegah dengan "diri Anda" sebagai protagonisnya. Tetapi dibutuhkan keberanian untuk memecahkan gelembung ego manusia dan menjadi nyaman dengan diri sendiri sebagai paradox antara hewan atau manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun