Tatanan tipikasi magis mistis  adalah wujud stuktur kesadaran di organisasikan [dirancang] kemudian dikerjakan [kata kerja] pada masyarakat sehingga memunculkan aspek menonjol berupa  credeo [percaya] sebagai suatu solusi yang bersifat niscaya dalam semua siklus kehidupan.
"Partisipasi Kosmis" Â adalah melebarnya ekspansi ego sehingga tidak memiliki ketakutan atau disebut hipertropi melalui pengorbanan persembahan Kaharingan sebagai kepakuman irasional untuk mencari sesuatu layak dikejar. Maka irasional adalah layak diperoleh dimiliki dalam solidaritas karena hidup itu tidak akan sehat jika hanya memakai rasional.
Dengan demikian simpulannya adalah "Partisipasi Kosmis"  wujud energi kolektif sebagai system social masyarakat Dayak Borneo, dan menghasilkan kebebasan yang mematikan. Seperti  metafora manusia pakai kacamata tetapi tidak sadar pakai kacamata, atau bawa kepala tiap hari tetapi tidak sadar punya kepala.
Maka kehadiran "Partisipasi Kosmis"; Â menghasilkan akses pada yang abadi tak berwaktu pada kehidupan, leluhur dalam relasi keintiman. Â Filsafat menyebutnya sebagai manusia, dan non manusia tanpa tembok pembatas dan pada titik inilah kolektivitas solidaritas menjadi menyatu tanpa batasan waktu, melalui basis empiric sejarah Dayak Borneo.
Batas ini dileburkan dalam dialektika pada  fusi antara narasi kata-kata manusia [patrap atah hiyang], dengan kebungkaman menghasilkan sintesis eksitensial manusia yang tidak bisa dijinakkan hasil loyalitas berkerjanya kekuatan non verbal.
Output "Partisipasi Kosmis"  adalah sebuah organisasi  bersifat lembut kedalam, tetapi keras keluar, melalui teks sakral [hiyang] bersifat final mengikat dan siap pakai. Dan yang bertanggungjawab pada akibat adalah wadian Kaharingan, penghulu, dan akhli metafisik yang diberikan bakat oleh alam sejak lahir.
Dengan memahami episteme "Partisipasi Kosmis", Â demo Dayak Borneo adalah akibat kurang atau belumnya didengar oleh Negara sebagai bentuk antithesis atau resistensi kecurigaan hasil isolasi demokrasi untuk mencari perspektif baru. Maka Dayak Borneo sebenarnya tidak punya tradisi disebut demo-demo. Â Tidak ada itu demo dalam sejarah Dayak, tetapi mengapa demo tanggal 29 Agustus 2019 itu dilakukan.
Karena mengalami pembengkakan pada hegemoni demokrasi Indonesia, dimana Idiologi Dayak selama ini belum dilibatkan dalam aspek social politik pemerintahan dan kebudayaan, maka persepsi semacam ini ingin ditampilkan; bahwa Idiologi Dayak bukan sesuatu yang kosong.
Kontestasi dayak depan Istana adalah  menyangkut distribusi risiko dan semacam  bentuk pasar kekerasan atau problem survive. Misalnya bentuk pasar kekerasan demokrasi  [a]  jabatan public negara berhubungan dengan membuat keputuasan; [b] bentuk kekuatan berhubungan upaya paksa; [c] wewenang berhubungan dengan hak untuk dipatuhi; [d] kekerasan adalah menghancurkan objek tunggal [hegemoni]. Akhirnya  Kontestasi dayak depan Istana membuat peluang bagi Negara membuat pilihan apakah menjadi warga Negara sebagai  manusia jinak atau sebaliknya;
Situasi di dunia ini hanyalah kekuatan dan kebrutalan di bagian bawah sadar. Pada sisi lain Negara secara tidak langsung selama 74 tahun telah mendidik kami menjadi mengambil sikap bahwa tidak  ada kebenaran 'dalam dirinya sendiri'; yang ada hanyalah berbagai interpretasi dari berbagai perspektif individu dan kelompok untuk memperoleh kekuasaan, jabatan, dan uang.
Konstelasi esensi dunia bukanlah alasan atau ketertiban, tetapi kehendak buta, kehendak tak sadar untuk berkuasa yang mererabas dalam debu kosmins metafisis.