Ropingi Surobledhek  atau saya sebut Mas Ropingi  adalah Goethe di Kompasiana, sedangkan Ikhlas (Julak Anum) adalah Holderlin Kompasiana dalam bidang mengaduk kata-kata dan membuka menutup mata batin. Dua pujangga ini selalu mengiasi halaman Kompasiana, tiap hari, dan selalu memperoleh top rating; Konsistensi dan loyalitas mengolah citra tanpa raga membuat kata-kata dua manusia sakti ini membuat jiwa terbelah dalam "peng-kata-an kerna hadir dari kebutuhan manusia pengujar;
Kata-kata mereka sering membuat saya resah, dan saya tidak paham,  lolos memahami tiap titik kata pusisi mereka, dalam kata jamak plural sehingga bisa membawa saya pada ilusi; sementara pada sisi lain "Goethe Holderlin" Kompasiana ini selalu mencari metaphor sama sekali tidak berhubungan dengan fakta apa yang dikatakan; Kata dua manusia ini atau Goethe Holderlin  versi Kompasiana ini kadang mengumumkan kebenara-kebenaran adalah ilusi yang telah dilupakan sebuah enigmatic, selalu lolos dan tidak bisa dikodifikasikan atau dikanonikasikan; dua manusia ini bisa menghadirkan "labirin" manusia dalam desah kata dan retorika yang indah
Metafora Goethe Holderlin  punggawa Kompasiana ini mendatangkan pikiran ulang pada kebenaran, dan kebohongan yang makna ekstra moral manusia; namun justru disinilah puisi  Ikhlas (Julak Anum) dan Mas Ropingi hadir tanpa rumah asal, tanpa tujuan akhir, tanpa nostalgia yang ada hanyalah sebuah tanah air pikiran yang telah hilang ingin diucapkan kembali;
Dua pria muda berbeda usia tanpa kenal senja itulah yang pantas buat mereka berdua; baik Johann Wolfgang von Goethe atau dilahirkan dalam kata-kata baru tanpa tubuh dihadirkan  Mas Ropingi sunggguh bernas tajam, dan kata-kata puisinya mampu menghasilkan sesuatu makan yang  hidup, kehadiran aktual dan,  pada saat yang sama sering menakutkan;
Kata-kata dari puisi  Goethe atau Mas Ropingi sempat beberapa kali jantungku berdegup kencang ke kuda! Lebih cepat dari yang diperkirakan.  Sudah malam membuai saja bumi,  Dan malam menggantung di atas kerucut gunung:  Sudah pohon ek berkabut berdiri,  Raksasa besar, menjulang tinggi di sana,  Dari mana keluar dari kayu bayangan,  Seratus mata gelap tampak menatap.  Dari tepi awan, Bulan menatap,  Sedihnya keluar dari kabut tentang dia,  Angin mengepakkan sayap yang lembut, dan tersesat; Sekitar telingaku yang dilanda teror:  Malam melahirkan seribu monster, Tetapi roh saya gembira, bersemangat: Jauh di dalam nadi saya, api apa yang membakar!  Jauh di dalam hatiku betapa panas!  Aku melihatmu, dan penuh kebahagiaan;  Mengalir ke saya dari mata Anda yang manis:  Aku menghela nafasku untukmu,  Hati saya sepenuhnya berada di pihak sang bayu.  Cahaya merah-mawar musim semi, bersinar;  Semua tentang wajah cantikmu, menyala  dengan kelembutan;
Johann Christian Friedrich Holderlin  atau kekinian diwakilkan dalam punggawa Sastrawan Kompasiana Ikhlas (Julak Anum) dengan kata "Harap itu seluas jagat dalam semesta. Sebanyak rindu yang kutitipkan pada saujananya. Kata saujana  atau "sejauh mata memandang" atau makna saujana dilukis pada puisinya berjudul memikat metafora "Aku Ingin Lahir dari Rahim Puisimu";
Holderlin  anak Rahim muncul pada ide pada Ikhlas (Julak Anum);  Jadi penyair berdiri dalam cuaca yang menguntungkan:  Mereka yang tidak menguasai, melainkan Alam, Perkasa dan indah dalam keilahiannya, luar biasa;Â
Dan secara universal hadir, dididik dengan pelukan lembut.  Dan ketika Alam muncul untuk tidur di beberapa cuaca,  Baik di langit atau di antara tanaman atau bangsa,  Jadi aspek penyair berbalut luka.  Ikhlas (Julak Anum)  tampaknya sendirian, tetapi pengetahuan  terus berlanjut.  Karena Alam itu sendiri adalah masa lampau, sebagaimana ia bersandar untuk Alam, yang lebih tua dari waktu, mampu  Berdiri di atas para dewa Barat dan Timur,
Kata-kata .  Ikhlas (Julak Anum)  lahir dari badai, dari udara, dan lainnya;  Berasal lebih jauh dalam kedalaman waktu  lama akrab dengan yang tak terbatas,  Dipukul dengan cepat, dan bergetar dengan memori.  Dibakar oleh cahaya suci,  Itu menciptakan puisi buah yang lahir dari cinta, seperti karya para dewa dan manusia;
Metafora Goethe Holderlin atau kekinian jiwa tanpa tubuh dihadirkan oleh  Mas Ropingi _ Ikhlas (Julak Anum) menurut saya adalah upaya mencari labirin kebenaran pada sesuatu yang didapat dalam proses kreatif, tanpa dibebani pamrih, atau tujuan apapun, sesuatu proses kreatif yang menguntit hidup; dia juga adalah sejenis arah dan bisa jadi semacam kepatuhan  atau  jangan-jangan tanggungjawab setidaknya kepada sang pemberi Hidup;
Goethe Holderlin punggawa Kompasiana bidang sastra ini mengambil dan melihat umat manusia dalam perbedaan pada dua sumbu utama yakni dekaden, dan ascenden. Yang dekaden adalah umat manusia menurun, melemah, menyerak, menjauh dari mutu; dan ascenden adalah menaik, menguat, mengutuh, dan tambak mutu;dan akhirnya tanggungjawab itu dipikul sendiri;