Saya ambil satu contoh hasil penelitian saya tentang sejarah Kota bernama Karanganyar Jawa Tengah, berasal Pedukuhan kedatangan di desa ini. Nama Karanganyar oleh penemunya Mangkunagara I, dimana dalam teks sejarah saya menemukan suara [wisik suara tanpa rupa] dalam suasana "kehidupan batin Mangkunagara I, setelah tapa bisu atau "sura untuk ngenepke ati" sampai akhirnya  beliau menemukan kemantapan akan perjanjian baru (Jawa Kuna menyebut baru : "anyar")  setelah memperoleh wahyu Keraton dalam wujud burung derkuku.
Maka wajar dalam ilmu  prosesnya menggunakan apa yang disebut Wilhelm Dilthey (1833-1911) sebagai [Geisteswissenschaften], artinya semua ilmu social dan kemanusian, semua ilmu yang menginterprestasikan ekspresi-ekspresi atau suasana "kehidupan batin manusia" baik dalam bentuk ekspresi (afeksi), perilaku historis, kodifikasi hukum, karya seni atau sastra [semacam macopat Jawa Kuna] atau saya sebut sebagai proses ["innenleben"] atau penghayatan batin.
Maka proses membuat kampung, memindahkan kampung atau pedukuhan, Negoro, Panewu yang dipakai dalam pengalaman di Indonesia berdasarkan riset saya adalah bukan alasan ilmiah rasional semata-mata [Naturwissenschaften] tetapi paling utama melalui proses  [Geisteswissenschaften].
[Geisteswissenschaften], atau suara dan suasana "kehidupan batin manusia" Â adalah wujud displin illmu interprestasi symbol symbol melalui [sembah roso] dengan rigoritas validitas, dan ekspresi kehidupan batin manusia khususnya pemimpin yang memiliki tujuan pembuatan atau pemindahan Kota atau Kampung.
Barangkali para punggawa Negara perlu memahami dan mempertimbangkan aspek apa yang dikatakan dalam literature [Geisteswissenschaften], khususnya tentang Indonesia dilakukan oleh Clifford Geertz (a) tahun 1960, The Religion of Java, (b) 1963 Agricultural Involution a macro-economic examination of Indonesia's economic problems, (c) 1965 The Social History of an Indonesian Town. Atau jika ke Kalimantan rencana ibu kota NKRI dipindahkan  maka memerlukan kajian literature pada penelitian dan tulisan A.B. Hudson yang paling terkenal itu.
Tema pokok pada tulisan ini saya sampai bagimana episteme proses membuat kampung, memindahkan kampung atau pedukuhan, Negoro, Panewu yang dipakai dalam pengalaman di Indonesia berdasarkan riset saya adalah bukan alasan ilmiah rasional semata-mata [Naturwissenschaften] tetapi paling utama melalui proses  [Geisteswissenschaften].
Saya meminjam teks Jawa Kuna atau (Jawa) Sinom pada narasi ["Sabdo Palon, Noyo Gonggong"]. Bahwa metafora ["Sabdo Palon, Noyo Gonggong"] wujud sebagai bentuk apa yang disebut modern  Good Governance wujud sistem  pemerintahan dengan mengutamakan asas kejujuran, transparansi, akuntabilitas,  sampai kepada  nilai kebenaran alam semesta guna mendampingi seorang pemimpin; dalam upaya  perpindahan ibu kota baru NKRI  ke wilayah baru sesuai diskursus yang dihadirkan oleh Pak Presiden Jokowi.
Teks ini saya ambil sebagai ringkasan pada buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya bernama Sabda Palon Naya Genggong atau ["Sabdo Palon, Noyo Gonggong"].
Inti pada gagasan metafora ["Sabdo Palon, Noyo Gonggong"] bahwa Presiden atau  Punggawa Negara setidaknya memiliki dua manusia direpresentasukan pada [1] gagasan ["Sabdo Palon"] memiliki tugas guna memberikan pertimbangan sebelum raja [presiden] mengambil tindakan, [2] sedangkan Noyo Gonggong"]  adalah bertugas  dalam memberikan teguran [early warning] apabila raja [presiden]  melakukan kekeliruan dalam berperilaku. Prasyarat yang disebut manusia ["Sabdo Palon, Noyo Gonggong diambil dari abdi dalam [pembantu raja presiden] yang buta huruf tidak bisa baca tulis, tetapi  tetapi mempunyai pemahaman batin yang mendalam atas tugasnya sebagai pertimbangan raja atau presiden.Â
Mengapa prasyaratnya demikian. Dalam literatur metafisik yang saya pahami bahwa dengan buta huruf tidak bisa baca tulis [menghilangkan unsur logika], dan memperkecil pengaruh modernitas kembali kepada originalitas budaya nusantara secara asli.
Implikasi lain adalah dengan keluguan, kepolosan, apa adanya, kejujuran, tanpa pamrih apapun [mirip mbah alm Marijan Penjaga Gunung Merapi] dipastikan berani menegur memberikan nasehat raja atau presiden yang membawa kepada kebenaran tanpa kepentingan apapun. Akhirnya unsur tertiggi dari dua abdi  ["Sabdo Palon, Noyo Gonggong"]  adalah kejujuran, keluguan dan pemahaman yang mendalam atas restu kebenaran alam semesta [makrokosmos] disatukan dengan mikrokosmos pada pada saat itulah status keputusan iya atau tidak pada kasus perpindahan Ibu Kota NKRI dapat diperoleh dan mungkin menjadi [pener] bukan hanya [bener].