Apa mana tulisan di Kuil  Oracle?
'Agora, atau semacam "alun-Alun di Jawa" di mana orang-orang Yunani kuno membahas gagasan mereka tentang keaslian dan manusia sebagai makhluk yang berpikir dan bertindak secara otonom. Bangsa Yunani kuno menganggap Delphi atau  kota Delfi (atau Delphi), yang terletak di lereng Gunung Parnassus, sebagai pusat dunia dan menghormati kebijaksanaan Oracle yang tinggal di sana, di Kuil Dewa  Apollo. Nubuatan Oracle ini selalu samar, kurang jelas, paradox, karena itu perlu dikontemplasikan  lagi. Â
Tulisan di kuil Dewa Apollo berbunyi , "kenalilah diri sendiri," atau pada oracle di Delphi atau Dewa Apollo di Kuil Delphi berbunyi: {"Gnothi Se Authon Kai Meden Agan, artinya: Kenalilah Diri Sendiri, dan Tahu Batas"}".  Mungkin jika di Indonesia Lama atau Jawa Kuna menyebut Gnothi Se Authon sebagai sikap tahu diri (eling), mencakup sikap ""Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso". "Gnothi Se Authon" adalaha keutamaan "rasa" atau sembah roso. Umat manusia problem umumnya adalah karena  "Kamu tidak mengenal dirimu sendiri"
Pemikiran Socrates berputar di sekitar pengetahuan diri atau disebut "Gnothi se authon".  Esensi bagi manusia adalah kemampuannya untuk memasuki hubungan dialog, Socrates mengutamakan jiwa, dan bukan tubuh. Ketika Socrates mengunjungi Oracle,  menyatakan  dia tidak tahu apa-apa, dan Oracle menjawab bahwa dia adalah orang paling bijaksana di dunia. Socrates tidak setuju, tetapi dia akhirnya menemukan makna ironisnya. Dengan mengaku tidak tahu apa-apa, Socrates benar-benar yang paling bijaksana karena semua orang lain berada di bawah kesan yang salah bahwa mereka tahu lebih banyak daripada yang sebenarnya mereka ketahui. Kalimat  "Kenali Dirimu" tertulis di dinding kuil Oracle, yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan sejati terletak pada mengenali ketidaktahuan seseorang.
Demikianlah seperti Socrates, bersedia mengakui ketidaktahuannya sendiri, dan Oracle mempertahankan kepercayaan dirinya pada dia dan kemampuannya meskipun sering terlihat kebingungan dan keraguan. Socrates adalah "seorang penabur keraguan"; Keberanian Socrates berjalan seiring dengan kesabaran, kesederhanaan, dan pengendalian diri yang mampu menahan cobaan apa pun sampai diadili tanpa kesalahan dengan meminum racun. Seperti dalam teks Phaidon tentang hari terakhir Socrates di penjara dan eksekusinya;Platon mengeksplorasi gagasan dunia nyata adalah ilusi melalui metafora pada alegori gua di The Republic.
Platon membayangkan sebuah gua tempat orang-orang ditahan sejak lahir. Orang-orang ini terikat sedemikian rupa sehingga mereka hanya bisa melihat lurus ke depan, bukan ke belakang atau ke samping. Di tembok di depan mereka, mereka bisa melihat kerlap-kerlip bayangan berupa manusia, pohon, dan binatang. Karena gambar-gambar ini adalah semua yang pernah mereka lihat, mereka percaya gambar-gambar ini adalah dunia nyata.
Suatu hari, seorang narapidana lepas dari ikatannya. Dia melihat ke belakangnya dan melihat bahwa apa yang dia pikir sebagai dunia nyata sebenarnya adalah kumpulan bayangan yang rumit, yang dibuat oleh orang-orang bebas dengan patung dan cahaya dari api. Patung-patung itu, dia memutuskan, sebenarnya adalah dunia nyata, bukan bayangan. Kemudian dia dibebaskan dari gua sama sekali, dan melihat dunia nyata untuk pertama kalinya. Dia kesulitan menyesuaikan matanya dengan sinar matahari yang cerah,tapi akhirnya dia melakukannya. Sadar sepenuhnya akan realitas sejati, dia harus kembali ke gua dan mencoba mengajari orang lain apa yang dia ketahui.
Pengalaman tahanan ini adalah metafora untuk proses di mana manusia langka membebaskan diri dari dunia penampilan dan, dengan bantuan filsafat, memahami dunia dengan benar. Akhirnya Platon membuat  episteme pada Pengetahuan ("World of auditing idea"); bersifat progress melalui (1) Pengetahuan Visible World (Doxa) meliputi Eikasia (konyektur), Pistis (kepercayaan); (2) dua garis membagi; menuju ke (3) Pengetahuan Intelligible World (Episteme Knowledge): meliputi Dianoia (rasio diskursif analitis), Noesis (rasio intuitif)
Implikasi kejadian di Oracle ini memunculkan dalam filsafat modern pada proses meditasi yang dilakukan untuk menghasilkan "aku berpikir maka aku ada, "I think, therefore I am". Rene Descartes dalam bukunya tahun 1641, Meditations on First Philosophy, Meditasi Pertama, dengan subjudul "Apa yang bisa disebut keraguan,"; Descartes mengajukan pertanyaan tentang bagaimana dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa dunia yang dia alami bukanlah ilusi yang dipaksakan kepadanya oleh iblis jahat.
Descartes beralasan karena dia percaya pada apa yang dia lihat dan rasakan saat bermimpi, dia tidak bisa mempercayai indranya untuk memberitahunya bahwa dia tidak masih bermimpi. Indranya tidak dapat memberinya bukti bahwa dunia ini ada. Dia menyimpulkan bahwa dia tidak dapat mengandalkan indranya, dan untuk semua yang dia tahu, dia dan seluruh dunia mungkin berada di bawah kendali iblis jahat.
Setan jahat Descartes  sebagai kecerdasan buatan yang memaksa realitas virtual pada manusia. Sama seperti Descartes menyadari bahwa sensasi dalam mimpinya cukup jelas untuk meyakinkannya bahwa mimpi itu nyata; sampai akhirnya Meditasi  Ketiga, Descartes membangun argumen tentang keberadaan Tuhan yang dimulai dari fakta dia memiliki gagasan tentang makhluk yang tak terbatas. Argumennya rumit prinsip metafisik  "harus ada setidaknya sebanyak realitas dalam sebab yang efisien dan total seperti dalam akibat dari sebab itu".
Prinsip ini dikemukakan sebagai sesuatu yang "diwujudkan oleh cahaya alami" dengan sendirinya digambarkan sebagai kekuatan kognitif yang hasilnya tidak dapat diragukan lagi, seperti persepsi yang jelas dan berbeda. Descartes kemudian menerapkan prinsip itu tidak hanya pada keberadaan gagasan tentang Tuhan sebagai keadaan pikiran, tetapi pada isi gagasan itu.
Descartes mencirikan konten itu sebagai tidak terbatas, dan dia kemudian berpendapat bahwa konten yang mewakili ketidakterbatasan membutuhkan makhluk tanpa batas sebagai penyebabnya. Karena itu, ia menyimpulkan bahwa makhluk yang tak terbatas, atau Tuhan, pasti ada. Dia kemudian menyamakan makhluk tak terbatas dengan makhluk sempurna dan bertanya apakah makhluk sempurna bisa menjadi penipu.
Ide Descartes Gnothi Se Authon  melalui pembatinannya pada metode Skeptisisme dan dualisme pikiran-tubuh telah digabungkan untuk menciptakan pemahaman tentang pikiran manusia sebagai terkunci di dalam tubuh dan terpisah dari dunia. Bagaimana pikiran ini bisa mengetahui apa pun tentang dunia adalah sebuah misteri, dan kepastian pengetahuan ini dipertanyakan dengan tajam. Konsepsi pikiran ini begitu alami bagi kita sehingga terkadang sulit untuk memahami bahwa dunia pra-Kartesius memiliki pandangan yang jauh lebih skeptis terhadap pengetahuan dan persepsi indrawi.
bersambung _____
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H