Jika pada masa Mpu Sindok berkuasa dan memerintah dengan arif bijaksana. Mpu Sindok banyak membangun bendungan dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu pula pada masa pemerintahan Airlangga, Â memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir.
Sementara itu dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya sastra yang terkenal, yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab Arjuna Wiwaha. Begitu pula seni wayang berkembang dengan baik, pada  karya sastra Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya Jawa Kuna.
Jika di Kalimantan maka ada kitab Pitutur  Kaharingan; Wadian Pangunraun, dan teks  dalam banyak hal disebutkan relasi antara Tanah, dan Air, Hewan, Tumbuhan, dan Manusia. Kondisi episteme berdasarkan riset saya tidak jauh berbeda dengan kondisi artefak Kebudayaan yang ada pada Candi Sukuh di Jawa Tengah.
Pada tulisan ini saya memakai  Dokrin "Padien". Kata ini berasal pada makna "pantangan" atau "larangan".  Agar manusia hidup dengan baik dan bahagia maka ada tatanan yang disebutkan sebagai  kata "Padien".  Dalam makna lebih dalam adalah upaya penyangkalan diri untuk tidak mengikuti hasrat belaka, atau keserahakan.
Makna lain  "Padien" adalah kesadaran moral [tindakan] supaya hidup manusia selaras, dengan tanah, air, hewan dan tubuhan.  Wangsa Tanah dan Wangsa Air adalah dua wangsa asal manusia pertama pada teme kosmogoni, dan teogoni Dayak. Mereka lebih purba dibandingkan manusia. Dua wangsa tanah, dan air menghasilkan apa yang disebut gunung (metafora puncak asal manusia pada keluhuran martabat], dan tanah sebesar ukuran kaki manusia [tene tipak sulau]. Selebihnya tidak bisa dimiliki dan dikuasai, oleh manusia atau dilarang menguasai tanah dan air Dayak Kalimantan jika melebihi ukuran tersebut.
Dan konsekwensi pada Dokrin "Padien", kemudian menghasilkan bahwa penguasaan wangsa tanah, dan wangsa air hanya dapat dibenarkan dan dikuasai sebesar  ukuran kaki manusia [tene tipak sulau] dan pada posisi itulah sebenarnya hak milik [property] yang dinyatakan etis dalam cara padang suku Dayak Manyaan Kalimantan.  Itulah episteme etis pada gagasan Filsafat Dayak Pada Kepemillikan Tanah, dan Air di Kalimantan. Dan persis seperti itulah maka di dalam artefak Kebudayaan Kalimantan Dayak  khususnya pada Kerajaan Nansarunai masih ada sampai sekarang disebut "Candi Laras" di Kalimantan Selatan.
Kata Candi artinya candika bermakna Candi" diduga berasal dari kata "Candika" yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian. Maka siapa saya yang menguasai Tanah, dan Air di Kalimantan kemudian memperkaya diri sendiri akan mengalami kehancuran kematian kegagalan dalam kehidupan dunia [dapat disadari], dan kehidupan kumpung Datu Tunyung [sorga]. Â
Hanya dengan pengusaaan Tanah, dan Air yang membatasi diri pada hasrat kekayaan pribadi; tetapi harusnya berbagi dengan tumbuhan, hewan, menjaga ekosistem; maka munculah keselarasan [Laras]. Nama Laras memiliki arti, definisi, maksud atau makna harmoni, mempesona, lurus, meresap, nyanyian merdu, seimbang, harmonis. Atau lebih diadaptasi dengan etika lingkungan modern versi kearifan local.
Maka kearifan local khususnya teks Wadian Dayak Kaharingan tentang sifat kepemilikan Tanah, dan Air bisa disejajarkan dengan transformasi pada gagasan Gagasan SEC, dan DEC. Filsuf Norwegia Arne Dekke Eide Naess (1912-2009). Pada teks buku Naess (The Ethics of Environmental Concern, Oxford, 1983, 2-3), membedakan dua macam kepedulian manusia saat ini atas lingkungan, yakni: (1) Kepedulian atas Lingkungan Yang Dangkal atau (Shallow Ecology Care atau SEC); dan (2) Kepedulian Yang Mendalam Pada Lingkungan atau (Deep Ecology Care atau DEC).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H