Saya tidak menyalahkan siapapun, karena mungkin saja ketidakcukupan pemahaman sehingga keputusan memindahkan IKN menjadi gagasan yang menguat dan serius.
Bapak Presiden yang baik itu saya yakin memutuskan dengan rekomendasi dan pertimbangan para ahli yang mungkin melewatkan pengalaman sejarah bangsa secara utuh dalam dimensi yang lain; atau lupa diri.
Makna [4] kehadiran Hiyang Wadian di Istana Negara memerlukan jawaban dalam waktu 49 hari sejak di pentaskan acara tersebut.
Mengapa angka 49 muncul?
Dalam dokrin Wadian sejak upacara (mie_empu), maka 49 hari adalah acara menarik (buhul). Menarik atau buhul adalah cara Wadian Dayak Kaharingan menghitung hari (7x7 hari); berpuasa laku prihatin dengan diikat depan pintu tangga rumah agar selalu ingat: jarak acara ritual dengan penyembuhan atau rekonsiliasi jiwa raga dari semua penyakit, kesalahan, atau kebodohan.
Artinya para penggawa negara sebagai pasien Hiyang Wadian akan mengalami ujian atau siksaan atau rekonsiliasi batin menuju recovery atau pemulihan.
Supaya kongkrit, maka 49 hari kerja sejak 17 Agustus 2019 wujud pemulihan itu adalah mengkaji ulang seluruh wacana dan rencana pemindahan ibu kota IKN dengan teliti dan netral. Jika ini yang dilakukan artinya ibu kota tidak usah pindah, tetapi sembuhkan saja yang sudah ada ini.
Pada 49 hari waktu memutar ulang jiwa raga secara jernih melihat soal penyembuhan Jakarta.
Jakarta banjir, macet, a, b, c, d, kalau itu masalahnya, mari diselesaikan, begitu kira-kira pesan metafisik Wadian Hiyang Dayak yang dipanggil ke Istana.
Atau dengan kata lain, "Kalau Jakarta rusak, ya perbaiki. Tapi ini menjadi alasan pindah?"
Jika pindah ke Borneo maka akibatnya masa depan IKN tidak menjadi solusi. Apalagi era modern, semua berbasis teknologi, tidak perlu boros anggaran Negara, apalagi melibatkan swasta membangun. Nanti terjadi lagi reinkarnasi Stadion Utama Bung Karno yang tanah diambil swasta padahal asalnya milik negara.