Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Riset Filsafat Ilmu [1]

27 Januari 2019   14:56 Diperbarui: 29 April 2019   00:58 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Riset Filsafat Ilmu: Kerangka Pemikiran, Premis, dan Hipotesis  {1}

Untuk menguji Riset Filsafat Ilmu: Kerangka Pemikiran, Premis, dan Hipotesis  ini secara deduksi (secara logik) dan melakukan pengujian secara induksi (empirik) fenomena mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), dengan proxy variabel kecerdasan emosional, kepuasan kerja. Penelitian Pengaruh tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), dengan proxy variabel kecerdasan emosional, kepuasan kerja adalah penelitian Apollo Daito, dan Pia Oliang  (2013) pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.

Kerangka Pemikiran., Menurut Apollo Daito (2007: 20) kerangka pemikiran adalah menjawab secara rasional masalah yang telah disusun dan diidentifikasikan (mengapa fenomena tersebut terjadi) itu dengan mengalirkan jalan pemikiran dari pangkal pikir (premis) berdasarkan patokan (postulat/asumsi/aksioma) sampai pada pemikiran (hasil berpikir/ deduksi/hipotesis) menurut kerangka logis (logical construct). Kerangka berpikir itu adalah kerangka logika sebagaimana digunakan  dalam berpikir deduktif, yang menggunakan silogisme (sylogism).

Berikut ini akan dijelaskan secara berturut-turut kerangka pemikiran, permis, dan hipotesis sesuai dengan judul penelitian "pengaruh kecerdasan emosional dan kepuasan kerja, terhadap tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) baik secara parsial maupun secara simultan".

Pada penjelasan awal akan dikemukan pendekatan perilaku manusia ekonomi (humanistic economics), dan krisis global oleh Lutz dan Lux (1979) dalam 'the challenge of humanistic economics', bapak ilmu ekonomi oleh Adam Smith menjelaskan perjalanan kebangkitan manusia di mulai dari self interest, dicek oleh competition namun tetap di bawah pengayoman Tuhan (providence) sebagai invisible hand. Landasan ekonomi pertama adalah tenaga kerja dikembangkan oleh Ricardo, dan pada abad 19 muncul ekonomi modern ditangan Jevons bersifat serakahisasi yang dilucuti oleh positivisme, Edgeworth (matematisasi), dan Marshall (terkikisnya moral dari ilmu ekonomi). Jevons yang meletakan dasar-dasar keserakahan utilitarianisme (hedonisme), pernyataan invisible hand bukan (Providence) tetapi hukum alam semata, lalu muncul homo economicus yang dikatakan manusia normal dan rasional adalah manusia serakah (homo homini lupus), dan memaksimalkan keuntungan ekonomi  (=puncak keserakahan manusia) apalagi kalau bukan melakukan di luar tanggung jawab moral. Demikian juga John Stuart Mill (=hukum ulitilitarian) menyatakan manusia itu memaksimalkan rasa enak dan meminimalkan rasa sakit (tidak enak).  Problem ekonomi adalah problem maksimalisasi, yang dituangkan dalam bentuk model ekonomi-matematik-statistik (ekonomterika) yang menjelaskan hubungan/ pengaruh sebab akibat. Akhirnya ditangan Marshall ekonomi modern mencapai puncaknya dalam hal ini (=100% hedonisme)...'the good ethic (moral) is resistence to pleasure', atau moral adalah penghalang maksimalisasi ekonomi, 'variety is the spice of life' menunjukkan kebutuhan orang tidak ada batasnya (pelampiasan hawa nafsu). Artinya rasionalitas tak lain adalah (1) 'to make hedoism morrally acceptable'; (2) you can either serve God or Mammon, but it can not be both; bandingkan dengan pernyataan 'lebih mudah seekor unta masuk lubang jarum, daripada seorang kaya masuk dalam kerajaan Tuhan'. Seseorang dikatakan maju apabila berhasil menguasai faktor-faktor produksi barang atau jasa untuk penciptaan nilai uang (laba). Agar bisa adil dicek dengan kompetisi, akan muncul ekonomi pasar bebas, bersifat netral dan etis netral (Weber).

            Landasan ekonomi modern adalah wants (kebutuhan manusia tak terbatas), bukan needs (yang mengenal kecukupan), prinsip kelangkaan, pengejaran kesenangan pribadi, dan selalu meningkat motivasinya (=teori motivasi Maslow), pada kebutuhan material, keamanan, sosial, penghargaan, sampai aktualiasai diri. Sekali lagi ini menunjukkan maksimalisasi nilai, sehingga orang melakukan pelanggaran apa saja yang dilarang oleh agama. Eric Fromm (1941) pangkal keruwetannya adalah 'freedom'. Menurut saya hal ini terjadi sikap yang menyebelah tanpa menjaga keseimbangan (=tanpa adanya penyatuan manusia, alam, dan Tuhan), berdampak pada konflik lahir dan batin yaitu pertarungan antar manusia untuk memaksimalkan nilai ekonomi, tanpa submissiveness. Ungkapan batin menjadi perasaan "(self interest) vs God's interest" berakibat pada: tidak aman (insecurity), kesepian (aloneness), kecemasan (anxiety), terombang ambing (uprootedness), kecurigaan (doubt), takut rugi (losses), menjadi 'lust for power' (=keinginan untuk terus berkuasa dan menikmati keuntungan terus menerus), sampai menuju ke arah tirani Hitler, Mussilini, Stalin. Demikian pula perbuatan manusia menundukkan alam (untuk memaksimalkan kenikmatan) bahkan terjadi pemerkosaan alam. Alam yang tidak punya kemauan, juga membalas dengan kekuatannya dengan memberikan bencana dan malapetaka. Yang jelas di abad ini kita merasakan krisis global secara menyeluruh.

Kerangka pemikiran ini dikaitkan dengan melakukan refleksi moral atas perilaku atau tindakan manusia dalam bisnis (=etika bisnis), sebagai akibat memaksimalkan kenikmatan (=hedonisme). Etika (=budi) selalu menyangkut kebaikan manusia sebagai manusia. Setiap manusia selalu ingin berupaya untuk menjadi orang baik dalam segala dimensinya, termasuk dalam bisnis. Manusia memerlukan budi (= suara hati) agar hidupnya lestari (= luhur). Etika diperlukan manusia agar hidupnya teratur, bermutu, dan bermakna. Pada tatanan ini globalisasi menempatkan nilai aksiologi.

Demikianlah pergeseran pemadatan ruang dan waktu menjadi nol (ontologis= gejala globalisasi) tidak hanya menyentuh hal tersebut tetapi juga aspek epistimologis (pola pikir) artinya globalisasi bukan hanya merupakan keterikatan integral antara berbagai tindakan manusia, melainkan sebagai perlu kajian secara sangat teliti dalam memandang berbagai persoalan, terutama pada pusaran bisnis global. Dengan kata lain seluruh dunia menjadi unit tindakan dan pemikiran manusia. Akhirnya yang paling penting adalah aspek aksilogi yakni menyangkut kebaikan manusia sebagai manusia dalam penjewantahan kegunaan ilmu (= sains), sebagai penciri persatuan alam, manusia, dan Tuhan.

 Background Theory (teori latar belakang), sebagai ide awal pada penelitian ini menggunakan teori John Stuart Mill (1806-1873), Teori Utilitarian dengan prinsip memaksimalkan rasa enak (bernilai) dan meminimalkan rasa sakit (tidak enak). Dasar pemikiran ini merupakan pangkal penelitian dan kajian dalam bidang ilmu ekonomi. Selanjutnya pendapat ini dikritik Bentham sebagai etika Babi. Betham mengusulkan etika dengan proposisi baru "the greatest happiness for the great number" (= kebahagiaan yang besar mungkin bagi jumlah yang terbesar mungkin) yang dijelaskan dalam dua tahapan nikmat (pleasure) dan perasaan sakit (pain). Manusia rasional selalu memiliki kecenderungan memaksimalkan rasa nikmat (laba) dan meminimalkan rasa sakit (= kerugiaan atau biaya).

Dalam bidang ilmu ekonomi, pemikiran positivisme menunjang kebahagian diri sendiri atau kebahagian semua yang bersangkutan, yang terukur secara kuantitatif.

Lebih lanjut Mill dalam Frans Magnis Suseno (1997:180) menyatakan tujuan tindakan moral manusia adalah memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalisasikan  perasaan sakit (menghindari perasaan tidak enak). Mill membuat prinsip kegunaan (utilitarisme) yaitu bertitik tolak pada situasi di mana kita berhadapan dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak dari alternatif mana yang kita pilih dan mempunyai nilai paling menguntungkan. Hal ini disebut hedoisme psikologis yaitu prinsip mencari kebahagiaan sebesar-besarnya. Apa yang dikemukakan Mill merupakan embrio agency theory, yang dipakai dalam penelitian ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun