ASKESE
Pada riset hasil penelitian ini saya pada  Transliterasi Hermenutika Untuk Pencarian Ilmu, Dan Seni Auditing Pada Wangsa Syailendra, dan Wangsa Sanjaya Mataram Kuno. Salah satu dari sekian banyak candi yang diteliti adalah "3 candi Borobudur, Mendut, dan Pawon. Ketiga candi ini berada di Brojonalan Wanurejo Borubudur Magelang Jawa Tengah.
Berikut ini dijelaskan hasil penelitian tersebut. Salah satu kata yang saya temukan pada internalisasi kebatinan adalah kata ["Askese"]. Kata ini kata ["Askese"] adalah identic dengan "latihan" berkaitan langsung dengan pengalamaman dan tujuan hidup, dalam kenyataan arti relegius pada candi tersebut. Â
Kata["Askese"]dimaknai kemampuan umat manusia (universal) untuk mengatasi  dan menguapayakan pemadaman (nirodha) mengkesampingkan hal-hal yang dapat menghalangi perjalanan batin. Jadi dimaknai dalam ["3 candi Borobudur, Mendut, dan Pawon "Buddha"] sebagai dokrin etika pada khususnya mengacu pada 8 marga yang memiliki tujuan pembebasan pada hal-hal yang membuat manusia menjadi menderita.  Maka kata  ["Askese"] berhubungan dengan "nirodha" adalah upaya memadamkan bentuk keinginan, dan sarana mencapai tujuan tersebut. Kata  ["Askese"] tidak dimaksudkan memati totalkan (mati raga) melainkan bentuk menguasan diri yang baik dan bertanggungjawab.
Kata  ["Askese"], dapat saya pahami sebagai "samsara", dan "karman" bukan hanya dalam bentuk sistem kosmis, tetapi lebih dari itu sebagai wujud akibat pikiran, rasa, dan tindakan manusia yang meleset, dan tidak bertanggungjawab secara rohani. Maka etika pada Kata  ["Askese"] sebagai wujud representasi 8 unsur menyeluruh pada ("8 marga") saling berhubungan berkorelasi dan bukan berbentuk independen, dan mandiri.
Kata  ["Askese"] memiliki implikasi yang sangat dalam dan menyeluruh ("8 marga") untuk membebaskan manusia dari sikap tercela sombong iri hati,  dalam artian menghilangkan cangkang ego, khususnya pada keprihatinan pada dirinya sendiri. Arinya Kata  ["Askese"]  dan ["8 marga"] dikaitkan dengan pengalaman inidividu dalam doa, hidup selibat, menerima pendidikan (dharma) pada guru Gautama, memiliki corak busana, dan kesesuaian tubuh dan mengarah pada jaminan keselamatan (pelagianisme), melalui jalur konsentrasi mencari menuju "moksa", dan perputaran "karma".
Kata kunci memahami "Borobudur, Mendut, dan Pawon" Â adalah wujud perputaran "karma". Tidak ada sesuatu yang tetap, segalanya menjadi. Â Hidup itu mengalir seperti ["aliran Sungai Elo"] Â yang menghubungkan 3 candi Borobudur, Mendut, dan Pawon. Maka wujud perputaran "karma" adalah siklis, maka individualitas menjadi tidak ada, individualitas adalah manusia yang Nampak, yang senantiasa berubah.
Maka dikaitkan dengan perjumpaan auditor, auditee, opini audit, dan seterusnya adalah  tidak mungkin bersifat independen, karena semua representasi pada wujud perputaran "karma".***
Kepustakaan: Romo Tom Jacobs.SJ., 2002., Paham Allah, Dalam Filsafat Agama-Agama, dan Teologi,. Kanisius,. Yogyakarta. Halaman 244-246.
Apollo Daito, 2016., Pembuatan Filsafat Ilmu Akuntansi, Dan Auditing (Studi Etnografi Reinterprestasi Hermenutika Pada Candi Prambanan Jogjakarta
___,.2011., Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi
___,.2014., Rekonstruksi Epistimologi Ilmu Akuntansi Pendekatan Fenomenologi, dan Hermeneutika Pada Kraton Jogjakarta
___,.2014., Ontologi Ilmu Akuntansi: Pendekatan Kejawen Di Solo Jawa Tengah Indonesia
___.,2015., Pembuatan Diskursus Teori Akuntansi Konflik Keagenan (Agency Theory), Studi Etnografi Reinterprestasi Hermeneutika Candi Sukuh, Cetho, di Jawa Tengah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H