Ontologi Pada Filsafat India
Menurut Kaivaladvaita [Sankara 788-820] yang "ada" hanyalah "Brahman, maka semua hal meskipun memberi ilusi akan bereksistensi sendiri [alam, manusia], sebenarnya identic dengan "Brahman". Dengan cara lebih halus menurut Visishtadvaita [Ramanuja 1055-1137]  semua cara mengada  [prakara] dengan sifat-sifatnya yang berbeda pada dasarnya bersatu dengan "Brahman";
Menurut semua aliran di India kecuali Carvaka [abad 5 SM] semua hal dalam dunia empiric ditentukan oleh "hukum karma", yakni melalui rantai penyebaban melalui siklus lahir, tumbuh, dan mati, dimana titik sekarang muncul dari  yang lampau, dan yang kedepan didasarkan pada titik sekarang.
Namun dalam proses reinkarnasi itu manusia tidak mengembangkan sesuatu kenyataan baru dan unik, tetapi hanya menjadi siap untuk menikmati suatu ketentraman abadi yang bertolak belakang dengan segala usaha dan aktivitas manusia;
Menurut Sankara [788-820] kenyataan [ada] seluruhnya bersifat spiritual. Hanya "Brahman" yang abadi dan sungguh-sungguh ada; dunia dan manusia [atman] merupakan ilusi belaka [maya], suatu objek palsu karena kebodohan manusia [avidya];
Vaisesika [pendiri Kananda abad 5 SM] menyatakan "kenyataan" dibagi dalam substansi-substansi [jiwa, budi, ruang, dan waktu] dan substansi-substansi material. Yang Non Material bersifat individual, tidak dapat dibagi, dan tidak mampu diobservasikan, kekal abadi, dan meresapi segalanya. Tuhan adalah Jiwa Tertinggi.
Substansi  material dalam bentuk kasar bersifat tersusun dan akan musnah, tetapi pada dasarnya mereka diwujudkan dalam atom-atom yang tidak kelihatan, yang infinitesimal, dan abadi. Ada empat macam sesuai tipe jenis material [hawa, api, air, dan tanah]; masing-masing dengan sifatnya sendiri, berifat pasif dan menerima perintah dari Tuhan Maha Esa;
Segala-galanya berati, dan bernilai, entah dengan sifat positif baik, atau menyeleweng, oleh karena berfungsi dalam proses tercapainya "kaivalya" melalui jalan karma. Arti dan nilai, akal dan kehendak, bersatu erat, sebab kenyataan dicari untuk dinikmati, tidak pernah merupakan pengetahuan teoritis belaka.
Memhami ontology dan filsafat bukanlah pekerjaan gampangan dan sia-sia, tetapi cara menjalani kehidupan, namun semua upaya menusia terutama menuju pemahaman "Pengada" yang tunggal. Jika akirnya tercapai "kaivalya" akan hilanglah segaka pengetahuan, dan keinginan manusia;
Vedata [700-1400sm] menyatakan Tuhan disebut Ada Tahu Bahagia [Sad Cid Ananda], tetapi selaku identitas, sebagai aspek kenyataan; cinta bukanlah menyebarkan diri [diffusivum sui], tetapi menyerap menyedot lainnya; sebab mereka semua hanya maya atau semu;
Akibatnya semua Manusia dan dunia mempunyai arti nilai yang semu, akal kehendak berfungsi sementara memiliki makna rendahan, dan menelanjangi akan semu itu. Bila kenyataan dunia disanggah, oleh atman tercapai "kaivalya"; lalu akal dan kemauan menjadi hilang atau tidak ada lagi;
Manusia akhirnya harus bisa dan dapat melepaskan diri dari materi melalui renungan dan dengan kehendak bebas, supaya kembali kepada rohani, dan memiliki harmoni. Harmoni terdiri dari pemberhentian segala kegiatan dan segala kesadaran, sehingga tidak mengalami lagi suka duka seperti berhubungan dengan material. Â Manusia rohani akan menjadi substansi individu otonom/telanjang yang mengetahui dengan lengkap, maka ia mencapai kesempurnaan dalam moral;
Daftar Pustaka. Anton Bakker., 1992., Ontologi Metafisika Umum., Kanisus. Jogjakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H