Pada tulisan ini saya memaparkahn hasil tranliterasi pada makna "Bunga Kantil", dikenal dengan nama Cempaka atau orang Jawa biasa menyebutnya Kembang Kantil. Penelitian ini dalam rangka pencarian rekonstruksi Candi Prambanan, dan Ratu Baka atau Candi Boko (bahasa Jawa: Candhi Ratu Baka) di Jawa Tengah dan Jogjakarta.
Tafsir dilakukan dengan pendekatan filologi, dan hermeneutika meminjam pemikiran Origenes Adamantius (185-254) , dan teori (General Hermeneutics) Â pemikiran Schleiermacher (1768-1834), Â untuk hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology)Â pada tradisi 3 pendekatan tafsir (1) metode Alegoris, (2) metode Literal, (3) metode Mistikal.Â
Maka secara hermenutika ada tiga makna, yaitu literal (dipadankan dengan tubuh), moral (jiwa), alegoris (roh atau gesit atau mental). Maka pada riset ini meminjam pendasaran interprestasi meminjam mahzab Alexandria yang mempergunakan penafsiran alegori. Walupun mungkin beberapa sekalipun kecil masih menggunakan mahzab aliran Antiokhia yang mempergunakan tafsiran literal. Dan untuk pengembangan pemahaman tentu saya juga meminjam tatanan tafsiran Magisterium Kejawen.
Sesuai dengan tema riset etnografi pada metode "filologi" maka artikel ini saya namakan "Nyai Bunga Kantil". Penelitian ini dilakukan selama 4 tahun, tafsir (1) metode Alegoris, (2) metode Literal, (3) metode Mistikal.
"Nyai Bunga Kantil" adalah wujud  bersifat {"abati"}: bunga biji (awal, timur, purwo, atau wiwitan), buah, mati, bunga biji, dan seterusnya adalah symbol siklis Jawa Kuna bahwa {"manuswa, manjalma, menitis, punarbhava), semacam bentuk reinkarnasi yang tepat dalam repleksi batiniah atau "Geisteswissenschaften". Berikut ini adalah hasil riset Filologi : Nyai Bunga Kantil sebagai berikut:
Ke (1) Bunga kantil secara umum pada kebudayaan Jawa Kuna, dan sampai hari ini difungsikan pada dua upacara utama siklus kehidupan yakni (a) acara menikah, dan (b) acara kematian. Maka wajar "Nyai Bunga Kantil"dimetaforakan sebagai metafora " kemantil-kantil" atau artinya (eling) atau "selalu ingat". Maka "Nyai Bunga Kantil"memiliki hakekat pada kata "Eling" Filologi Jawa Kuna.Â
Ingat pada tanggungjwab karena peristiwa menikah adalah awal manusia bertanggungjawab penuh, dan terpisah dari orang tua atau wali, dan peristiwa meninggal dunia, berhubungan berakhirnya tanggungjawab jasmani, dan dimulainya pertanggungjawaban rohani. Kata "Kantil" menjadi memiliki makna morfologi sebagai "tidak bebas atau terikat, atau disebut tergantung". Â
Maka  kata "Kantil" berhubungan dengan kewajiban manusia dalam hidup yang wajib dan niscaya. Maka pitutur, Jawa Kuno menyebutkan "mikul dhuwur mendhem jero" sebuah hasrat manusia ideal adalah menonjolkan kelebihan nilain keluarga, dan menutupi kekurangan atau keburukan keluarga.Â
Atau "Nyai Bunga Kantil" simbol cinta kasih pada kehidupan manusia untuk menjaga keselarasan (harmoni). Atau ada dalam metafora Jawa disebutkan "kesrimpet bebed, kesandung gelung" atau "hakekat kesetian atau kekudusan manusia" relasi untuk membangun mutu manusia dan generasi berikutnya (dokrin bibit).
Ke (2) hakekat "Kantil"disepadankan dengan nama lain pada istilah"Kandil" berarti lilin, pelita, lampu, dian, nur, lentera, damar, obor, cublik. Â Artinya "Nyai Bunga Kantil"(atau "Manoreh") wujud simbol pada cahaya, tenang, dan sumber segala sesuatu berupa Matahari (cahaya) atau "Idea Yang Baik" Â dijadikan "ide fixed" sebagai bentuk rujukkan kepastian hidup dan dunia dalam memahami semua realitas.Â
Maka matahari (terang, atau cahaya) adalah "causa sui" (sebab terakhir yang menyebabkan dirinya sendiri). Maka cahaya atau matahari sebagai awal terbit (wiwitan, permulaan, purwa) keutamaan kebenaran baik, dan indah. Maka ada gending pembuka dalam pentas wayang dengan cahaya, dan gunungan wayang dimainkan.Â