Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Rehabilitasi Makna "Gunung Kembar", Merapi dan Merbabu

29 Agustus 2018   16:13 Diperbarui: 29 Agustus 2018   16:22 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rehabilitasi Makna"Gunung Kembar": Merapi, dan Merbabu

Pada tulisan sebelumnya saya sudah membahas tentang dialektika pada "Gunung Kembar" Sumbing dan Sindoro, Jawa Tengah. Pada tulisan ini saya menjelaskan hasil abstrak umum tentang Rehabilitasi Makna: Merapi, dan Merbabu.

Indonesia kaya pada potensi alam semesta, penduduk, dan kebudayaannya. Salah satu keuntikan tersebut adalah terdapat "gunung kembar". Setidaknya ada tujuh pasangan  "Gunung Kembar" di Indonesia (1) Sibayak dan Sinabung, di Sumatera Utara, (2) Marapi dan Singgalang, di Sumatera Barat, (3) Gede dan Pangrango, Jawa Barat, (4) Sumbing dan Sindoro, Jawa Tengah, (5) Merapi dan Merbabu, Jawa Tengah, (6) Arjuno dan Welirang, Jawa Timur, (7) Bawakaraeng, dan Lompobattang di Sulawesi Selatan.

Tulisan ini adalah riset, pendekatan metafisika, untuk menjelaskan pemahaman kembali Rehabilitasi Makna: Merapi, dan Merbabu Jawa Tengah pada riset saya dengan tema "Ontologi Kejawan di Solo, dan Ontologi Kejawen Jogja".

Dengan meminjam teori  "Deus Sive Natura" pantheisme rasionalis Spinoza (1632-1677),  Leibniz  (1664-1716)  bahwa alam semesta ini dikendalikan oleh "Monad" sebagai bentuk "force primitive"  atau daya purba, teori Bultmann (1884-1976) bahwa demitologisasi (eksegesis) semua terarah pada dogma tertentu, kemudian di cari epsitimologi (prasangka), pemikiran Ricoeur (1913-2005), tentang "simbol menimbulkan makna".

Maka dengan pendasaran ini  tujuh Gunung kembar di Tanah dan Air Indonesia, dan dipastikan mempertemukan (Geist) atau Roh atau mental dimensi paling dalam pada simbol umat manusia.  Secara umum ada makna bahwa 7 "Gunung Kembar"  memiliki metafora pada 7 hari dalam klendarium (Hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu) bagi penghitungan waktu umat manusia.   

Tujuh "Gunung Kembar" sebagai  angka bersifat  paradoks  wajib ada dilewati karena usia manusia di dunia ini cuma ada 7 hari (manusia mati, dan lahir punya, ("tanda buruk" atau "tanda baik") waktu: Minggu, Senen, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu). Kita mati atau lahir bahagia sedih, untung malang, suka duka) pasti ada tujuh pilihan hari, dan usia kita sebenarnya cuma 7 hari yang tak dapat di ketahui dengan pasti waktunya. 

Maka saya dapat menyimpulkan ontologi ada 'the being in the world' (alam semesta, dan segala sesuatu yang ada). Maka dapat saya dikatakan "Angka tujuh adalah suatu tanda".  Wajar jika kemudian Galileo (1564-1642) menyatakan "Alam di tulis dengan bahasa matematika". Newton (1643-1727)  merumuskan teori universal gravitasi, berkeyakinan bahwa "alam adalah buah kehendak bebas Tuhan, mendapatkan kepastian matematis".

Pada tulisan ini saya menjelaskan hasil abstrak umum tentang Makna "Gunung Kembar", Merapi, dan Merbabu, dengan rincian penjelasan sebagai berikut: Pada tradisi ontologi (filologi) tentang  kisah tentang terciptanya aksara (filologi) Jawa Kuna tokoh manusia bernama  Ajisaka tinggal di pulau Majethi memiliki dua punakawan (abdi) paling setia menjaga titah Ajisaka bernama Dora, dan Sembada. 

Sembada memegang teguh amanah untuk tidak menyerahkan pusaka dititipkan sampai Ajisaka mengambil kembali, sementara pada sisi lain setelah beberapa waktu lama "Dora" diperintahkan Ajisaka mengambil pusaka yang ada ditangan Sembada. Dua dua manusia baik "Dora dan Sembada" sebagai manusia setia memegang amanah, dan perintah menjadi ["Ha Na Ca Ra Ka",] atau di sebut  ada caraka (dua utusan antara Dora dan Sembada), karena saling memegang amah maka terjadilah ["Da Ta Sa Wa La"]  atau konflik peperangan di antara  mereka, terjadilah peperangan sama kuatnya  maka terjadilah ["Pa Dha Ja Ya Nya"] atau sama-sama kuatnya, akhirnya kedua manusia ini meninggal secara bersama sama atau ["Ma Ga Ba Tha Nga"].

Dengan melakukan trans substansi  singkat terciptanya aksara (filologi) Jawa Kuna, sikap  kembar (setia) punakawan bernama "Dora, dan Sembada", dan  "Gunung Kembar" Merapi, dan Merbabu, dapat digeser makna rehabilitasi memungkinkan memiliki makna diskurus menemukan kedalaman analisis. Pertama dalam piutur uwur-uwur disebutkan oleh guru saya sebagai kata-kata bijak  "Andhap Asor, Wani Ngalah Luhur Wekasane". 

Artinya siapa yang mau atau berani mengalah pada akhirnya mendapat kemulyaan. Maka aksara (filologi) Jawa Kuna dokrin utma adalah "Keselarasan sebagai nilai keberutamaan". Maka manusi tidak terjabak dalam pemikiran dikotomi menang kalah, atas bawah, muka belakang, kiri kanan, dan seterusnya. Tetapi mengambil sikap yang lain sebagai bentuk Trikotomi, atau Jawa Kuna menyebut "telu-teluning atunggal".

Trikotomi, atau Jawa Kuna menyebut "telu-teluning atunggal" ini kemudian dijadikan metapora keutamaan manusia. Maka untuk mencegah keberlanjutan atau pengulangan konflik tidak berkepanjangan ini hadir satu gunung diantara Merapi, dan Merbabu yaitu  Gunung Slamet (simbol "Keselamatan") merupakan puncak tertinggi yang ada di Jawa Tengah.

Keluhuran Jawa Indonesia Kuna ini kemudian dilanjutkan dengan terminologi bentuk lain digeser menjadi Merapi, dan Merbabu yaitu  Gunung Slamet (simbol "Keselamatan") sebagai bentuk "Trikotomi", atau "telu-teluning atunggal" menjadi wujud nyata pada fakta empirik pada poros Mataram dulu, dan kekinian menjadi (3) sumbu imajiner mitologi Jawa, atau sumbu imajiner Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan, dan Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus dihubungkan oleh Tugu Jogja di tengahnya atau simbol pusat kebudayaan ilmu mistis Republik Indonesia.

Nalar Republik Indonesia disumbangkan sebagian besar pada sejarah Mataram Kuna, sampai saat ini Merapi, dan Merbabu yaitu  Gunung Slamet (simbol "Keselamatan"), khususnya Gunung Merapi terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah, sebagai batas utara Yogyakarta. 

Disinilah garis lurus itu dimulai. Membujur ke arah selatan, terdapat Tugu Yogya. Tugu menjadi simbol kesadaran idiologi 'Manunggaling Kawulo Gusti' berarti bersatunya antara Tuan  Baginda Radja Jawa (golong) dan rakyat (gilig).

Apollo Daito, 2016., Pembuatan Filsafat Ilmu Akuntansi, Dan Auditing (Studi Etnografi Reinterprestasi Hermenutika Pada Candi Prambanan Jogjakarta

___,.2011., Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi

___,.2014., Rekonstruksi Epistimologi Ilmu Akuntansi Pendekatan Fenomenologi, dan Hermeneutika Pada Kraton Jogjakarta

___., 2014., Ontologi Ilmu Akuntansi: Pendekatan Empirik Pada Kabupaten Kota Bogor, Sumedang, Ciamis Indonesia

______2014., Ontologi Ilmu Akuntansi: Pendekatan Kejawen Di Solo Jawa Tengah Indonesia

____,2015., Pembuatan Diskursus Teori Akuntansi Konflik Keagenan (Agency Theory), Studi Etnografi Reinterprestasi Hermeneutika Candi Sukuh Jawa Tengah

___., 2018., Studi Estetika komparasi Wangsa Sanjaya, dan Wangsa Sailendra Episteme bidang Auditing

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun