Kajian Filsafat: Mei Day Keabadian Penderitan Umat Manusia [2]
Secara fenomenologi apa yang ada pada Klendarium bahwa ada dua warna tanggalan. Tanggal Berwarna Hitam, dan tanggal berwarna merah. Hitam adalah symbol hari hari kerja atau hari-hari keluar cucuran keringat penderitaan; dan sedangkan warna merah menunjukkan hari libur. Dua warna ini menghasilkan senin sampai minggu terus berputar menjadi waktu dalam keabadian. Dua prespektif warna tanggal ini artinya hari penderitaan lebih banyak daripada hari istirahat atau kebahagian. Simbol Kekalan Penderitan Umat Manusia
 An Sich tersebutlah dalam narasi bernada kutukan kepada umat manusia: [Hasil keringatmu itulah engkau kelak mendapatkan rezekimu, sehingga sampai waktunya  engkau kembali menjadi tanah, kerana dari tanahlah engkau diambil. Oleh sebab asalmu debu, maka engkau kelak kembali menjadi debu"]. Maka seharusnya mekanisme atau supestruktur kesadaran idiologi harus mengubah narasi kutukan dan penderitaan itu menjadi berkat yang berlimpah, atau menciptakan kebahagiaan umat manusia.
Tetapi mengapa kondisi Pak Anton Boediman, dan mungkin jutaan umat manusia lainnya di Indonesia sampai hari ini nasibnya tidak berubah [teraliensi], dalam artian hanya bahagia 1 hari dalam 1 bulan masuk dalam struktur [instrumentalisasi] manusia; dimana dia hanya memiliki satu alat produksi yang tidak penting kerena dapat disubstitusikan dengan mesin, Dan jikapun masih ada maka Pak Anton dkk hanya memiliki tenaga kerja diberikan kepada orang lain [perusahaan pemilik modal] dan uniknya  hasil kerjanya bukan miliknya. Pak Pak Anton Boediman, dan mungkin jutaan umat manusia lainnya hanya memiliki "tenaga kerja" dianggap kurang  bernilai.
Maka Pak Anton Boediman, dan mungkin jutaan umat manusia lainnya hanya bisa menawarkan "tenaga kerja" atau bekerja sama orang lain. Uniknya hasil kerja Pak Anton Boediman, dan mungkin jutaan umat manusia lainnya  [buruh]  bukan menjadi miliknya. Artinya Hasil kerjanya di transfer menjadi milik orang lain atau diserahkan kepada orang lain yakni pemilik modal atau pengusaha. Yang dinamakan oleh Karl Heinreich Marx sebagai tindakan manusia berhala.
Untuk membuktikan kondisi ini saya memberikan contoh sederhana bagimana nasib  pekerja/buruh/budak/kuli sepanjang hidupnya mengalami nasib teralienasi menyerahkan hasil kerjanya kepada orang lain. Maka sesungguhnya hari  Mei Day sebagai peringatan hari Keabadian Penderitan Manusia.Â
Kita lihat pada laporan keuangan perusahaan, ada enam unsur penting yakni [a] harta atau assets adalah milik pemilik modal; [b] utang adalah milik pemilik modal kreditur; [c] modal saham adalah hak milik pemilik modal atau investor; [d] pendapatan penjualan adalah hak milik pemilik modal [principles], [e] beban biaya boleh dilakukan atas persetujuan otoritas pemilik, [f] laba [keuntungan] dipastikan juga sebagai hak milik pemilik modal.
Maka enam unsur penting pada perusahaan sesungguhnya tidak ada satupun sebagai hak milik pegawai/ pekerja/ buruh/ budak/ kuli. Semua adalah hak milik yang punya. Pegawai/ pekerja/ buruh /budak /kuli hanya memiliki tenaga kerja diberikan kepada orang lain dan hasil kerjanya bukan miliknya.
Dengan demikian maka problem Mei Day adalah problem Superstruktur Kesadaran Manusia atau saya sebut sebagai "Idiologi" yang didogmakan. Â Idiologi Kapitalisme vs Idiologi Sosialisme.
Maka persoalan utama pada Kajian Filsafat: Mei Day Keabadian Penderitan Umat Manusia [2] ini menyangkut ["Hak Kepemilikan"] sebagai sumber awal [ontology] munculnya penderitaan dan ketidakadilan.
Lalu dimana problem awal hal ini muncul, dan bisa terjadi. Jawaban yang mungkin adalah kita kembali kepada pendasaran rasio instrumental Max Weber dalam menciptakan perjalanan manusia apa yang disebut sejarah peradaban manusia dimana kemampuan Rasio (akal budi, kesadaran, cogito) dianggap mampu menyelesaikan masalah umat manusia.
Selanjutnya proses rasionalisasi kemudian dimengerti sebagai upaya menuju pemikiran teknis yang ketat atau, "Tindakan Instrumental" pada gagasan Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Adorno (1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979 sebagi kritik pada budaya industri [perusahaan] mewujudkan pada "Rasio Teknokrat".Â
Menurut Jurgen Habermas, penerus pemikiran Frankfurt school berpendapat sebenarnya kita telah salah mengartikan arti dari Rasio, baginya Rasio telah direduksi hanya semata-mata kegiatan yang bersifat teknis-instrumental, mengeringkan nilai-nilai dunia demi menjadikan manusia sebagai sarana belaka.
Rasio yang digunakan didominasi [pemilik modal dan kuat] Â atau mewujudkan dalam satu bentuk rasio tunggal sebagai idiologi, yaitu rasio instrumental. Maka semua mekanisme psikologi sampai cara bahasa yang digunakan oleh rasio instrumental tersebut mengintervensi bahasa komunikasi praktis sehari-hari sampai hari ini menjadi [dogma] atau masuknya pemahaman ekonomi-kapitalis pada pola hidup sehari-hari), kemampuan emansipasi dalam rasio social-moral pemutlakan bahasa teknis menjadi salah atau kurang tepat bagi bahasa komunikasi bersifat intersubyektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H