Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Metafora: [Kuman di Seberang Lautan Tampak, Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak]

28 April 2019   18:56 Diperbarui: 1 Juli 2021   07:09 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Metafora: [ Kuman Di Seberang Lautan Tampak;  Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak]

Kata-kata pada judul ini  mengingatkan pada ilmu gagasan Sigmund Freud adalah seorang Austria keturunan Yahudi dan pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar, prasadar, dan tak-sadar.  Hal yang sama dikemukan oleh pakar psikologi Deskripsi Carl Gustav Jung tentang teori ketidaksadaran kolektif atau Collective unconscious (German: kollektives Unbewusstes).  

Jung ketidaksadaran kolektif memiliki pengaruh besar pada kehidupan individu, yang menghayati simbol-simbolnya dan memberi makna pada mereka melalui pengalaman-pengalaman tindakan ucapan, dan sisa sisa pengalaman manusia primitive atau manusia purba atau sifat sifat binatang [anima].

Dan mungkin kata kata [Kuman Di Seberang Lautan Tampak Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak]  adalah bentuk ketidaksadaran umat menusia. Misalnya manusia lebih suka mencari kesalahan dan kelemahan orang lain, lupa jika dirinya atau umat manusia semua adalah berdosa, dan suka bertindak tidak disadari atau bahkan semua mulut manusia itu bau  dan diperut masih ada kotoran.

Baca juga: Apa Itu "Metafora"

Kuman Di Seberang Lautan Tampak Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak, mengikatkan apa yang terjadi dalam kisah Nabi Isa [kata teman saya sebagai Guru Agama] pada teks  [Yoh 8:2-11] kisah narasi tentang wanita/ manusia berbuat salah kedapatan berbuat salah/zinah. Nabi Isa berkata : “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan berzinah berbohing berdosa itu.”. Kata kata ini mungkin absud tetapi nilai moral yang tinggi bahwa Nabi Isa untuk  mengingatkan pepatah tentang keprihatinan universal bahwa sebenarnya tidak usah mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggap diri sendiri lebih baik.  

Maka wajar jika kemudian filsafat moral atau etika menyatakan, manusia tidak bisa menilai orang lain apakah sejatinya seorang manusia benar atau salah. Sebab yang paling tahu benar salah adalah dirinya sendiri [‘suara hati’] dan Tuhan. Orang lain tidak mungkin paham, maka musuh paling besar itu adalah memahami diri sendiri.

Kalaupun ide benar salah itu ada atau dengan mudah menyimpulkan sesuatu tentang menyangkut orang lain filsuf Friedrich Wilhelm Nietzsche, adalah wujud pembekuan atau ide fixed ini dimaksudkan supaya manusia tenang, sekaligus bentuk kekerasan atau kekejamaman pada umat manusia. Sebenarnya sikap manusia dalam metafora [Kuman Di Seberang Lautan Tampak;  Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak] adalah representasi sebagai will to power (kehendak untuk berkuasa) dengan cara dan bentuk apapun. 

Atau kehendak ingin menguasai orang lain dengan menyebut sebagai dirinya lebih baik dari orang lain. Atau buanglah yang jelek  dan percayakan kepada saya lebih baik dari orang lain. Suatu sikap angkuh atau pongah menganggap dirinya lebih baik, lebih agung, lebih pantas dengan keyakinan dialah yang terbaik [lebih sedikit dosa, orang lain lebih berdosa];

Metafora [Kuman Di Seberang Lautan Tampak;  Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak] adalah sikap yang harusnya dipahami lebih luas lebih dalam lagi [beyond evil and good], bahwa apa yang dikatakan oleh Martin Heidegger bahwa kebenaran itu keras kepala dan paling sulit ditemukan. Maka Heidegger menyatakan kebenaran itu adalah tersembunyi dan selalu ada dalam ketersembunyiannya ("Aletheia"). Maka secara ontology Metafora [Kuman Di Seberang Lautan Tampak;  Gajah di Pelupuk Mata Tidak Tampak] mengajak umat manusia untuk lebih mawas diri pada diri sendiri sebelum mengurusi urusan orang lain.

Baca juga: Memaknai "Panji Hitam" Sebagai Ungkapan Metafora

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun