Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Metafora: [Kuman di Seberang Lautan Tampak, Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak]

28 April 2019   18:56 Diperbarui: 1 Juli 2021   07:09 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat  Jawa Kuna atau Indonesia Lama [Mataram] menyebutnya perilaku Metafora [Kuman Di Seberang Lautan Tampak;  Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak] sama dengan manusia memasuki zaman edan. Orang tidak edan [waras] adalah manusia yang selalu [eling] atau ingat. Maka Dokrin Moral  Jawa  Kuna memiliki ketelitiannya dalam semua tindakan (tidak ceroboh, hati-hati), atau "Alon-alon waton kelakon" artinya: perlahan tetapi pasti atau tidak terburu-buru dalam bertindak (daya kematangan repleksi). Atau pada dokrin etika Jawa Kuna pada kata "eling lan waspodo", atau "Ojo dumeh". Sebuah kata etika mendalam untuk repleksi diri, bahwa hidup yang dihayati berbeda dengan hidup yang dipikirkan.

Filsafat Moral Jawa Kuna menyebutnya perilaku Metafora [Kuman Di Seberang Lautan Tampak;  Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak] wujud hidup adalah penghayatan, dan pengalaman pada apapun, kemudian mengambi sikap senantiasa ada "eling (ingat)". Ingat mati, ingat orang tua, ingat doamu, ingat puasa, ingat agama, ingat usia, ingat tugas, ingat waktu, ingat sejarah, ingat memaksa kehendak, ingat susah, ingat senang, ingat sakit, ingat sehat, ingat ilmu, dan seterusnya. Dengan modal ingat maka tidak mungkin manusia bersikap "dumeh" (sombong, atau angkuh, menyalahgunakan) atau sering mencari kesalahan orang lain.

Dengan metafora [Kuman Di Seberang Lautan Tampak;  Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak] menghasilkan perilaku atau mengubah ketidaksadaran teori Sigmund Freud, dan Carl Gustav Jung wujud kesadaran  dan keseimbangan sikap mental pada filsafat Moral   Jawa Kuna pada "Wedi, Isin" artinya "Takut, {"Tahu Malu"}. Takut pada Tuhan, takut hukum karma, takut salah jalan, takut dalam artian seluas-luasnya untuk mawas diri. Jangan menjadi manusia membuat malu, dan memalukan. Maka ini penting supaya hidup bahagia atau disebut "keselarasan dalam hidup".

Metafora [Kuman Di Seberang Lautan Tampak;  Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak] maka  akhirnya saya  harus meminjam filsafat Thuth and Method oleh  Hans Georg Gadamer pada konsep "Bildung" atau hidup manusia proses belajar sehingga menjadi terbentuk menjadi terpelajar/terdidik, mental bertanggungjawab, manusia tidak picik, angkuh, merasa benar sendiri,  mau belajar banyak mendengar manusia lain, saling menghormati, menerima perbedaan, sebagai hasil pengalaman kehidupan yang dihayati atau dibatinkan.

Metafora [Kuman Di Seberang Lautan Tampak;  Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak]  lebih mantap lagi pengertiannya  jika saya meminjam pada Filsuf Yunani Kuna pada gagasan "Herakleitos dari Efesus menyatakan "segala sesuatu berubah, tidak ada yang tetap, satu-satunya yang tetap adalah perubahan itu sendiri". 

Baca juga: Kajian Semantik: Makna Metafora Lirik Lagu "Tikus-tikus Kantor" oleh Iwan Fals

Istilah ["panta rhei kai uden menei"]  berarti, "semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap. Begitu juga watak sifat dan sikap manusia, apapun penilaian bisa berubah, waktu berubah maka semuanya berubah, tidak ada yang abadi. Maka apapun penyimpulan tentang menghakimi orang lain jelek, dan diri sendiri lebih baik adalah keliru dan tidak tepat. Biarlah waktu yang akan membuktikannya, tidak usah repot-repot mencari tahu kesalahan orang lain. 

Semua [Ada dalam waktu atau Heidegger menyebut “Being and Time”. Kita tidak mungkin menyentuh air yang sama ketika mencuci handuk di kali Ciliwung. Air disungai Ciliwung terus mengalir dan berubah, dan keabadian ada dalam perubahan itu sendiri atau siklus kemenjadian. Memahami orang lain tidak pernah bisa menjadi atau membuat definisi final atau "ide fixed".

Demikian juga ketika kita memahami segala sesuatu. Alam ini bercampur baur [baik buruk, atau 4 anasir]  lalu datanglah logos atau fakultas akal budi maka terciptalah keteraturan, inilah ilmu yang ingin manusia definisikan. Sampai hari ini kebenaran finalitas itu tidak ada, dan manusia terus mencarinya dengan berbagai metode dan model. Manusia masih merupakan sebuah misteri yang tidak dapat didefenisikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun