Karena berpikir segala ingatan historis mengacukan "dike atau takdir keberadaan maka ia dengan sendirinya  sudah terkait dengan nasib tersebut  yang sepadan dengan dike atau takdir tersebut atau semacam "dewa Dike Yunani keadilan dan kebenaran atau karakter nasib (geschicklichkeit)  penyebutan keberadaan sebagai anugrah kebenaran- inilah yang merupakan kedudukan nasib berpikir (geschick).  Peristiwa ini dalam dirinya sendiri bersifat historis. Historisnya telah terwujud ke dalam bahasa dalam tindakan perkataan sang pemikiran.
Teks berbicara dengan kebenaran dengan suaranya sendiri. Bahasa menjadi fungsi hermeneutika dalam membawa sesuatu untuk memperlihatkan dirinya sendiri. Berpikir bukan mengekspresikan manusia, berpikir hanya membiarkan kita ditarik pada keberadaan terjadi sebagai peristiwa bahasa.  Metode diam itu sendiri kadang-kadang  dapat menyatakan banyak kata-kata.Â
Itulah cara Heidegger menjelaskan dan menguatkan argumentasinya bahwa sejarah metafisika dan ontologi di dalam filsafat barat mengalami apa yang disebutnya kelupaan akan ada (forgetfulness of being). Kemudian mereparasi pemikiran  dengan menyatakan bahwa manusia sebagai mahluk yang selalu ada di dunia (being in the world).
### bersambung