Matahari, bagi Nietzsche, adalah metafora ganda, baik untuk pencarian objektivitas yang sentral bagi filsafat Barat dari Socrates dan Platon dan seterusnya seperti yang dilambangkan dalam Allegory of the Cave (Republik Platon) dan untuk penerangan ilahi dan kepenuhan Tuhan dalam teologi agama-agama.
Bagi  Nietzsche ada sesuatu yang tidak mudah untuk dikatakan dalam horizon waktu seperti dalam  (metafora manusia Onta, Singa dan Bayi) bahwa tujuan hidup bukanlah menuju ke sinar matahari, metafora usang fajar filsafat Barat dan zaman pencerahan, melainkan untuk menghindari metafora sinar matahari sebagai bahaya paling parah bagi sifat asli manusia sebagai individu yang lengkap dengan kemampuan untuk melampaui moralitas kawanan kampungan dengan penekanan berlebihan pada rasionalitas, objektivitas, dan moralitas sebagai esensi sifat manusia. Nietzsche untuk menggambarkan mereka yang bersembunyi dari sinar matahari dalam arti yang ironis tragis, atau lahirnya Tragedy.
Pada tradisi Indonesia Kuna dikenal dengan matahari sebagai symbol pada kata "Wiwitan" atau timur atau asal usul atau permulaan, atau alam purwo dalam pemahaman "kasunyatan/realitas"; atau tertinggi pada Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) Menghendaki). Matahari atau api adalah representasi pada kenyataan realitas pada  Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Goib). Matahari adalah symbol tata diri sifat keutaaman manusia menciptakan resolusi pemikiran pencerahan manusia. Dibawah matahari manusia mengalami proses diri meniru (mimesis) atau semacam perwakilan "Pusaka Buana" keterwakilan "Batara Buru" dimana semua hal harus berdasar nalar, logika, memahami semua cara padang, dan berdasarkan turunan "karya sastra Agung" (Indonesia Kuna) atau tembang Luhur. Maka matahari adalah symbol meraawat, memelihara, dan bukan merusak apapun. Semua benda apapun dibawah matahari adalah memiliki jiwa/rohani  dan sifat jasmani";
Metafora matahari ini bisa dimaknai pada proses siklus ada dan menjadi pada pengertian "Kabuyutan" atau "Tanah suci" Indonesia atau disebut trans_substansi manusia sifat Sang Hyang Wenang pada alienasi diri manusia sebagaimana ada dalam epos teks "Batara Manikmaya (Batara Guru"). Secara umum metode pemahamannya dapat dilakukan dengan ontologis HO NO CO RO KO Â versi Jawa Kuna;
Maka matahari adalah symbol "Ngesti Suwung Wenganing Bumi (Suasana Hening memahmi Membuka Bumi) kemudian ditrans substansikan pada Dokrin Manunggaling Kawula Gusti, Suksma Kawekas (Tuhan Sejati) dipahami sebagai "Utomo Roso" sebagai proses batin sampai Moksa menjadi sifat-sifat Konsep Tuhan Maha Esa {"Tan Keno Kinoyo Opo"}. Metafora Kawruh Kisah Dewaruci adalah inti "Sangkan Paraning Dumadi" itulah siafat keutamaan di bawah matahari wujud  "memayu hayuning bawana";
Matahari adalah daya energi vital pada seluruh alam semesta yang memiliki fungsi lahiriah batiniah bahkan melampaui untuk "memahami kekosongan": {"ada, sama, berbeda, bergerak, dan diam"}.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H