Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Etika Lingkungan dan Jawaban Arne Naess 1912-2009

24 Februari 2018   21:26 Diperbarui: 24 Februari 2018   21:43 1563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Problem Umum. Bahwa pembangunan di Indonesia tentu memiliki dampak positif dan negative. Efek yang kurang mendapat  perhatian adalah masalah etika lingungan hidup. Istilah etika ini apalagi non manusia rasanya pasti kurang pas, dan pengusaha dan pengusaha tidak menjadikan nomor satu. Itulah artikel ini akan membuka pandangan kita tentang pemikiran etika lingungan hidup. Demikian juga saya rangkum dalam beberapa catatan harian Kompas.com; sebagai berikut:

Kompas.com, 18/11/2010, 04.21 Kompas.com Ada Tiga Kasus Besar Kerusakan Lingkungan Kota Semarang. 02/04/2011, 08:41 WIB. Menyoal Amdal Jalan Tol Semarang. Kompas.com - 27/02/2015, 20:00 WIB, Ekologi Bali Selatan Terancam Rusak karena Reklamasi. Kompas.com - 27/01/2017, 17:30 WIB  "Amdal Proyek Bandara Kulon Progo Dinilai Tidak Sesuai Prosedur".

Kompas.com - 18/01/2017, 20:09 WIB Kajian Lingkungan Hidup soal Reklamasi Teluk Jakarta Diminta Segera Dituntaskan. Kompas.com 15 Desember 2017 22:12 WIB. Kalangan lembaga kajian dan advokasi mendorong pemerintah untuk menyeimbangkan pembangunan infrastruktur dengan program-program kelestarian lingkungan hidup.  Kompas.com 23/12/2015, 15:00 WIB., Pembangunan Infrastruktur di Indonesia Merusak Lingkungan. 

Dan seterusnya masih banyak sekali kasus perusakkan lingkungan hidup atas nama tahayul pembangunan, belum lagi pembakaran Hutan untuk Perkebunan, kebiasan masyarakat membuang sampah di Sungai, Pencemaran Laut, dan Pantai, atau penebangan pohon untuk jalan tol, jalan negara, Mall, dan seterusnya.

Maka berikut ini saya akan susun gagasan dari artikel hasil penelitian saya pada tahun 2013 lalu, tentang Etika Lingkungan hidup, untuk memastikan secara ontologis apakah benar manusia perduli terhadap lingkungan.

Pengantar.  Masalah lingkungan, kini telah menjadi   persoalan hidup-mati bagi manusia sejagat. Dorongan kodrati untuk hidup lebih baik (bisnis)  telah menjerumuskan manusia ke dalam tindakan-tindakan eksploitatif atas alam.  Atas alasan itu (better life) pembakaran hutan, pembuangan limbah nuklir, sampah rumah tangga, polusi udara karena gaya hidup modern teknologis,dll. Seolah mendapatkan justifikasinya.   Apakah memang boleh atau semestinya demikian.

Lebih lagi, manusia seolah baru sadar dan beranjak   untuk berefleksi ketika hidupnya mulai terancam dan dunia sudah tidak lagi   menjadi tempat yang nyaman huni. Berbagai gerakan kepedulian terhadap    lingkungan pun bermunculan (Green peace,  sadarling, etc). Persoalannya.  Apa yang direfleksikan mereka.  

Pesan moral apa yang akan diwartakan kepada dunia. Persoalan Konseptual. Tiliklah makna etis dalam istilah-istilah berikut! (1). Kementrian Kehutanan, dan  Lingkungan Hidup. Tidak lebih dari sebuah instansi teknis (2). Kepedulian atas Lingkungan Hidup. Lebih daripada sebuah gerakan moral  yang eksis setelah alam tidak lagi nyaman bagi manusia untuk hidup sebagai makluk humani; (3). Etika Lingkungan Hidup. Inilah yang menarik untuk dikaji lebih seksama dan mendalam. Ada apa di baliknya.

 Gagasan SEC, dan DEC.  Filsuf Norwegia Arne Dekke Eide Naess  (1912-2009)

Pada teks buku  Naess (The Ethics of Environmental Concern, Oxford, 1983, 2-3), membedakan dua macam kepedulian manusia   saat ini atas lingkungan, yakni: (1) Kepedulian atas Lingkungan Yang Dangkal  atau (Shallow Ecology Care atau SEC); dan (2) Kepedulian Yang  Mendalam  Pada Lingkungan atau (Deep Ecology Care atau DEC).

Apa hakekat dan praksis atau (Shallow Ecology Care atau SEC) dan atau (Shallow Ecology Care atau SEC) itu sesungguhnya. Kepedulian Yang Dangkal merujuk kepada kepentingan-kepentingan yang diabaikan dalam kaitannya dengan ekonomi tradisional. Himbauan untuk tidak merokok dengan alasan membahayakan kesehatan rekan kerja, larangan menyuntik ayam pedaging dengan hormon, larangan mempergunakan zat pewarna untuk makanan, keinginan untuk  tidak memakai asbes sebagai bahan bangunan, dapat disebut sebagai contoh- contoh untuk bentuk kepedulian ini. Istilah 'dangkal' di sini tidak harus berarti 'tidak penting'. Kepedulian Yang Dangkal Vs Ekonomisme.

Betapapun dangkalnya kepedulian itu namun di dalam kedangkalannya itu justru terdapat sikap-sikap yang lebih maju dalam arti etis, ketimbang ekonomisme. Ekonomisme dalam konteks ini selalu berarti kepedulian yang membatasi diri hanya pada perhitungan untung-rugi (cost benefit ratio) bagi si pelaku ekonomi. Dengan demikian, Ekonomisme hanya  terfokus pada keuntungan jangka pendek dan tidak memperhitungkan kerugian sertapengorbanan di kemudian hari. Jadi, Ekonomis memengandung kepicikan temporal dan geografis.

Sekedar Ilustrasi  pelestarian hutan misalnya, akan dipandang lain oleh para penganut ekonomisme. Ekonomisme jelas tidak akan peduli terhadap pembakaran hutan dan penebangan liar sebagai penghancuran habitat banyak species dan rusaknya   paru-paru dunia.  Sebaliknya, mereka akan berupaya untuk menghindari pengorbanan jangka pendek seperti biaya pelestarian dan penanaman pohon-pohon dalam rangka reboisasi. Ada apa di balik contoh di atas. "Shallow Ecology Care (SEC) nampak sebagai sikap yang relatif    "enlightened".

Mengapa.Kepedulian ini sudah menangkap krisis lingkungan sebagai sebuah krisis karena   mengancam kepentingan/keselamatan  manusia. Walau demikian, kepedulian dangkal masih   mendudukan alam sebagai 'sarana' dalam   model berpikir 'path-goal'. Alam hanya patut   dilestarikan oleh karena pada dirinya sendiri   dapat menunjang kesejahteraan manusia.

Dalam  SEC atau 'Shallow Ecology Care': alam dianggap bernilai hanya sejauh ia  menguntungkan manusia. Alam sama sekali tidak bernilai pada   dirinya sendiri.  Alam hanya dilihat sebagai alat/instrumen  demi kesejahteraan dan kebahagiaan spesies   manusia.  Salam terminologi filosofis, alam hanya memiliki nilai instrumental. Mengapa.

Empat argumentasi  nilai Instrumentalis alam; 

  • Argumen Lumbung. Alam wajib dilestarikan dan dijaga karena ia menyimpan organisme-organisme yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia.
  • Argumen Laboratorium.  Dengan menyediakan organisme-organisme yang berguna pada percobaan-percobaan ilmiah, alam mendukung perkembangan ilmu pengetahuan manusia.
  • Argumen Fitness-Center. Menonjolkan peran alam sebagai tempat rekreasi dan penyegar jiwa-raga manusia.
  • Argumen Religius.  Merujuk pada kaitan yang erat di antara  alam dan penikmatan estetis serta  penghayatan religius manusia.  Alam merupakan tempat yang nyaman  untuk bertapa, semedi, kungkum, cari wangsit, merenung, mencari inspirasi, dll. Ke-4 argumen ini memperlihatkan bahwa isu seputar pelestarian alam dalam 'Shallow Ecology Care' bermuara pada pamrih manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya sendiri.

Kepedulian Yang Dalam (Sangat bertentangan dengan SEC). Jika SEC mempedulikan 'pelestarian hutan'   Maka DEC memperluas spektrum kepeduliannya. Ia tidak hanya memperhatikan pelestarian sumber-sumber mineral dan energi, melainkan juga bukit-bukit kapur dan hutan sebagai sumber  oksigen bagi manusia kini dan esok. DEC masih merasa prihatin jikalau spesies-spesies non human hanya dianggap sebagai 'resource' atau sumber semata yang pada gilirannya akan diberi muatan 'instrumentalis'.

Dalam Kepedulian Yang  Mendalam  Pada Lingkungan atau (Deep Ecology Care atau DEC). Makluk-makluk non humani termasuk alam memiliki nilai instrinsik, bernilai pada dirinya sendiri. Oleh karena menganggap alam bernilai intrinsic. Kepedulian Yang  Mendalam  Pada Lingkungan atau (Deep Ecology Care atau DEC), mendapat beberapa nama lain seperti: (1) Post-modern Ecological World view.Yang bernilai intrinsik itu adalah sistem, entahekosistem atau biosphere sebagai keseluruhan Bukan individu (=Transpersonal Ecology) atau (2)  Altruisme Planeter Holistik. Yang memiliki relevansi moral hakiki bukantiap-tiap pengada, melainkan alam sebagaisuatu keseluruhan.

Etika Lingkungan Hidup Antroposentris.  Oleh (Shallow Ecology Care atau SEC),  dan (Shallow Ecology Care atau SEC) dianggap mengidap pemikiran 'antroposentrisme'. Mengapa. Egoisme spesies dan  chauvinism  spesies masih merupakan fokus SEC. Alam hanya memiliki nilai instrumental, semata-mata demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Antroposentrisme  atau  Egoisme  Spesies  atau  Chauvinisme  Spesies di sini berarti bahwa dalam Etika Lingkungan Hidup, manusia merupakan satu-satunya pusat pertimbangan moral.  

William Klaas Frankena (1908-1994),memberikan pengertian bahwa manusia merupakan  satu-satunya ' moral patient'  atau action based ethics vs character based ethics.  Apa Dasarnya. Secara Deontologis.   Hanya harkat dan martabat manusialah yang  wajib dipertimbangkan, dipelihara dan dihormati.  Secara Teleologis (Telos = Tujuan),  diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak   mungkin bagi spesies manusia dengan berupaya menghindari sebanyak mungkin akibat buruk bagi   spesies itu sendiri. Dengan demikian, species manusia dalam  Ecology Care (SEC) sungguh-sungguh merupakan   'Creatura Supra Omnes".

Simpulan : Keprihatinan Praktis  etika lngkungan hidup memang muncul dari keprihatinan-keprihatinan  praktis  seputar konsekuensi relasional di antara   manusia dan alam. Keprihatinan praktis itu pada akhirnya merembet ke persoalan-persoalan teoretis menyangkut manusia  alam itu. Pada tataran praktis, sudah terasa perlu untuk mengembangkan sebuah prosedur pertimbangan yang hanya terpusat pada manusia saja (antroposentrisme). 

Sebaliknya, pada tataran teoretis, telah diupayakan untuk dirumuskan kembali   kemanunggalan di antara manusia dan  alam.  "Kedua-duanya tidak pernah saling menafikan. Manusia hanya dapat menjadi makluk humani dengan dan di dalam alam. Sebaliknya, alam hanya memperoleh makna dan nilai instrinsiknya justru di dalam relasinya dengan manusia".  

Akhirnya hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Etika lingkungan belum menjadi proritas di Indonesia, alam masih dipadang sebagai bahan baku reproduksi, nilai ekonomi, dan hanya terpusat pada manusia saja (antroposentrisme) Artinya etika lingkungan di Indonesia belum sesuai dengan dokrin dua filsuf  Naess  (1912-2009), dan  Frankena (1908-1994). 

Tentu saja dengan kesadaran etik bersama kita harus mulai mengadopsi di beberapa kota dan negara di dunia sudah membangun infrastruktur hijau. Manfaat dari infrastruktur ini tentu saja ramah lingkungan dan berkelanjutan. Jika tidak maka alam bisa marah kembali kepada umat manusia melalui musibah, kecelakan, dan bencana alam.***)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun