Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengapa Tiga Hal Ini Tidak Muncul dalam Pidato Awal Bapak Presiden

21 Oktober 2019   17:40 Diperbarui: 21 Oktober 2019   18:11 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Tiga Hal ini tidak Muncul Dalam Pidato Bapak Presiden

Semua hal didunia ini memiliki 3 potensi, [a] potensi absolut; [b] potensi penyelenggaraan, dan [c] potensi menghancurkan. Maka dengan meminjam 3 potensi ini tulisan ini adalah memuat tiga  catatan penting yang mungkin bersifat paradox pada pidato bapak presiden tanggal 20 Oktober 2019 kemarin di depan sidang MPR RI sesuai dilantik resmi sebagai presiden, yaitu:

Ke [1] tentang IKN atau Ibu Kota Negara Baru yang sudah disampaikan dan sudah ditentukan tempat lokasinya di Provinsi Kaltim;  Ke [2] tentang Pentingnya pemberantasan Korupsi di Indonesia selama masa jabatan 2019-2024; [3] tentang penyelesaian secara permanen, menyeluruh, dan lengkap untuk Papua bagian NKRI tanpa ada satu tetes darah dan air mata;

Dua tema ini seakan terpisah terapi memiliki kaitan langsung dengan kehendak dan representasi kemungkian kegagalan, dan keberhasilan IKN tersebut dilaksanakan. Namun sudah ada 30 Artikel tulisan saya di Kompasiana tentang IKN  dengan analisis logis, dan non logis sampai kepada dugaan kuat bahwa pemindahan ibu kota Negara [IKN] adalah tidak memadai [jika mau dikatakan kasar "gagal"], dan berpotensi besar menjadi gagal. Banyak hal yang secara teknis studi sudah dilakukan, tetapi kehidupan paling totalitas mengalami pemahaman limitasi, dan contingency sehingga analisis para punggawa Negara pada IKN banyak sisi bolong dan lemah. 

Keberhasilan pembangunan itu harus minimal di ukur 100 tahun, tetapi metafisik menjawab tidak usah menunggu 100 tahun, hanya membutuhkan 10 tahun saja sudah bisa menjawab negasi, dan plurality IKN adalah proyek Hambalang jilid 3 tetapi skala nya lebih besar, dan bisa membuat perpecahan sesama anak bangsa.  Semiotika paradox awal adalah ada dua [a] kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan; [b] Kerusuhan calon IKN di PPU beberapa minggu lalu adalah tanda awal yang bisa ditelusuri kedepan, dan kebelang, sehingga dapat diperoleh gambaran melampaui [beyond] baik dan buruk.

Konstruksinya harus minimal 1.000 tahun kebelakang, atau 1.000 tahun kedepan baru disebut berpikir berkeutamaan. Karena IKN itu harus dipahami utuh, menyeluruh, dan terurai dalam sejarah, bergerak dalam sejarah, berreinkarnasi, dan bersambung siklis.  

Pemindahan IKN bukan; dan tidak sama dengan membangun tol, jembatan, bendungan, atau irigasi, tetapi ada marwah melampaui [beyond] sesuai atau tidak sesuai, membutuhkan logika utuh, menyatu [tesis, antithesis, sintesis] sehingga menjadi mental yang bertanggungjawab. Studi [metafisis] saya justru sebaliknya pemindahan IKN adalah tidak memadai, tidak cocok, buruk, dan tidak singkron dengan kajian para manusia pintar dan hebat di Negara ini [mohon maaf];

Malahan justru ada indikasi metafisik dan fisik [logika formal teknis] saling bertentangan dan tidak singkron, perpecahan, gagal rekonsiliasi, dan justru makin menguat. Pada sisi lain kita semua tahu dan paham bahwa IKN berkaitan erat pada tindakan dan proyek uang [membangun IKN], dan uang berkaitan dengan kekuasaan, karena kekuasaan mengandung unsur alokasi anggaran pekerjaaan, beserta otoritasnya. 

Dan kita semua menyadari tidak cukup sulit untuk menemukan OTT KPK, dan UU KPK yang dianggap melemahkan dikaitkan dengan implementasi IKN pada hari kemudian hal ini menjadi ada kecurigaan bahwa system bernegara yang belum kuat, mapan, dan berkinerja;

Tema ke [3] tentang penyelesaian secara permanen, menyeluruh, dan lengkap untuk Papua bagian NKRI tanpa ada satu tetes darah dan air mata. Papua tentu saja dengan segala problem dan dimensinya memerlukan strategi dan multipendekatan untuk menyelesaikannya dengan harapan demi keutuhan budaya Indonesia musyawarah dan mufakat. Mungkin sangat disayangkan jika masalah ini dibiarkan atau hanya diselesaikan secara parsial.

Demikianlah komentar umum yang tidak mengurangi apresiasi pada gagasan kepala Negara kepala pemerintahan yang baru di lantik pada tanggal 20 Oktober 2019, jam 16.10 menit, yang sempat tertunda hampir 90 menit; dan sama seperti hari ini ada penundaan pengumuman kabinet kerja jilid 2.

Mungkin demikianlah budaya Nusantara lebih menyukai pasif, sehingga persoalan apa yang disebut ["Dilay"] adalah hal biasa, dan juga tidak apa-apa. Aku ragu maka aku menunda, sehingga memunculkan kebenaran yang lain. Maka menunda ada unsur kebaikan, dan kelemahannya tergantung apa yang disebut seni memimpin, dan mengelola;

Akhirnya mungkin dalam lapisan ke 12 wahyu batin bapak presiden sama dengan pemahaman saya, ["mudah-mudahan saya salah"]; maka pada akhirnya pidato 20 Oktober 2019  tema IKN menjadi tidak muncul dalam mimpi Indonesia 2045 atau 100 tahun Indonesia merdeka dengan ibu kota baru. Biarlah waktu yang membuktikannya;

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun