Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Perspektif Filsafat tentang Korupsi sebagai Dosa

11 Januari 2020   12:58 Diperbarui: 11 Januari 2020   13:00 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Harian Kompas.com

Perspektif  Filsafat tentang Korupsi Sebagai Dosa

Saya Kutip pada Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Begini Kronologi OTT KPK yang Menjaring Komisioner KPU Wahyu Setiawan; Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024. 

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyatakan, Wahyu ditetapkan sebagai tersangka setelah rangkaian operasi tangkap tangan di sejumlah lokasi yang menjaring sebanyak delapan orang. "Dalam kegiatan tangkap tangan ini, KPK mengamankan delapan orang pada Rabu-Kamis, 8-9 Januari 2020 di Jakarta, Depok, dan Banyumas," kata Lili dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (9/1/2020).

Bagimana pandangan filsafat tentang korupsi sebagai bentuk dosa dalam berbagai sudut padang; "Dosa bukan hanya tentang melanggar aturan. Ini tentang kurangnya kesesuaian antara aspek-aspek diri manusia, " Ketidaksesuaian ini,  sering kali dalam "cara menjalani hidup. Itu tidak cocok dengan apa yang diakui untuk percaya dalam artian seluas-luasnya. "

Bagi Platon dan Aristotle, akrasia pada dasarnya tidak ada. Platon tidak melihat bagaimana   bisa melawan apa yang dipikir terbaik. Jika pilihan    entah bagaimana salah, itu adalah kesalahan ketidaktahuan daripada ketidaktaatan yang disengaja terhadap penilaian kita yang lebih baik. Konsepsi Yunani tentang akrasia melalui Aristotle  percaya   alasan kita dapat dikalahkan oleh nafsu sehingga   tidak membuat penilaian tentang apa yang terbaik.

Konsep Aristotle  adalah   "Anda tidak pernah bertindak bertentangan dengan apa yang dianggap terbaik dan karenanya  tidak pernah berbuat dosa atau kesalahan diakibatkan kebodohan, dan tidak ada manusia jahat didunia ini. Artinya kesalahan atau dosa akibat kegagalan pengetahun pada kebaikkan atau perbuatan kebaikkan yang meleset dan tidak sampai." 

Pada  abad pertengahan Augustine dan Aquinas, akrasia memang ada. Agustinus percaya manusia  bisa berdosa karena keinginan   untuk melakukan yang menurut manusia paling baik adalah lemah. Aquinas percaya berdosa karena kehendak kita dapat berfantasi dan merasionalisasi apa yang kita anggap terbaik sehingga itu sesuai dengan apa yang ingin kita lakukan. 

Di zaman modern, Descartes   percaya pada akrasia tetapi mengatakan cara untuk menghindarinya bukan dengan memperkuat kehendak seseorang, tetapi dengan membatasi asupan nafsu yang disebabkan oleh keingian tubuh tidak dapat dikendalikan oleh rasionalitas  terutama uang, jabatan, makanan, dan nafsu seks.

Pada orang lain di zaman modern mengambil pendekatan yang berbeda. Mengacu pada gagasan Baruch Spinoza,, "Ketika manusia menyadari kesatuan dengan Tuhan, manusia merasakan emosi positif yang memotivasi   untuk melakukan apa yang menurutnya terbaik." 

Perspektif menjadi satu dengan Tuhan, adalah hal baru alat untuk mengatasi dosa. Dalam kata-kata Spinoza, "Kamu tidak bersukacita dalam Tuhan karena kamu mengendalikan nafsumu, kamu mengendalikan nafsumu karena kamu bersukacita dalam Tuhan dan kamu hidup dan bergerak di dalam dia."

Hegel memiliki pemahaman lain tentang akrasia. Hegel menyatakan sebagai "kesadaran palsu." Hegel percaya manusia bersalah atas kesadaran palsu ketika tindakan   tidak bergerak dengan roh dunia yang menyebabkan terputusnya hubungan antara apa yang kita anggap terbaik dari cara kita diwujudkan dan hidup di dunia.  

Gagasan  penting bagi filosofi yang diungkapkan oleh  eksistensialis yang didiskusikan  Kierkegaard adalah seorang Kristen yang percaya  dosa adalah keputus-asaan, suatu keengganan untuk bergerak maju dalam lompatan iman, melampaui pemahaman seseorang saat ini terhadap apa yang ditawarkan kepada manusia pada tingkat cinta; Nietzsche percaya pada keputusasaan sebagai penolakan untuk bergerak maju dan menjadi lebih kuat. Nietzsche   mendesak pengembangan diri dalam kehidupan ini daripada harapan untuk penebusan di kehidupan selanjutnya.

Filsuf terakhir tentang akrasia ini adalah Heidegger. Heidegger membahas ketidaktepatan, apa yang dilihat  sebagai versi dosa yang lebih kontemporer. "Ketidaktepatan berdosa,   menggambar dengan hati-hati, saat demi saat, di dunia pengalaman kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun