Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Philosophy of Kaharingan Dayak [3]

30 Januari 2019   11:40 Diperbarui: 30 Januari 2019   11:53 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Daya huan uwung uweng kawan mantir ngurai hukum, ngahu anuh na'an maharaja merang hadat. Daya huan unre balai pidudusan, ngahu irunrean jaru tapung jangka. Pidudusan mantir ngurai hukum, tapung jangka patis merang hadat, hukum hadat ma kananeo welum, atur turan ma kalalawah jari".

Terjemahan (konteks bukan hanya teks):  "Allah mula Allah adalah yang Maha Kuasa, Maha Serba Bisa, Maha tahu, Maha sakti, Maha adil, Maha Pemurah, Maha Agung. Hal ini identik dengan Allah Maha Esa, Allah Munta Murunsia adalah Dia mencipta manusia. 

Manusia  pertama menurut ceritera budaya Dayak Ma'anyan ialah Datu Mula Munta, Maharaja Mula Ulun, manusia yang kedua kisah ini, adalah adiknya  bernama Datu Mula Munta, diberi nama Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun. 

Cuma menurut kisahnya ini berlainan jenis kelamin, dan manusia kedua ini terdapat dua buah gunung kecil di dadanya disebut dalam bahasa Janyawai yaitu Gunung Madu Rahu Watu Papat Lamura. Yang mengeluarkan tetesan air dari puncaknya.         

Dari dua buah puncak gunung tersebut menetes 7 (tujuh) tetes air ke bumi tempat manusia berdua ini berada atau ke tanah sekeliling kaki mereka berdua. Bumi (tanah) disebut waktu itu hanya sebesar telapak kaki mereka berdua berada, yakni Tane Tipak Sulau. 

Pada peristiwa waktu itu dalam kisah Janyawai ini terjadi  kabut atau gelap gulita dan mereka bernapas dari letusan gumpalan angin pertama yang membentur dua buah gunung kecil tadi, terhimpun dari mata air dipuncak kedua gunung itu. 

Adapun tetesan air yang ketujuh tadi menurut ceritera Janyawai ini berubah menjadi: (1)  tetesan pertama tumbuh menjadi pohon yang buah dan daunnya biasa dipergunakan untuk membangun (menghidupkan orang yang mati) disebut kayu saramelum, (2) Tetesan yang kedua tumbuh menjadi berbagai jenis padi dan kekayaan padi berlimpah ruah, (3) Tetesan ketiga menjadi minyak dan kapas untuk dipergunakan penyembuhan kepada orang sakit yang dipakai oleh Wadian, (4) Tetesan yang ke empat hidup jadi roh dalam diri manusia atau dalam diri mereka berdua, (5)  Tetesan yang kelima menjadi malaikat pelindung yang biasa membantu dan melindungi manusia dari bahaya dan gangguan apa pun, (6) Tetesan yang keenam menjadi Dawa Dewi yang biasa membantu para Wadian, Mantir Adat dalam menjalankan tugas-tugasnya dengan baik dan benar, (7) tetesan yang ketujuh menjadi kampung  tempat Roh orang yang sudah mati (sorga) atau di sebut Tumpuk Tunjung Panu, Guha Mari Dandrahulu. Jadi setelah manusia pertama ini mati, dialah yang pertama menempati kampung tersebut. Namanya adalah Datu Tunjung Panu Maharaja Dandrahulu. Demikian riwayat kejadian tetesan air dari puncak gunung kecil tadi.

Adapun riwayat kegelapan dan kekabutan alam masa itu, manusia berdua tadi seolah-olah tertidur nyenyak tanpa bergerak apa-apa, namun tiba-tiba datang cahaya matahari membelah kegelapan dan kekabutan tersebut yang disebut bahasa Janyawai Batung Nyi'ai Hawi Teka Ruyu, Telang Suluh Jaku Talinguan. 

Maka terbangunlah kedua manusia tadi dan saling berpandangan satu sama lain, maka timbul saling menyayangi di antara mereka, maka berpelukanlah mereka berdua langsung bersetubuh, dari hasil persetubuhan mereka berdua tadi menetes air dari alat kelamin atau kemaluan manusia pertama (laki-laki) tadi ke tanah bumi sehingga menjadi: (1) tumbuh jadi kayu-kayuan, rumput-rumputan, (2) menetes lagi keduakalinya air kemaluan ke bumi, hidup menjadi berbagai burung dan semua makhluk hidup lain memenuhi alam purba itu, berbagai jenis binatang di bumi dan berbagai jenis burung di udara, maka berkumpulah mereka bersama di alam purba itu satu bumi, satu alam, satu bangsa. 

Bahasa yang dipakai bersama sebagai satu bahasa yaitu bahasa purba (Bahasa Nahu) yang artinya saling mengerti, namum belum mempunyai adat istiadat belum ada akhli hukum adat Mantir,  Wadian Welum Wadian Matei, kepala suku yang menjadi pemimpin adat agar terjadi kehidupan yang baik. Karena belum ada pengaturan dari Allah mula Allah (yang mencipta tadi). 

Maka alam purba tempat berkumpul tersebut dalam bahasa Janyawai Suku Dayak Ma'anyan disebut  "Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai". (dunia masih kacau balau tak ada Mantir hukum adat, Wadian, atau pemimpin sehingga  tak ada keadilan dan lain-lain yang mengatur dalam rangka mewujudkan tata kelola  kehidupan mereka yang baik antara hak dan kewajiban).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun