Cemas, dan Kagum #,*)
Kurang lebih duapuluh empat tahun lalu masih terbayang di mata batin saya, dibesarkan di satu dusun terpencil pedalaman bagian NKRI. Kampung itu sampai saat ini tanpa listrik, sekalipun Indonesia sudah merdeka hampir 73 tahun lamanya. Kampung itu tidak bisa diakses mobil, dan motor, hanya bisa jalan kaki dan sepeda ontel, berjarak sekitar 120 Km dari Kabupaten X. Kehidupanya warga adalah bertani ladang berpindah, berkebon buah-buahan sayuran, kebon karet, nelayan, berburu. Desa ini termasuk kategori kurang punya akses dengan dunia social pada umumnya. Secara singkat saya repleksikan pengalaman kebatinan proses kecemasan menjadi kekaguman pada perjalanan batin sebagai manusia soliter. Narasi ini tidak seluruhnya saya ingat, kadang saya lupa waktu tanggal dan tahunnya secara persis, tetapi peristiwa-peristiwa itu saya jadikan repleksi sebagai pengalaman manusia soliter untuk artikel ini, dan sebagian isi artikel adalah hasil penelitian yang sudah lakukan tahun 2012 lalu.
Adapun pengalaman tersebut masih melekat di ingat saya antara lain adalah: waktu kotoran: ayam, anjing, cicak, moyet, dan hewan peliharan jika terinjak terasa lembab atau basah berair. Ada telor ayam, itik, telor burung, jika pecah saya temukan pasti basah berair. Ada pohon pisang, mangga, cempedak, duren, rambutan, kelapa, jambu, getah rotan, karet, rumput, dan semua pohon hutan liar jika di potong pakai pisau, kampak, gergaji pasti mengeluarkan air. Begitu lele, udang, penyu, ular, biawak, ikan, katak, siput, semua hewan buruan, semua sayur tanaman, semua sayur hutan, semua biji dan buah dihutan waktu saya ambil di potong pakai pisau, kampak, gergaji selalu keluar basah, dan berair. Lain lagi pengalaman saya air datang dari "atas" langit (air hujan) pada waktu tertentu terpaksa saya tidak bisa menyadap karet, atau pergi berburu di hutan. Ada lagi pengalaman mengggali sumur, karena jarak rumah di kebon jauh dari sungai terpaksa saya menggali tanah untuk mencari air, dan ternyata di bawah ada air. Di atas ada air, bawah saya ada air, di dalam diri saya ada: air keringat, air mata, air liur, dikeliling kehidupan saya adalah "semua air". Maka 7 tahun lalu saya baru paham kebanyakan Candi-candi di Jawa Tengah terbanyak menggunakan metafora "Yoni, Lingga" sebagai metafora wangsa Air, berkembang menjadi Tanah Air, atau simbol ibu Pertiwi, bahkan hampir di semua kebudayaan nusantara pada upacara inisiasinya menggunakan tujuh tempuran air pada upacara siraman. Pada titik ini lah saya bisa mengubah Kecemasan menjadi Kekaguman sebagai manusia soliter untuk membuat fenomena Ontologi Air: "segala sesuatu daya asali adalah air: "Dari air, Di proses air, Menuju Kembali ke air".
Sebagai manusia soliter akhirnya saya mengerti ketika semua benih itu berasal dari lembab (berair), kemudian "bergerak", sehingga munculkan adanya proses kehidupan. Hewan-hewan peliharan rumah milik tetangga hubungan badan sebagai dialektika (air) sperma. Burung-burung di udara, ikan di laut, di sungai segala makluk hidup di muka bumi, baik bernyawa dan bernyawa adalah bentuk penopangan kehidupan dialektika (air): "dari air, di proses air, menuju air". Maka saya jadi paham mengubah kecemasan menjadi kekaguman bahwa telor ikan dari sungai di ambil dan direbus berbentuk air, semua bunga-bunga, lebah madu, buaya, singa, burung hantu, disekeliling rumah saya adalah berasal dari air, diproses air, menuju air". Bahkan buku tulis, dan bantal, gambar wayang di dinding adalah gerak sementara proses air hingga ketika suatu waktu berubah membusuk, dan lembab berair ("kembali kepada kekalan air"). Sebagai manusia soliter, saya sekarang mengerti bahwa ketika tengah malam petir menyambar, angin kencang, hujan deras tiga batang pohon dibelakang rumah ambruk, maka setelah empat bulan kemudian baik pohon pinang, randu, dan pepaya semua membusuk berubah menjadi air. Repleksi 15 tahun kemudian sebagai manusia soliter baru saya paham bahwa tiga tanaman itu berbuat berbuat tidak adil atau meminjam mencuri pada air bawah tanah selama hidupnya, maka pada waktunya melalui hujan, panas, uap dan angin pohon itu ambruk dan unsur pohon kembali lagi membusuk menjadi "kembali kepada kekalan air" (self regulation system water). Bangkai tikus diterkam kucing didepan rumah, dua hari kemudian membusuk berbentuk cair, dan kucing kemudian mati membusuk berubah menjadi air.
Ada lagi peristiwa musim hujan tiba, saya melihat air penampungan di dekat dapur rumah alm mama dan alm papah, bocor isinya habis diserap ke dalam gerak tanah air, tetapi setelah saya tambal dengan karet, pada malam berikutnya hujan turun pemapungan itu kembali lagi di isi air. Artinya semua esensi kehidupan adalah wadah "kembali kepada kekalan air". Kemudian agar nyamuk malaria tak berbahaya dikampung tak berpendidikan dan bodoh saya menggali pasak bumi dijadikan obat, di bawah kaki Gunung Lumut. Ketika mencari pokok akar, dan batangnya saya menyingkirkan gambut ditemukan lumut basah berair, saya menggali lagi mengeras menjadi tanah pasir, digali lagi, saya temukan batu, setelah itu saya menemukan air pada kedalaman, akhrinya berhasil menggali pasak bumi. Waktu itu setelah selesai sebelum pulang saya beristirahat sambil minum air terjun dari tiga lokasi berbeda tidak jauh dari lokasi penggalian pasak bumi. Saya mendengarkan bunyi air terjun sambil mengamati beberapa kupu-kupu dan capung berkejar-kejaran menikmati desah romansa air. Sebagai manusia soliter dua belas tahun kemudian baru saya pahami bahwa gerakan kupu-kupu dan capung adalah ekspresi seni dawi kehidupan "kekalan air" seperti nada lagu Mozart K525, Violin Concerto 3, atau Simfoni 9 Beethoven: An die Freude. Karena takut kemalaman saya buru-buru pulang. Tengah malam itu saya menjaga ladang dari hama tikus, babi hutan dan rusa, tiba-tiba ketika berjalan patroli tanpa alas kaki saya merasa menginjak kekalan air pada kaki, air mengecil menjadi embun, tetapi pada sore pada perjalanan pulang kekalan air mengecil lagi namanya udara, dan udara mengecil lagi menjadi roh leluhur air. Bagimana pengalaman kekalan air bisa terwujud mengubah kecemasan menjadi kekaguman, adalah waktu hewan burung beo di pelihara tiga ekor saya peliharan lepas dan pergi tanpa diketahui penyebabnya.
Peristiwa ini membuat kekalan air (air mata) tanda sedih. Dan pada malam itu masih dalam suasana sedih, tiba-tiba tetangga kampung menikah dua tahun sebelumnya melahirkan bayi. Bayi itu ditepuki pantatnya oleh alm mama saya, maka masuk udara (roh leluhur air) melalui hidung menangis mengeluarkan kekalan air mata (menangis) tanda awal kehidupan. Bayi itu diberi nama "Yaneni". Lima tahun kemudian saat berulang tahun oleh mamanya diberi hadiah topi ayaman rotan, dipeluk, diberi ciuman sambil berkata "anakku tidak terasa kamu sudah besar, semoga "Yaneni" sehat dan kelak sukses ("keduanya menangis atau ada kekalan air mata (menangis) tanda terharu"). Waktu terus berlalu hingga pada usia 24 tahun akhirnya "Yaneni" lulus sarjana pendidikan guru dari PTN, maka pada moment ini Yaneni dan keluarga mengeluarkan kekalan air mata (menangis) terharu tanda bahagia). Tiga tahun kemudian setelah menjadi PNS Guru SD di kampung maka "Yaneni", menikah dengan "Ertono" laki-laki tetangga kampung sebelah. Seluruh keluarga kedua belah pihak menemukan ada kekalan air (menangis) terharu bahagia karena diberikan keselamatan bisa diterima menjadi PNS dan takdir jodoh laki-laki baik. Genap sudah kebahagian "Yaneni" apalagi hasil pernikahan itu melahirkan anak kembar 20 bulan kemudian. Kali ini alm mama saya datang lagi, bertugas menepukti dua pantat bayi, dan ada kekalan air mata (menangis), tanda bahagia awal kehidupan baru atau udara (roh leluhur air) masuk berproses. Sayangnya delapan bulan kemudian orang tua Yaneni meninggal dunia maka hadir ada kekalan air mata (menangis) tanda kesedihan atau udara (roh leluhur air) keluar berproses. Demikian pula 10 tahun sebelumnya alm oma saya meninggal sebagai representasi "kembali kepada kekalan air". Inilah kecemasan menjadi kekaguman saya pada makna mistik "proses air" atau (roh leluhur air) masuk, dan kemudian keluar berproses pada waktunya dalam jiwa manusia. Disinilah inti kodrat segala sesuatu adalah kekalan : dari air, diproses air, menuju air" (perjalanan kecemasan menjadi kekaguman) pengalaman manusia soliter. Begitulah siklus Wangsa air sama dengan siklus air diri manusia. Air adalah segala ada, seada-adanya. Bentuk ada kekalan ideal, itulah yang saya temukan dalam perjumpaan batin dan bait-bait narasi Wanga air. Semua benih kodrat alam: di atas langit air, disekitar aku air, dalam diri, dan di bawah aku air. Kehidupan adalah kekalan air. Kehidupan selalu membiarkan di tarik dalam "kembali kepada kekalan air", daya asali generasi, dan kodrat alam semesta. Hilang lah Kecemasan berubah menjadi Kekaguman bahwa "semua isi alam ini berasal inti segala intinya disetir, ditarik, diarak-arak oleh kehendak buta bernama "kembali kepada kekalan air".
Sebagai manusia soliter saya dapat membuat empat dalil: (1) ”Dari air, di proses air, menuju kembali ke air” (self regulation). (2) “Air adalah Abadi Tak Terbatas, sementara saya adalah terbatas, dan segala sesuatu pasti muncul sesuai waktunya, termasuk keindahan, kebaikan, dan keadilan”. (3) “Hidup adalah kekembalian Abdi bersifat siklus, tanpa kepastian finalitas”; (4) “Pemahaman manusia dilakukan dengan dua metode dialektik di antara kecemasan, dan kekaguman”. terima kasih.
*) Guru Besar UMB Jakarta
#) Penelitian ini dilakukan 2012: Metafisika Umum Wangsa Air (terdaftar HKI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H