Penyelidikan Aristotle tentang prinsip-prinsip materi berupa  perbedaan penting antara ["bentuk, dan materi"]. Contoh klasik yang mengilustrasikan perbedaan ini adalah patung perunggu: perunggu adalah masalah, sedangkan sosok patung adalah bentuknya.Â
Baik materi maupun bentuk tidak dapat berdiri sendiri. Bahkan batu dari larva Gunung Merapi memiliki bentuk, meskipun bentuknya berbeda dibandingkan dengan patung.Â
Demikian pula, tidak mungkin suatu bentuk ada tanpa beberapa hal untuk mengambil bentuk itu. Patung itu tidak perlu di buat dari bahan batu dari larva Gunung Merapi untuk memiliki bentuknya, tetapi harus terbuat dari sesuatu (materi tertentu). Pembedaan ["bentuk, dan materi"] sangat berpengaruh dalam pemikiran Aristotle, terutama dalam "tatanan alam"Â dan "Meta tatanan alam", dan kemungkinan untuk menjelaskan bagaimana sesuatu dapat berubah, dan atau tetap sama.Â
Jika batu dari larva Gunung Merapi dilebur, misalnya, bentuknya berubah tetapi masalah akan tetap sama (sebagai materi bahan). Jika tidak ada hal yang tidak berubah, kita tidak akan memiliki alasan untuk mengatakan bahwa batu larva Gunung Merapi itu sama dengan batu larva yang sama dengan yang membentuk patung itu.
Pemahaman Aristotle tentang perubahan sebagai proses sesuatu keluar dari kebalikannya bersifat paradoks tidak sesuai dengan konsepsi empat penyebab-nya. Gagasan itu memperoleh penjelasan dari contoh-contoh perubahan di antara pertentangan biner. Sebagai contoh, agar sesuatu menjadi panas, pasti lebih dingian sebelumnya atau panas berasal dari kebalikannya, dingin.Â
Namun, ada banyak contoh perubahan yang tidak memediasi antara pertentangan biner. Contoh  membuat meja Jati  dengan pendasaran empat penyebab. Aristotle mungkin berpendapat bahwa meja Jati  itu berasal dari luar kebalikannya, yaitu "bukan meja Jati". Sebuah meja Jati  berasal dari tumpukan kayu, cat, pernis, plitur dan mortir, tampaknya tidak rasional untuk mengatakan bahwa tumpukan kayu, cat, pernis, plitur dan mortir, adalah kebalikan dari meja.Â
Bahan tumpukan kayu, cat, pernis, plitur dan mortir, Â sama itu dapat digunakan untuk membangun berbagai jenis struktur, sehingga Aristotle harus mengatakan bahwa tumpukan tumpukan kayu, cat, pernis, plitur dan mortir, yang sama adalah kebalikan dari jumlah meja yang tak terbatas.
Dalam perlakuannya terhadap penyebab akhir (final cause), Aristotle menyatakan bahwa semua alam bersifat ["teleologis"], berarti diorganisasi menuju tujuan akhir.Â
Aristotle percaya bahwa semua hal alami tidak hanya memiliki bentuk dan materi tetapi  tujuan. Kepercayaan pada ["teleologis"] atau (final cause), sebagai episteme karya Aristotle, mulai metoden ilmiah sampai teori etika. Kepercayaan berbeda dengan konsepsi sains modern, secara eksplisit tidak harus mengidentifikasi tujuan dalam proses diamati.Â
Konsepsi Aristotle tentang ["teleologis"] atau (final cause), pada "Tatanan Alam" Â terutama berasal pemikiran pada organisme biologis, yang semuanya kompleks dan sangat efisien.Â
Organisme semacam itu tidak mungkin terjadi secara acak, dan demikianlah semuanya harus dirancang dengan tujuan tertentu. Sangat menarik untuk dicatat, dalam menyusun kesimpulan ini, Aristotle menolak konsep evolusi alam sebagaimana dikemukakan oleh Empedocles.Â