Di tulisan ini sebenarnya saya ingin bersengketa (diskursus) dengan berbagai hal dalam tindakan dan pemikiran mengelola negara di seluruh dunia bahwa harus ada arugumentasi ketat pendasaran logika dan empirisme dalam rangka sebagai pengelolaan alam semesta abadi (dalam waktu), dan  penolakannya terhadap keanantaan aktual (actual infinity).
Apakah benar apa yang dikatakan William Ockham  (1287-1347) bahwa kehendak ini sebagai  pembawa jalan modern (via moderna). Atau jangan-jangan pemikiran  Potentia absoluta et ordinate adalah juga tidak mungkin digantikan, atau memang wajib digantikan. Atau filsafat skolastik  Ockham pada  nominalisme dan terminisme benar. Bahwa obyek pengetahuan bukan isi dunia, melainkan nama yang berfungsi sebagai simbol bagi wujud-wujud di dunia yang tak mampu kita pahami.
 Apakah benar mengelola negara bumi dan kekayaan nya seperti itu, dengan rigoritas, dan keras kepala yakin bahwa tatanan demikian akan menjadi manusia lebih baik, lebih indah, lebih damai sejahtera. Bila kita ingat pada ["Dekrit 1277"], maka jelas problem ini bisa demikian adanya.
Tulisan ini menggunakan paradigm atau perspektif  (world view) bukan hanya ilmiah, tetapi juga tidak ilmiah, berdasarkan hanya fiksi saja, tidak ada kaitan antara presiden disini dengan nama sesorang. Presiden adalah struktur tugas, dan berbeda dengan individu yang mendudukinya. Dan dalam tulisan ini adalah metafora.
Tulisan ini didiasari pemikiran (1) Rudolf Karl Bultmann, buku New Testament and Mythology: pada konsep demitologisasi (eksegesis atau sejarah) semua terarah pada dogma tertentu, kemudian di cari epsitimologi (prasangka) sehingga memungkinkan menjadi legitim. Saya menggunakan meminjam pemikiran (2) Claude Levi Strauss, tetang "the structural study of Myth" dan (3) teks book "The Structural Study Of Myth And Totemism" oleh Leach, Edmund Ronald. Bahwa erklaren (eksplanasi) ke komprehensip dapat dilakukan melalui mitos (struktur mitos) dalam mencari fenomenologi  pengakuan kesadaran berawal dari gross constituent units  atau metode mencari makna aslinya.
Problemnya tulisan ini adalah pada filsafat kecurigaan diantaranya (a) Karl Marx (curiga uang), (2) Friedrich Wilhelm Nietzsche (curiga iri hati pakai keadilan dan moral), (3) Sigmund Freud (curiga dengan seksuasi, dan mimpi), (4) Paul Ricoer Curiga pada teks dan kesadaran, (5) Carl Gustav Jung (curiga pada ketidaksadaran kolektif), (6) Hans-Georg Gadamer  (curiga pada penyimpulan tergesa-gesa atau (Vorurteil), (8) Martin Heidegger (curiga pada kebenaran itu keras kepala dan suka menyembunyikan diri  atau interpretation of  the Truth Aletheia in Greek), atau (9) Arthur Schopenhauer curiga pada kehendak alam metafisis yang menyetir alam semesta.  Atau jangan-jangan  teori  Descartes membendakan alam, menjadikan alam sebagai wujud material (kecuali pikiran/jiwa). Hasilnya adalah sebuah mesin raksasa yang dirancang dan dikendalikan oleh Tuhan. Maka tak mampu dijelaskan dengan akal sehat.
Bagi saya apapun kondisi-kondisi ini bertumpu pada masalah pemahaman ["Kosmos dan Masalah  Kebebasan Manusia"]. Atau saya sebut skenario jagat majemuk (multiverse) atau mirip riset ilmiah pada angka 137, atau jangan-jangan semua yang ada ini adalah "Konspirasi angka kuantitatif dan kualitatif". Atau model William Paley memperkenalkan metafora perancang jam atau  bila kembali pada narasi hasil karya fiksi Olaf Stapledon yang menerbitkan Star Maker (1937), tentang imajinasi keliaran pikirannya dan memasuki ruang kosmis dengan kecepatan fantastis, memungkinkan kita dapat melampaui apapun.
Maka pada tulisan ini saya mencoba melakukan trans-substansi kecurigan tersebut dengan membuat prasangka-prasangka yang tentu saya bisa legitim dan bisa juga tidak legitim antara atau "salah pun tidak" (not even wrong) diantara (iya dan sekaligus tidak) model Nietzschean. Imajinasi yang saya pakai adalah seandainya (jika), Â atau seandainya manusia ini presiden. Proses tulisan ini adalah hasil pemahaman Genealogi Foucault adalah semacam sejarah yang melukiskan pembentukan macam-macam pengetahuan di dalamnya khususnya pada 3 tradisi mitos pada suku ternama di Indonesia, yang tidak saya sebutkan.
Dalil (1) umum tulisan ini adalah apapun kita masih berada di tataran logika yang mempertentangkan ihwal yang niscaya (necessary) dengan yang mungkin (possible). Di sini kita menggunakan konsep modal logic terkait cara sesuatu terjadi (mode: cara).
Dalil (2) apapun di kosmos ini bersifat paradoks. baik diantara  atau pada tatanan Visible World, dan tatanan Intelligible World.
Maka untuk Indonesia yang berkebudayan yang baik manusia yang bernama presiden sebaik-baiknya melakukan hal-hal berikut ini.