Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pembelajaran Kasus Pesawat Sriwijaya Air

11 Januari 2021   12:02 Diperbarui: 12 Januari 2021   22:49 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembelajaran Kasus Pesawat Sriwijaya Air (SJ182)

Saya dan kita semua sebagai Bangsa Indonesia ikut prihatin, dan berduka atas musibah yang menimpa Pesawat Sriwijaya Air (SJ182), semoga para penumpang, dan Craw pesawat yang mengalami musibah ini yang meninggal dunia dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Dan keluarga diberikan pengiburan Rahmat Kasih Tuhan Yang Maha Esa, Amin.

Terlepas dari duka cita mendalam ini maka pertanyannya adalah Pembelajaran apa yang bisa diperoleh dari  Kasus Pesawat Sriwijaya Air SJ182?

Secara umum apapun didunia ini pasti apa yang disebut "risiko". Suatu keadaan yang ada dengan sendirinya, atau suatu kondisi yang tidak mampu ditundukkan dengan akal budi rasionalitas atau dalam istilah filsafat disebut "resistensi  hukum alam semesta" yang tidak tuduk pada logika manusia. Risiko ini dalam kajian ilmu ekonomi dan bisnis sangat sering dibahas diformulasikan dalam berbagai kasus. Sampai akhirnya ada tema besar disebut "high risk, high return".

Artinya industri  penerbangan termasuk dalam kategori  "high risk, high return". Memiliki risiko tinggi, dan return tinggi. Risiko tinggi yang dimaksud adalah berhubungan dengan modal investasi dan teknologi, kapasitas SDM unggul, keamanan, dan tata kelola yang baik. Sementara antinomy atau paradoks  terjadi ketika industri  penerbangan menerapkan "penerbangan dengan tariff rendah- berbiaya rendah (artinya returnnya tidak tinggi).  Maka fenomena industri  penerbangan di Indonesia  mungkin ada potensi pelanggaran dokrin bisnis pada "high risk, high return".  

Tetapi ini bukan penyebab tunggal "high risk, high return" mesti dikaji lagi kondisional Negara Kepulauan Indonesia yang sangat membutuhkan kehadiran industri  penerbangan untuk mendistibusikan manusia, dan barang. Maka masalah teknologi dapat berupa bagaimana menciptakan alat dan mekanisme yang tepat untuk membuat pekerjaan lebih efisien, sementara masalah epistemik berkisar dari strategi pemasaran hingga memaksimalkan keuntungan.

Supaya tulisan ini memiliki system deduksi rasional yang baik pada pertanyaan Pembelajaran apa yang bisa diperoleh dari  Kasus Pesawat Sriwijaya Air (SJ182), maka saya meminjam dasar pemikiran 3 Dokrin rerangka Aristotle pada "Etika Nicomachean", yang menetapkan tiga jenis pengetahuan berbeda yang diperlukan untuk memecahkan masalah: "Techne, Episteme dan Phronesis".  Dengan 3 pendekatan ini maka problem Industri penerbangan secara umum di Indonesia menjadi dapat dijawab dengan baik;

Pertama memecahkan masalah industri  penerbangan dengan pendekatan {"Techne"} adalah keterampilan atau pengetahuan kerajinan; kemampuan menggunakan alat atau teknik infrastruktur system dan sub system penerbangan untuk menciptakan sesuatu dapat berjalan sesuai dengan tatanannya.  

Kata techne adalah seni, kerajinan, atau disiplin sejati. Bentuk jamaknya adalah technai. Ini sering diterjemahkan sebagai "kerajinan" atau "seni" dalam arti menjadi keterampilan yang dipelajari yang kemudian diterapkan atau diaktifkan dengan cara tertentu, pada industri  penerbangan. Kata sebagai sebuah teknologi: tidak hanya keterampilan untuk berkomunikasi secara efektif tetapi system penerbangan yang koheren untuk menganalisis semua kondisi fenomena alam, manusia, dan teknologi.

Pada kasus Industri penerbangan maka techne dalam arti penuh: aktivitas yang dilakukannya tidak hanya kognitif (semua stakeholders) tetapi juga transformatif dan praktis. Ia tidak membatasi dirinya untuk menyampaikan fakta netral dan disterilkan (yang didokumentasikan), tetapi tujuannya adalah untuk membawa keselamatan umat manusia; untuk menghasilkan efek baik pada mereka; untuk membentuk mereka; untuk membuat mereka berbeda sebagai akibat dari dampaknya". 

Dan akhirnya tidak ada disebut human error secara teknologi karena sudah memenuhi ekspresi "logoc techne" termasuk  kemapuan penyesuaian dengan setiap jenis alam. Kongkritnya techne sebagai model pengetahuan atau kompetensi secara khusus industri  penerbangan.

Masalah industri  penerbangan high teknologi,  dapat berupa bagaimana menciptakan alat dan mekanisme yang tepat untuk membuat pekerjaan lebih efisien, sementara masalah epistemik berkisar dari pemasaran hingga memaksimalkan keuntungan. Dan tantangan phronesis melibatkan hal-hal strategis seperti langkah-langkah pemotongan biaya serta merger dan akuisisi. 

Jika suatu situasi mengharuskan  membuat keputusan moral, seperti keselamatan dan perawatan karyawan, menganalisis fakta, dan angka sama sekali tidak ada gunanya. Pada catatan yang sama, ketika situasi menuntut beberapa bentuk analisis data, memilih untuk mengikuti intuisi anda tidaklah cerdas.

Kedua pendekatan "Episteme" (pengetahuan ilmiah), di sisi lain, berfokus pada pemahaman tentang hal-hal yang sudah ada di dunia. Maka episteme adalah domain pengetahuan sejati - berbeda dengan doxa, domain opini, keyakinan, atau kemungkinan pengetahuan. 

Kata Yunani episteme sebagai "sains" atau "pengetahuan ilmiah. Episteme dengan demikian memiliki arti yang sangat dekat dengan kata tekhne (skill). Kongkritnya maka episteme sebagai sistem pengetahuan paripurna pada semua hal pada ilmu industri  penerbangan.

Tanpa hal ini maka sulit untuk menyatakan sesuatu itu memenuhi tatanan mutu. Misalnya "Sistem pengetahuan pesawat terbang" atau bentuk pengetahuan ini mencoba menggali hukum alam, manusia, ruang, waktu, cuaca, infrastruktur grounded, menganalisis fakta, angka,  untuk keharmonisan supaya tercipta system yang baik (running well). 

Misalnya tidak boleh ada misinformasi pada system kerja mekanika pesawat terbang, manual instruktur, percepatan, kecepatan, kapasitas yang diizinkan, gravitasi, pemahaman mekanika dan seterusnya. Akhirnya tidak boleh terjadi "ketidaksadaran positif" dari pengetahuan.

Ketiga pendekatan ("Phronesis"), berarti kebijaksanaan praktis, melibatkan penilaian etis seperti memiliki ketajaman intelektual untuk membuat keputusan yang tepat bahkan ketika datanya tidak jelas atau situasinya ambigu. Argumen utama Aristotle adalah bahwa semua bidang ini harus didefinisikan dengan jelas, bersih dari kesalahan moral. Karena sebuah industri penerbangan yang tangguh jika meminjam Aristotle maka tidak boleh terjadi  "kesalahan praktik moral". Mengapa?

Karena menurut Socrates  tujuan hidup manusia adalah mencari sophia, atau kebijaksanaan. Dan untuk mencapai sophia memberi seseorang pemahaman umum tentang sifat kebajikan. Dan begitu seseorang atau perusahan, atau Negara mencapai pemahaman tentang setiap kebajikan, maka  secara alami dipastikan menjalaninya.  Sikap praktik moral berbudi luhur adalah bersifat niscaya;

Sudah jelas dan tegas di seluruh dunia bahwa standar umum industri  penerbangan harus dilakukan dengan sifat kehati-hatian ["phronesis"]   mempertimbangkan dengan tujuan semua orang atau mementingkan martabat nilai manusia seperti apa yang kita sebut bijaksana. Sebagai ciri orang yang bijaksana untuk dapat mempertimbangkan dengan benar tentang apa yang baik dan menguntungkan. Sifat  kehati-hatian ["phronesis"]  bertujuan produksi selain mengadaikan dirinya sendiri diperlakukan oleh orang lain;

Sekali lagi masalah teknologi dapat berupa bagaimana menciptakan alat dan mekanisme yang tepat untuk membuat pekerjaan lebih efisien, sementara masalah epistemik berkisar dari pemasaran hingga memaksimalkan keuntungan. Dan tantangan phronesis melibatkan hal-hal strategis seperti langkah-langkah pemotongan biaya serta merger dan akuisisi. 

Jika suatu situasi mengharuskan  membuat keputusan moral, seperti keselamatan  menganalisis fakta dan angka sama sekali tidak ada gunanya. Di sinilah problem dan pertanyaan akhir ["perbedaan antara mengetahui dengan melakukan"]. Moral dinilai pada tindakan, tidak cukup hanya paham atau mengetahui, dan disinilah pendekatan ("Phronesis") memperoleh tempat.

Simpulannya adalah dengan meminjam pemikran filsafat Aristotle pada Techne, Episteme dan Phronesis, akan berhasil menyelamatkan reputasi perusahaan, martabat bangsa dan negara. Pada akhirnya, ciri pemimpin yang baik terletak pada mengetahui bagaimana berpikir dan apa yang harus dipikirkan, kemudian melakukan apa yang dipikirkan". Hanya dengan cara ini maka  pengakuan martabat manusia (human dignity) sebagai representasi Gusti Allah bisa terwujud.

Terima kasih semoga Industri Penerbangan Indonesia kedepan menjadi lebih baik sesuai harapan kita semua._ Rahayu-rahayu Seagung Dumadi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun