Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cemas, dan Kagum

29 Januari 2018   00:47 Diperbarui: 2 Februari 2018   13:33 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cemas, dan Kagum #,*)

Kurang  lebih duapuluh empat tahun lalu masih terbayang di mata batin saya,  dibesarkan di satu dusun terpencil pedalaman bagian NKRI. Kampung itu  sampai saat ini tanpa listrik, sekalipun Indonesia sudah merdeka hampir  73 tahun lamanya. Kampung itu tidak  bisa diakses mobil, dan motor,  hanya bisa jalan kaki dan sepeda ontel, berjarak sekitar 120 Km dari  Kabupaten X. Kehidupanya warga adalah bertani ladang berpindah,  berkebon buah-buahan sayuran, kebon karet, nelayan, berburu. Desa ini  termasuk kategori kurang punya akses dengan dunia social pada umumnya.  Secara singkat saya repleksikan pengalaman kebatinan proses kecemasan menjadi kekaguman  pada perjalanan batin sebagai manusia soliter. Narasi  ini tidak seluruhnya saya ingat,  kadang saya lupa waktu tanggal dan  tahunnya secara persis, tetapi peristiwa-peristiwa itu saya jadikan  repleksi sebagai  pengalaman manusia soliter untuk artikel ini, dan sebagian isi artikel adalah hasil penelitian yang sudah lakukan tahun 2012 lalu.

Adapun  pengalaman tersebut masih  melekat di ingat saya antara lain adalah:  waktu kotoran: ayam, anjing, cicak, moyet, dan hewan peliharan jika  terinjak terasa lembab atau basah berair. Ada telor ayam, itik, telor  burung, jika pecah saya temukan pasti basah berair. Ada pohon pisang,  mangga, cempedak, duren, rambutan, kelapa, jambu, getah rotan, karet,  rumput, dan semua pohon hutan liar jika di potong pakai pisau, kampak,  gergaji pasti mengeluarkan air. Begitu lele, udang, penyu, ular, biawak,  ikan, katak, siput, semua hewan buruan, semua sayur tanaman, semua  sayur hutan, semua biji dan buah dihutan waktu saya ambil di potong  pakai pisau, kampak, gergaji  selalu keluar basah, dan  berair. Lain  lagi pengalaman saya air datang dari "atas" langit  (air hujan) pada  waktu tertentu terpaksa saya tidak bisa menyadap karet, atau pergi  berburu di hutan. Ada lagi pengalaman mengggali sumur, karena jarak  rumah di kebon jauh dari sungai terpaksa saya  menggali tanah untuk  mencari air, dan ternyata di bawah ada air. Di atas ada air,  bawah saya ada air,  di dalam diri saya ada: air keringat, air mata,  air liur, dikeliling  kehidupan saya adalah "semua  air". Maka 7 tahun lalu saya baru paham kebanyakan Candi-candi di Jawa Tengah terbanyak menggunakan metafora "Yoni, Lingga" sebagai metafora wangsa Air, berkembang menjadi  Tanah Air, atau simbol  ibu Pertiwi, bahkan hampir di semua kebudayaan nusantara pada upacara  inisiasinya  menggunakan tujuh tempuran air pada upacara siraman. Pada  titik ini lah saya bisa mengubah Kecemasan menjadi Kekaguman sebagai  manusia soliter untuk membuat fenomena Ontologi Air: "segala sesuatu daya asali adalah air: "Dari air, Di proses air, Menuju Kembali ke air". 

Sebagai  manusia soliter akhirnya saya mengerti ketika semua benih itu berasal dari lembab (berair), kemudian "bergerak",  sehingga munculkan adanya proses kehidupan. Hewan-hewan peliharan rumah  milik tetangga hubungan badan sebagai dialektika (air) sperma.  Burung-burung di udara, ikan di laut, di sungai segala makluk hidup di  muka bumi, baik bernyawa dan bernyawa adalah bentuk penopangan kehidupan  dialektika (air): "dari air, di proses air, menuju air". Maka saya jadi  paham mengubah kecemasan menjadi kekaguman bahwa telor ikan dari sungai  di ambil dan direbus berbentuk air, semua bunga-bunga, lebah madu,  buaya, singa, burung hantu, disekeliling rumah saya adalah berasal dari  air, diproses air, menuju air". Bahkan buku tulis, dan bantal, gambar  wayang di dinding adalah gerak sementara proses air hingga ketika suatu  waktu berubah membusuk, dan lembab berair ("kembali kepada kekalan air").  Sebagai  manusia soliter, saya sekarang mengerti bahwa ketika tengah  malam petir menyambar, angin kencang, hujan deras tiga batang pohon  dibelakang rumah ambruk, maka setelah empat bulan kemudian baik pohon  pinang, randu, dan pepaya semua membusuk berubah menjadi air. Repleksi  15 tahun kemudian sebagai manusia soliter baru saya paham bahwa tiga  tanaman itu berbuat berbuat tidak adil atau meminjam mencuri pada air  bawah tanah selama hidupnya, maka pada waktunya melalui hujan, panas,  uap dan angin pohon itu ambruk dan unsur pohon kembali lagi membusuk  menjadi "kembali kepada kekalan air" (self regulation system water).  Bangkai  tikus diterkam kucing didepan rumah, dua hari kemudian  membusuk berbentuk cair, dan kucing kemudian mati membusuk berubah  menjadi air. 

Ada lagi peristiwa musim hujan tiba, saya melihat  air penampungan di dekat dapur rumah alm mama dan alm papah, bocor  isinya habis diserap ke dalam  gerak tanah air, tetapi setelah saya  tambal dengan karet, pada malam berikutnya hujan turun pemapungan itu  kembali lagi di isi air. Artinya semua esensi kehidupan adalah wadah "kembali kepada kekalan air".  Kemudian agar nyamuk malaria tak berbahaya dikampung tak berpendidikan  dan bodoh saya menggali pasak bumi dijadikan obat, di bawah kaki Gunung  Lumut. Ketika mencari pokok akar, dan  batangnya saya menyingkirkan  gambut ditemukan lumut basah berair, saya menggali lagi mengeras menjadi  tanah pasir, digali lagi, saya temukan batu, setelah itu saya menemukan  air pada kedalaman, akhrinya berhasil menggali pasak bumi. Waktu  itu  setelah selesai sebelum pulang saya beristirahat sambil minum air terjun  dari tiga lokasi  berbeda tidak jauh dari  lokasi penggalian pasak  bumi. Saya mendengarkan bunyi air terjun sambil mengamati beberapa  kupu-kupu dan capung berkejar-kejaran menikmati desah romansa air.  Sebagai  manusia soliter dua belas tahun kemudian baru saya pahami bahwa  gerakan kupu-kupu dan capung adalah ekspresi seni dawi kehidupan "kekalan air"  seperti nada lagu Mozart K525, Violin Concerto 3, atau Simfoni 9 Beethoven: An die Freude.   Karena takut kemalaman saya buru-buru pulang. Tengah malam itu  saya  menjaga ladang dari hama tikus, babi hutan dan rusa, tiba-tiba ketika  berjalan patroli tanpa alas kaki saya merasa menginjak kekalan air pada  kaki, air mengecil menjadi embun, tetapi pada sore pada perjalanan  pulang kekalan air mengecil lagi namanya udara, dan udara mengecil lagi menjadi roh leluhur air.   Bagimana pengalaman kekalan air bisa terwujud mengubah kecemasan  menjadi kekaguman, adalah waktu hewan burung beo di pelihara tiga ekor  saya peliharan lepas dan pergi tanpa diketahui penyebabnya.

Peristiwa  ini membuat kekalan air (air mata) tanda sedih. Dan pada malam itu  masih dalam suasana sedih, tiba-tiba tetangga kampung menikah dua tahun  sebelumnya melahirkan bayi. Bayi itu ditepuki pantatnya oleh  alm mama  saya, maka masuk udara (roh leluhur air) melalui hidung  menangis mengeluarkan kekalan air mata (menangis) tanda awal kehidupan.  Bayi itu diberi nama "Yaneni". Lima tahun kemudian saat berulang tahun  oleh mamanya diberi hadiah topi ayaman rotan, dipeluk, diberi ciuman  sambil berkata "anakku tidak terasa kamu sudah besar, semoga "Yaneni"  sehat dan kelak sukses ("keduanya menangis atau ada kekalan air mata  (menangis) tanda terharu"). Waktu terus berlalu hingga pada  usia  24  tahun akhirnya "Yaneni" lulus sarjana pendidikan guru dari PTN, maka  pada moment ini Yaneni dan keluarga mengeluarkan kekalan air mata  (menangis) terharu tanda bahagia).  Tiga tahun kemudian setelah menjadi  PNS Guru SD di kampung maka "Yaneni", menikah dengan "Ertono" laki-laki  tetangga kampung sebelah. Seluruh keluarga kedua belah pihak menemukan  ada kekalan air (menangis)  terharu bahagia karena diberikan keselamatan  bisa diterima menjadi PNS dan takdir jodoh laki-laki baik. Genap sudah  kebahagian "Yaneni" apalagi hasil pernikahan itu melahirkan anak kembar  20 bulan kemudian. Kali ini alm mama saya datang lagi, bertugas  menepukti dua pantat bayi, dan ada kekalan air mata (menangis), tanda  bahagia awal kehidupan baru atau udara (roh leluhur air) masuk  berproses.  Sayangnya delapan bulan kemudian orang tua Yaneni meninggal  dunia maka hadir ada kekalan air mata (menangis) tanda kesedihan atau  udara (roh leluhur air)  keluar berproses.  Demikian pula 10 tahun sebelumnya alm oma saya meninggal sebagai representasi "kembali kepada kekalan air".  Inilah kecemasan menjadi kekaguman saya pada makna mistik "proses air"   atau (roh leluhur air)  masuk,   dan kemudian keluar berproses pada waktunya  dalam jiwa manusia.  Disinilah inti kodrat segala sesuatu adalah kekalan  : dari air,  diproses air, menuju air" (perjalanan kecemasan menjadi kekaguman) pengalaman manusia soliter. Begitulah  siklus Wangsa air sama dengan siklus air diri manusia. Air adalah  segala ada, seada-adanya. Bentuk ada kekalan ideal, itulah yang saya  temukan dalam perjumpaan batin dan bait-bait narasi Wanga air. Semua  benih kodrat alam: di atas langit air, disekitar aku air, dalam diri,  dan di bawah aku air. Kehidupan adalah kekalan air. Kehidupan selalu  membiarkan di tarik dalam "kembali kepada kekalan air",  daya  asali generasi, dan kodrat alam semesta. Hilang lah Kecemasan berubah  menjadi Kekaguman  bahwa "semua isi alam ini berasal inti segala intinya  disetir, ditarik, diarak-arak oleh kehendak buta bernama "kembali kepada kekalan air"

Sebagai manusia soliter saya dapat membuat empat dalil: (1) ”Dari  air, di proses air, menuju kembali ke air” (self regulation). (2) “Air  adalah Abadi Tak Terbatas, sementara saya adalah terbatas, dan segala  sesuatu pasti muncul sesuai waktunya, termasuk keindahan, kebaikan, dan  keadilan”. (3) “Hidup adalah kekembalian Abdi bersifat siklus, tanpa  kepastian finalitas”; (4) “Pemahaman manusia dilakukan dengan dua metode  dialektik di antara kecemasan, dan kekaguman”. terima kasih.

*)  Guru Besar UMB Jakarta

#) Penelitian ini dilakukan 2012:  Metafisika Umum Wangsa Air (terdaftar HKI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun