Episteme Kesakralan Pada Makam Peneleh Surabaya
Tulisan ini adalah hasil pengamatan secara etnografi pada kesakralan makam-makam di Kota Besar Indonesia. Tersebutlah Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makasar katanya disebut Kota Besar Indonesia.
Tulisan pada Kompasiana kali ini saya memaparkan secara singkat hasil pengamatan dan penelitian etnografi  tentang Kesakralan dan Nilai Profan [The sacral and profane] pada Makam atau Tempat pemakaman umum yang relative unik. Seperti bisanya setiap kota atau dusun yang saya datangin jika teman-teman saya bisanya mencari makanan atau kuliner terkenal; sebaliknya saya berbeda. Perbedaan itu adalah tiap kota desa atau dusun yang saya kunjungin maka saya akan bertanya-tanya atau mencari informasi tentang makam yang unik di kota tersebut.
Pada studi ini dilakukan di Makam Peneleh adalah salah satu makam tertua di Jawa Timur. Makam ini dikenal pula sebagai makam Belanda, makam Kristen, dan Keturunan Tionghoa di Surabaya.  Makam Peneleh dihuni tidak kurang dari sekitar 33 ribu jasad warga Eropa di Jawa Timur khususnya Surabaya. Mereka tidak hanya orang Belanda melainkan dari Jerman, Inggris, Italia, Armenia, Prancis, Belgia, Austria, Swiss, Norwegia dan lainnya. Makam Peneleh  terletak di Jl. Makam Peneleh No.35A, Peneleh, Kec. Genteng, Kota SBY, Jawa Timur 60274.
Tulisan dan penelitian ini menggunakan beberapa aspek kajian pustaka misalnya homo religious, sakral, profane misalnya Emile Durkheim, Wilhelm Schmidt, Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Georges Dumezil, dan  Mircea Eliade.
Sebaliknya, itu berarti bahwa perilaku religius "mengatakan melalui bahasanya sendiri" bahwa dunia adalah sebagai homo religiosus akan melihatnya, apakah peserta kehidupan nyata dalam perilaku religius menyadarinya atau tidak. Â Eliade "cenderung melompati kualifikasi terakhir", menyiratkan masyarakat tradisional benar-benar berpikir seperti homo religiosus.
Pada Tulisan pada Kompasiana kali ini saya meminjam pemikiran Mircea Eliade lahir 9 Maret 1907 dan meninggal 22 April 1986 (berusia 79) sebagai tafsir Kesakralan dan Profane  Pada Makam. Eliade dikenal karena upayanya untuk menemukan paralel yang luas dan lintas budaya dan persatuan dalam agama, terutama dalam mitos.
Eliade dipahami di dalam segitiga eksistensial Tuhan-manusia-alam, segitiga yang diperintah oleh kategori pola dasar sakral dan simbol yang berarti Semua-termasuk Real, penyebab unik dari semua hal melalui sakral dan profan, pada perilaku, membangun dialog antara sains dan agama demi Kebenaran Mutlak.
Mircea Eliade [1907-1986]  menyatakan kematian adalah mengingat pintu masuknya ke ruang tamu bahwa "cahaya warna-warni menakutkan" telah berubah menjadi "istana dongeng", dia  menulis,.....Saya berlatih selama bertahun-tahun untuk menangkap kembali momen epifani itu, dan saya akan selalu menemukan kelimpahan yang sama lagi. Saya akan memasukkannya ke dalam fragmen waktu tanpa durasi anpa awal, tengah, atau akhir.Â
Selama tahun-tahun lyce saya yang terakhir, ketika saya berjuang dengan serangan melankolis yang mendalam, saya kadang-kadang masih berhasil kembali ke lampu hijau keemasan sore itu. [...] Tetapi meskipun kebahagiaan itu sama, sekarang tidak mungkin untuk menanggungnya karena itu memperburuk kesedihan saya terlalu banyak. Pada saat ini saya tahu dunia tempat ruang duduk itu [...] adalah dunia yang hilang selamanya.
Mircea Eliade [1907-1986] Â menyatakan kematian adalah apa yang disebutnya sebagai kembalinya yang kekal. Â kepercayaan tersirat, yang seharusnya ada dalam pemikiran keagamaan secara umum, bahwa perilaku keagamaan adalah tidak hanya tiruan, tetapi juga partisipasi dalam, peristiwa sakral, dan dengan demikian mengembalikan waktu mitis yang asli untuk menunjukkan bagaimana agama muncul dari pengalaman yang suci, dan mitos waktu dan alam.
Lalu apa hasil studi etnografi pada kondisi manusia menempati makam di Makam Peneleh Jl. Makam Peneleh No.35A, Peneleh, Kec. Genteng, Kota SBY, Jawa Timur 60274. Mengapa mereka melakukan aktivitas normal sama dengan tempat lain [bukan makam]. Mengapa mereka betah dan bisa saja menempati lahan makam tersebut sebagai kegiatan harian apapun tanpa ada rasa sungkan, atau takut. Â Jawaban penelitian ini tidak mengambil karena alasan ekonomi, krisis lahan, atau alasan-alasan lain yang umum dalam pandangan masyarakat. Saya menggunakan pandangan yang berbeda dari hal hal semacam itu. Berikut ini adalah hasil wawancara dan studi etnografi yang saya lakukan.
Maksudnya  yang universal: manusia tradisional,  katanya, "selalu percaya bahwa ada realitas absolut, sakral  bersifat niscaya yang melampaui dunia ini tetapi memanifestasikan dirinya di dunia ini, dengan demikian menguduskannya dan menjadikannya nyata". Maka bagi manusia tradisional, peristiwa kematian adalah mengingatkan mereka pada  sejarah menjadi penting dengan meniru peristiwa sakral dan transenden. Maka manusia tradisional selalu akrab dengan kematian; dan kematian adalah hal bisa normal, dan wajib dijalankan dengan menerima secara iklas dan legowo;
Kondisi manusia modern berusaha mencegah menolak kematian dengan obat obatan, dan alat-alat kesehatan, peralatan dan kebudayaan. Penyangkalan dan kondisi  menampilkan "jejak" dari "perilaku mitologis" karena ia sangat membutuhkan waktu sakral dan pengembalian kekal atau disebut  Simbolisme  dan Kegelisahan Manusia Modern" tentang Mitos, Mimpi, dan Misteri.
Dalam kasus kematian mereka, peristiwa sakral tidak terbatas pada zaman purba yang jauh, tetapi terus berlanjut sepanjang sejarah yang menakutkan dan meneroro: "waktu bukan lagi [hanya] berputar dan kekembalian hal yang sama secara abadi; Â menjadi waktu linear dan tidak dapat diubah; yang sakral adalah struktur kesadaran manusia tidak dipercaya karena tidak dapat dibuktikan secara empiris: "belum ada yang muncul kategori dasar sakral sehingga makam wajib ditakuti; akhirnya manusia juga pasti meninggal dunia; muncul dari pengalaman yang suci, dan mitos waktu dan alam.
Ke [4] Manusia tradisional merasa  hal-hal "memperoleh realitas mereka, identitas mereka, hanya sejauh partisipasi mereka dalam realitas transenden". Bagi manusia tradisional, dunia profan "tidak berarti", dan sesuatu muncul dari dunia profan hanya dengan menyesuaikan diri dengan model mitos yang ideal pada kematian umat manusia secara universal. Maka beraktivitas di makam sama dengan tempat lainnya adalah wujud peleburan fuzi horizon manusia dalam ruang dan waktu bahwa kematian adalah bertujuan baik kepada kekembalian hal yang sama secara abadi.
Daftar Pustaka: Myths, Dreams and Mysteries: The Encounter Between Contemporary Faiths and Archaic Realities by Mircea Eliade
Eliade, Mircea, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, trans. Willard R. Trask ... Myths, Dreams and Mysteries, New York: Harper & Row, 1967.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H