Pada hampir semua kasus membuat pertemuan yang membuat saya diminta untuk bertanggungjawab dan tidak tega. Apalagi bila mahasiswa tersebut sudah tidak bisa berkata apa apa dalam dialog tanya jawab sidang. Sekalipun mahasiswa sudah berusaha dengan maksimal tetapi masih saja ada factor yang tidak sempat di antisipasi, sehingga belum memadai menjawab pertanyaan dan sanggahan.Â
Pada proses pembimbingan saya kadang lebih nyaman tidak melihat muka yang bersangkutan baru saya tega menyatakan ini kurang, itu kurang, baca lagi, pahami kembali, dan revisi, dan seterusnya. Saya  merasa (prarepleksi) terganggu dan tersandra melihat muka manusia, minta dibantu, panggilan kebaikan, atau ada rasa bertanggung yang spontan. Semacam panggilan jiwa spontan jika melihat muka dan isyarat kewajiban berbuat baik (moral) atau tanggung jawab terhadap yang lain (the others).
Pada kasus mahasiswa ini pemikiran Levinas dapat di tranformasi makna (1) wajah yang telajang memberi makna semotika bahwa ketidakberdayaan, dan ketidak mampuan. Ketidakberdayaan  mahasiwa karena 3 penguji atau lebih tidak mampu ini jawab. Dan wajah tidak ditutupi maknanya ada ancaman dari bahaya pihak luar kemungkinan malu tidak lulus.Â
(2) face-to-face relationship encounter, adalah tahap etika paling primodial, paling otentik (bertemu muka dengan muka) sekaligus semacam wajah kehadiran cinta non pamrih, (3) epifani atau wajah yang meminta pertolongan bantuan moral dengan rasa seperti berbicara jangan tinggalin saya tidak lulus skripsi, tesis. Kesan wajah mahasiswa itu sama  dengan tuntutan kewajiban tanpa syarat memberikan bantuan dan pertolongan pamrih apapun atau sebagai "manifestasi"  Tuhan.
Kadang-kadang kalau kondisi seperti ini ada paradoks antara kewajiban standar akademik, dengan kesan kurang bermutu, sementara dilain sisi wajah mahasiwa minta tanggjawab jangan bunuh masa depan dan waktu saya, dan pada saat yang sama hubungan dengan kolega dosen harus baik.
Pada kondisi-kondisi life experience seperti  ini lah aplikasi filsafat wajah Levinas berlaku, untuk belajar mempraktikkan keadilan dan kesempatan buat wajah lain (the others) dapat melanjutkan kehidupan bermartabat yang melampaui (Beyond) sebagai presentasi bermanifestasi (menyatakan diri) kehadiran kita memberikan ketulusan tanpa pamrih kepada semua umat manusia secara universal atau dalam bahasa nenek moyang kita {"Rame ing gawe sepi ing pamrih, memayu hayuning bawana"}. ***.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H