Prasasti Tukmas, tidak  banyak yang mengetahuinya. Mungkin karena letaknya yang sulit dijangkau. Pada bulan 22, dan 23 Desember 2017, saya melakukan untuk penelitian. Tepat 22 Desember pukul 12.07 saya akhirnya sampai di Puncak Tuk Mas. Dengan menggunakan Grab ojek online, dan offline dari terminal Tidar Magelang.
Posisi offline Prasasti Tukmas ternyata berbeda dan tidak sama dengan data GPS, jadi terpaksa bertanya secara manual. Setelah  menempuh perjalanan 1 jam dan 44 menit, ada empat kali tersesat dan bertanya-tanya maka  sampailah pada Prasasti Tukmas. Ternyata tidak semua orang tahu letak, dan tempat prasasti ini. Tukmas tidak begitu popular tetapi Prasati Dakawu lebih diketahui warga sekitar,  sesuai dengan nama desa tempat prasasti ini berada.
Kunjungan saya dalam rangka penelitian reinterprestasi ulang dan trans-substansi candi dan situs Kuna se Jawa Tengah dan Jogjakara bulan Desember 2017 lalu.
Saya terpaksa jalan kaki, menuju ke lokasi. Luar bisa debit air kencang dan dingin berasal dari celah-celah bebatuan, dan pohon pinus rindang, dan menyejukkan. Ternyata Prasasti Tukmas merupakan proyek Kementerian PUPR (dulu disebut Departemen Pekerjaan Umum), Direktorat Jendral Cipta Karya, bangunan penangkap air "Kalimas" di bangun tahap I tahun 1971 dengan 100 liter/detik, dan tahun 1980  dibangun tahap II dengan debit 110 liter/detik. Prasasti Tukmas terletak di Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Disamping pintu masuk proyek inilah terdapat Prasasti Tukmas, dan saya Dan menemukan satu orang juru kunci penjaga. Laki-laki paruh baya ini menjaga dan menyapu Prasasti Tukmas, kemudian menerangkan kepada saya napak tilas dan sejarah asal usul Prasasti Tukmas. Adapun hasil pengamatan langung, diskusi dan wawancara saya adalah:
- Prasasti Tukmas persis di Lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah bagian utara (lor). Prasasti bertuliskan tahun 650 M bahasa Sanskerta atau abad VI-VII M. Â Peninggalan tertua dari Kerajaan Mataram Kuna di Pulau Jawa.
- Prasasti Tukmas terbuat pada Batu alam di dekat sebuah mata air yang jernih. Mata sumber air suci dimetaforkan seperti air suci dari Sungai Gangga, wangsa Siwa dengan keberadaan prasasti memuji fenomena tanda alam pada mata air yang keluar persis di Utara Gunung Merbabu.
- Isi narasi Prasasti Tukmas sebagai berikut:
(itant) uucyamburuhnujt
Kwacicchilwlukanirgateyam
Kwacitprakrnn ubhatatoy
Samprasrat m(edhya) kariwa gag
Terjemahan sajak yang terdiri dari empat baris tersebut adalah :
Bermula dari teratai yang gemerlapan; dari sini memancarlah sumber air yang mensucikan, air memancar keluar dari sela-sela batu dan pasir; di tempat lain memancar pula air sejuk dan keramat seperti (sungai) Gangga.
Disamping tulisan, prasasti memuat gambar roda (cakra), teratai (padma), nyala api, denah bangunan Gambar yang dapat diidentifikasi merujuk pada laksana (tanda khusus) yang digunakan dinasti  Siwa (Wangsa Sanjaya).
Berikut ini adalah makna trans-substansi narasi Prasasti Tukmas, sebagai rangkuman hasil penelitian saya:
- Posisi Prasasti Tukmas, Â Lereng Gunung Merbabu Jawa Tengah Bagian utara (lor, Ler). Dengan memaknai bahwa gunung sungai lembah adalah simbol alam semesta atau jagat Agung, maka makna Utara Merbabu (Lor, Ler) menjadi penting untuk di interprestasikan. Konsep Utara Merbabu atau arah mata angin menunjukkan pada (Siti artinya Tanah), dan Hinggil (artinya Tinggi) atau dimaknai sebagai Lor Siti Hanggil.
Makna ini ditranformasi dalam Kraton Jogja, dan Solo yang berasal dari makna tanda alam, harmoni, dan keselarasan (daya otentik alam angin Utara). Fungsi dan kedudukan Lor Siti Hanggil sebagai Siti Hinggil Ler atau baliurang Utara, atau disebut kencana (emas, mutiara, megah, mewah). Dan makna Bangsal dapat dipakai sebagai  baliurang atau auditorium alam semesta yang ada secara mandiri pada diri kosmis Merbabu Utara (Siti Hanggil).
- Daya  kosmis Merbabu Utara (Siti Hanggil), memiliki makana tafsir semiotika sebagai perwujudaan (Jawi Kuna artinya Kori Wijil), atau kori (pintu), dan wijil (bibit, biji) asal usul atau keluar lahir. Maka Kori Wijil sebagai metafora jagat cilik (manusia) berposes menjadi manusia yang mendapatkan jati dirinya mencapai keselamtan, dan kesempurnaan hidup.
Melepaskan sikap sombong manusia, dan mengajarkan manusia mencintai hidup (mengeluarkan air mas atau disebut Tuk Mas). Manusia sewajarnya harus berpartisipasi menyerupai buana Agung mengajari pemeliharaan, dan ke-selamat-an atau makna pintu sebagai akses masuk dalam tatanan weruh wikan nya manusia. Setiap pintu dipastikan ada satpam atau penjaga, dimaknai bahwa sifat-sifat kejelekan harus disensor atau edit (Siwa) tidak boleh masuk dalam peradaban manusia Jawi Kuna era Wangsa Sanjaya.
- Tafsir Kori Wijil sebagai pintu keluar masuk manusia yang harus di cek jiwa rasionalnya untuk menghasilkan sifat (lihat teori psikologi warna emas  kuning) atau sifat Ugaharinya manusia. Emas adalah simbol martabat kekayaan, kebaikan, dan keindahan manusia.  Maka ketika Presiden Pertama Soekarno di lantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) meminjam pintu Merbabu Utara (Siti Hanggil).  Presiden Soekarno meminta dilantik di  Utara (Siti Hanggil) Kraton Jogjakarta 17 Desember 1949.
Sebuah kemampuan  pemahaman metafisik yang mumpuni, atau kemampuan meniru (memesis) Siti Hanggil Merbabu menciptakan  cita-cita Indonesia Emas.  Demikian juga pembukaan kampus UGM  diresmikan dengan meniru (memesis) Siti Hanggil Merbabu di tarnsformasikan menjadi wujud visible di Utara (Siti Hanggil) Kraton Jogjakarta pada tanggal 19 Desember 1949.
- Tuk Mas adalah wujud wangsit (petunjuk alam)  Dialekika antara air dan emas,  dapat dimaknai sebagai metafora proses manusia mencari  Tirta Amerta (tirta suci) dalam narasi serat dewa ruci atau prinsip tindakan (moral). Proses mengenal  diri manusia untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia emas. Maka pada Prasasti Tuk mas maka  air  itu bisa dilihat indrawi, sumber kehidupan, mampu menyerap cahaya matahari kebaikan.
Sedangkan emas tidak terdapat sekeliling Prasasti, dan tak dapat dilihat, adalah simbol alam idea (jiwa) manusia. Emas proses seleksi manusia membersihkan diri, atau pertempuran jiwa manusia rasional manusia dengan irasional, menuju Manunggaling  Kawula Gusti  (hasil sinetesis air, dan emas atau dwitunggal semacam roroning atunggal), simbol puncak manusia Jawi Kuna pra Mataram. Atau dialektika antara yang sensible menuju invisible atau saya sebut sejatining urip.
Hanya dengan cara ini memungkinkan adanya pancoran air atau memancarkan sifat Tuhan keluar dari diri manusia dalam tindakan hidupnya. Kata Kawula adalah Jiwa rasional ugahari yang menuntun hidup manusia.
- Maka Merbabu Utara (Siti Hanggil), atau abu-abu (manusia campuran warna hitam dan putih) atau simbol sang  Guru Semar, artinya  manusia dapat menjadi guru bagi dirinya sendiri, tahu malu (isin), (wedi), mau dan mampu memperbaiki diri dari kekurangan dan kesalahannya. Dapat mengevaluasi diri, tahu batas, (Jawi menyebut Papan, Empan, Adepan).
Manusia wajib belajar, dan mengajarkan sebagai proses dialektika warna hitam dan putih, menghasilkan sintesis (moral) bisa menerima kelebihan, dan kekurangan sesama dengan bijaksana (virtue). Atau saya sebut sebagai proses peleburan horizon manusia, dan horizon sejarah. Dengan sikap ini memungkinkan kita memiliki sikap tolerenasi, menghormati, dan menghargai makna hidup yang sulit terdefinisikan.
Akhirnya apapun kekayaan bangsa ini, dapat dijadikan sebagai media  pendidikan. Hal ini dimungkinkan karena saya tidak menemukan system Lyceum atau Pendidikan Sekolah Formal di zaman Wangsa Sanjaya, maupun kerajaan nusantara.
Diharapkan dengan memaknai simbol alam: air, angin, api, dan tanah memungkinkan manusia paham hukum alam atau kitab alam dengan segala sifat determenismenya mempengaruhi jagat alit. Maka Prasasti Tukmas adalah pakem ilmu wangsa angin tanah Utara (00) atau di sebut True North atau utara sebenarnya.***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H