Hermeneutika  Schleiermacher: Studi Pada Candi Sukuh Karanganyar  [tulisan 5]
Pada tulisan (4) saya sudah membahas aplikasi dalam riset tetang konsep hermeneutika adalah seni memahami (find art) dengan dua pendekatan yakni: interprestasi eksegenesis gramatis, dan interprestasi psikologis (dimensi mental). Dengan memahami hasil penelitian yang demikian maka apa yang disampaikan Schleiermacher bahwa ["Hermeneutika adaah proses psikologis, seni determinasi, Â atau rekonstruksi proses mental, sebagai wujud manifestasi fakta empirik"].
Maka pada tulisan ke (5) ini, saya akan membahas tentang  "signifikasi heremeutika umum" pemikiran Schleiermacher, dikaitkan dengan Studi Kasus Pada Candi Sukuh Karanganyar .
Pemikiran Schleiermacher  sebagai Bapak Hermeneutika Modern, telah mengambil alih fungsi hermeneutika pada eksegenesis Kitab Suci Injil Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru di geser melapaui milik teologia, sastra, dan hukum. Pemikiran  Schleiermacher sebagai seni pemahaman atau rekonstruksi batiniah, dan lahiriah (dialami kembali). Teori kata ["aphorisme"] dimetaforakan sebagai cara anak kecil memahami kata baru dalam bahasa dan kehidupan sebagai dalil utama dalam pemaham "signifikasi heremeutika umum", bersifat dialogis.Â
Pergeseran dan keunggula pemikiran "signifikasi heremeutika umum" ini memungkinkan hermeneutika menjadi "Geisteswissenschaften" melalui optimalisasi dan hasil terbaik menggunakan fakultas akal budi  atau dasar epistimologi meneliti manusia dari dua sisi ini, sebagai tendensi mencari justifikasi pengetahuan, agar ada rasional supaya kita percaya.Â
Hermeneutika bertugas penyelidikan prinsip-prinsip pemahaman, dan prinsip-prinsip objektivitas universal. Memungkinkan kritik pada teks-teks bersifat "atemporal" dalam term histroris (past event) dan ahistoris, dan mencari atau menemukan lingkaran hermeneutika berlangsung sebagai seni pemahaman.
Dalam mitos, tradisi, atau dalam tulisan apapun yang sampai kepada kita saat ini sangat mungkin pembuat teks, tidak menyadari apa yang dilakukan dan dikerjakan, menjadi problem dalam tafsir dikemudian hari menjadi tidak valid, dan lari dari faka kehidupan realitas kekinian, Â atau sebaliknya sangat valid dan bermakna penting. Mencari serpihan lain makna teks dikaitkan dengan makna kehidupan manusia universal.
Jadi tugas kita sebagai interpretor adalah memiliki hak istimewa dengan fakultas akal budi, dan fakultas kesan indra untuk menganalisis, mengakses makna teks di luar  waktu dan sejarah. Dan kita juga adalah sejarah, masuk dalam sejarah, larut dalam sejarah. Tubuh saya adalah muka mirip alm mama, kaki mirip alm papah, jari tangan, dan telinga mirip alm opa, oma.Â
Kondisi ini adalah prinsip lengkaran hermeneutika. Teks dapat dimaknai bukan milik pembaca, bukan milik penulis secara utuh tetapi, ["teks bersifat  otonom juga, menjadi miliknya sendiri"].Â
Bahkan teks bisa masuk dalam ranah di luar hubungan kehidupan. Nanti dikembangkan oleh Heideggerian menjadi ontology hermeneutika, dan dekonstrusi mengganti istilah Schleiermacher sebagai rekonstruksi teks. Â Artinya yang ingin dikatakan Schleiermacher, hermeneutic adalaha pengalaman kita bersama-sama.
Sebagai contoh adalah penelitian saya pada Studi Etnografi Reinterprestasi Hermeneutika Candi Sukuh Karanganyar Jawa Tengah, tahun 2014 lalu. Saya menghasilkan beberapa pendasaran  ["Hermeneutika adaah proses psikologis, seni determinasi,  atau rekonstruksi proses mental, sebagai wujud manifestasi fakta empirik"].Â